close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Tingginya ongkos politik di sebuah negara dengan sistem demokrasi dinilai wajar./Antara Foto
icon caption
Tingginya ongkos politik di sebuah negara dengan sistem demokrasi dinilai wajar./Antara Foto
Politik
Sabtu, 07 Juli 2018 13:00

Tiga sebab mahalnya ongkos politik

Dana partai politik yang diberikan negara berbeda-beda di tingkat daerah dan tingkat provinsi.
swipe

Masih ingat ribut-ribut mahar politik yang diungkap La Nyalla yang dimintai uang hingga Rp 40 miliar agar bisa menerima rekomendasi sebagai calon Gubernur Jawa Timur? Pengakuan La Nyalla kembali mengingatkan kalau biaya untuk menjadi calon legistatif atau calon kepala daerah hingga calon kepala negara amat mahal. 

Tingginya ongkos politik dari sistem demokrasi bangsa ini dinilai wajar. Sebab butuh dana besar untuk mendapat kandidat terbaik bagi rakyat. 

Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu Demokrasi August Mellaz menyebut setidaknya ada tiga alasan yang membuat ongkos politik terbilang besar. Pertama, karena partai membutuhkan dana dalam menjalankan tugas dan fungsinya, mulai dari pendidikan politik hingga seleksi kandidat. 

Kedua, setiap kandidat juga harus membiayai pencalonannya yang seringkali tidak selalu didukung oleh partai. Ketiga, penyelenggaraan pemilu yang membutuhkan biaya tidak kalah besar. 

Padahal idealnya, ongkos politik berasal dari bantuan negara. Memang Indonesia pascareformasi telah memberikan bantuan dana negara ke partai politik (parpol) didasarkan perolehan suara. Hanya saja, pendanaan partai di Indonesia tidak memiliki paradigma yang jelas. 

Menurut August hal tersebut bisa terlihat dari produk hukum yang menentukan besaran dana bantuan negara terhadap partai. Sayangnya, jumlahnya juga kata August naik turun tanpa diikuti argumen yang memadai tentang besaran yang diberikan. 

August mencontohkan dana parpol yang sebelumnya Rp 108 per suara naik menjadi Rp 1.000. Selain itu dana parpol tingkat nasional berbeda dengan tingkat daerah, sebagai contoh di kota Kediri per suara mendapat bantuan sebesar Rp 4.675. Idealnya, pemberian dana untuk parpol yang diberikan sama antara tingkat nasional dan daerah. 

Makanya August menyarankan perlunya paradigma pendanaan partai. Sebab hal tersebut bertujuan agar dapat melestarikan tatanan demokratik suatu negara karena negara memang berhak mengatur perilaku dan organisasi partai. Subsidi negara kepada parpol ini juga demi mewujudkan kontribusi parpol dalam merawat dan menjaga tatanan demokrasi.

Agust memberi catatan, apabila bantuan negara untuk partai hendaknya dinaikan. Maka perlu ada reformasi internal partai. Jadi, syaratnya bukan hanya berdasarkan perolehan suara tapi juga adanya reformasi internal di sebuah partai.

Tipologi Partai

Di sisi lain, Agust menilai mayoritas partai-partai di Indonesia yang muncul setelah reformasi cenderung dibangun dari atas (elite) ke bawah (akar rumput) bukan sebaliknya. Sehingga, umumnya tokoh parpol terpusat pada personal atau figur elite partai. 

Apalagi, usaha dalam merekrut keanggotaan partai seringkali hanya terfokus pada saat menjelang pemilu dan pilkada saja. Belum lagi keterlibatan profesional seperti konsultan politik yang justru menimbulkan berbagai kebijakan lain parpol.

August juga menyebut, Parpol di Indonesia memiliki potensi menjadi partai kartel. Hal tersebut terlihat dari meningkatkatnya partai pada sumber keuangan negara.

"Ketergantungan tersebut menjadikan partai semakin berjarak dengan konstituen yang semestinya berbasis pada sumber keuangan melalui iuran anggota," kata August pada Jumat (7/7). 

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan