close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (kedua dari kiri, berbaju kuning) berfoto bersama anggota Komisi I DPR, termasuk Wakil Ketua Komisi I DPR Sugiono (ketiga dari kanan) usai rapat di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2024)./Foto Instagram @retno_marsudi
icon caption
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (kedua dari kiri, berbaju kuning) berfoto bersama anggota Komisi I DPR, termasuk Wakil Ketua Komisi I DPR Sugiono (ketiga dari kanan) usai rapat di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/9/2024)./Foto Instagram @retno_marsudi
Politik
Rabu, 18 September 2024 06:05

Sosok ideal calon menteri luar negeri mendatang

Nama Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sugiono dirumorkan bakal menjadi menteri luar negeri mendatang.
swipe

Rumor Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sugiono yang disebut-sebut bakal mengisi jabatan menteri luar negeri dalam pemerintahan Prabowo Subianto mendatang mencuat setelah Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dan Ketua Dewan Pembina Forum Masyarakat Indonesia Emas (Formas), yang juga adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo mengatakan akan ada empat lulusan SMA Taruna Nusantara yang bakal menjadi menteri.

Bocoran itu dilontarkan Hashim pada acara dialog nasional peningkatan sumber daya manusia untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 di auditorium Podomoro University, Jakarta, Sabtu (7/9).

Menurut analis politik dari Universitas Indonesia (UI) Cecep Hidayat, kurang tepat bila pos menteri luar negeri diisi sosok politikus yang belum memiliki pengalaman panjang dalam urusan diplomatik dan masalah global. Sebab, masalah global sangat rumit, memerlukan keterampilan memecahkan masalah, dan keterampilan diplomasi yang bertalian dengan nilai-nilai hukum internasional.

“Isu-isu global, seperti konflik geopolitik, perubahan iklim, keamanan regional, dan hubungan multilateral membutuhkan pengalaman dalam diplomasi,” ucap Cecep kepada Alinea.id, Senin (16/9).

Alumnus Centro Internacional Carlos V, Universidad Autonoma de Madrid, Spanyol ini memandang, tanpa pengalaman langsung dengan isu politik luar negeri, maka menteri luar negeri akan kesulitan memahami mekanisme diplomasi yang kompleks. Semisal dalam negosiasi internasional atau saat hadir dalam forum multilateral untuk menyikapi keadaan geopollitik yang punya banyak tata aturan internasional.

“Tantangan dan risiko yang lain adalah kurangnya legitimasi di forum internasional. Mungkin tanpa latar belakang yang kuat di bidang hubungan luar negeri, menteri baru akan mengalami kesulitan dalam membangun kredibilitas di komunitas internasional,” ujar Cecep.

Selain itu, menteri luar negeri yang berlatarbelakang politisi juga berpotensi punya kecenderungan mengutamakan ideologi partai politik ketimbang kepentingan diplomatik yang seimbang. Hal itu terlihat dari perbedaan sikap Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dengan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat menyikapi konflik Rusia dengan Ukraina.

Dalam acara International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue ke-20 di Singapura pada awal Juni 2023 lalu, Prabowo mengusulkan penghentian permusuhan dan gencatan senjata pada konflik Rusia-Ukraina. Dia pun mengusulkan zona demiliterisasi yang akan dijamin oleh pengamat dan pasukan penjaga perdamaian PBB, serta ikut menyarankan sebuah referendum di wilayah yang disengketakan dengan PBB sebagai penyelenggara.

Namun, dalam rapat dengan Komisi I DPR pada 5 Juni 2023 lalu, Retno menjelaskan kalau posisi pemerintah Indonesia selalu sama dan tidak berubah dalam konflik tersebut. Retno menegaskan, dalam konflik tersebut, harus ada penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas.

Call kita selalu please hentikan perang, dan ini disampaikan Bapak Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Kyiv dan Moskow. Bulan lalu Pak Presiden bertemu dengan Presiden (Ukraina) Zelenskyy di Hiroshima, Jepang. Call ini selalu diulangi,” kata Retno saat itu.

Cecep menilai, bila Sugiono menjadi menteri luar negeri, kemungkinan akan menggunakan pendekatan yang tidak jauh berbeda dengan Prabowo soal konflik Rusia-Ukraina.

Gedung Pancasila digunakan untuk acara dan upacara diplomatik resmi yang diadakan Kementerian Luar Negeri dalam menyambut tamu negara untuk mendiskusikan perjanjian antarnegara./Foto wikipedia.org

Syarat menteri luar negeri

Menurut Cecep, sosok menteri luar negeri idealnya punya pengalaman ideologi yang luas dan menangani masalah internasional, baik secara personal maupun berhimpun dalam organisasi internasional. Di samping itu, syarat lainnya adalah punya kemampuan negosiasi yang tangguh dan mampu menyeimbangkan kepentingan nasional dengan tetap memperjuangkan agenda global.

“Kemudian, dia punya pemahaman yang mendalam tentang norma internasional. Jadi, seorang menlu itu idealnya memiliki pemahaman yang komprehensif tentang isu-isu internasional, norma-norma diplomasi, kebijakan luar negeri Indonesia, serta mampu menavigasi isu-isu kompleks internasional, perjanjian perdagangan, dan perlindungan WNI di luar negeri,” tutur dia.

Memiliki kredibilitas di forum internasional, menurut Cecep, juga bisa menjadi pertimbangan dalam menunjuk sosok menteri luar negeri.

“Semisal berpengalaman dalam forum global, seperti PBB, ASEAN, G20, atau WTO. Itu nilai tambah. Dia juga punya pandangan strategis yang berimbang antara kementerian domestik dan internasional,” ucap Cecep.

Tak kalah penting, Cecep mengatakan, menteri luar negeri harus mampu menafsirkan landasan politik bebas aktif secara fleksibel menyesuaikan konstelasi global. Cecep memandang, politik bebas aktif harus diterjemahkan secara cerdik untuk menyelesaikan masalah krusial, seperti konflik Laut China Selatan dan krisis Myanmar.

“Indonesia harus mengabil posisi sebagai mediator dialog dalam penyelesaian konflik internasional. Harus mendorong solusi damai melalui dialog sesuai politik bebas aktif. Di sisi lain, Indonesia juga harus menjaga hubungan baik dengan semua pihak,” kata Cecep.

Terakhir, memainkan peranan politik bebas aktif dalam bidang ekonomi. Cecep memandang, menteri luar negeri harus mampu mendorong perdagangan yang lebih seimbang dan adil dalam mendiversifikasi perdagangan untuk pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, merujuk segala persyaratan itu, Cecep menilai, menunjuk politikus yang tidak memiliki rekam jejak diplomatik internasional sebagai menteri luar negeri, bukan pilihan yang tepat untuk mewakili negara dalam kerja-kerja diplomatik.

Sementara itu, peneliti Pusat Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Faudzan Farhana menilai, sangat tidak ideal jika pos menteri luar negeri ditempati politisi yang belum memiliki rekam jejak internasional. Sebab, menteri luar negeri bukan hanya harus memahami perkembangan politik global, tetapi juga punya reputasi yang positif di kancah internasional.

“Khusus untuk poin reputasi ini, saya anggap penting karena dalam menjaga hubungan luar negeri kuncinya ada pada konsistensi dan keberlanjutan,” ujar Farhana, Senin (16/9).

“Jika salah satunya tidak ada, progres hubungannya bisa berhenti atau malah bubar.”

Farhana memandang, meski seorang menteri luar negeri harus orang yang dekat dengan presiden, tetapi tidak lantas “mengerdilkan” posisinya hanya sebatas anak buah yang ingin menjalankan ambisi presiden.

“Karena jika demikian bisa berpotensi kontraproduktif terhadap upaya-upaya penjagaan kepentingan nasional yang selama ini telah dibangun,” ucap Farhana.

Farhana mengingatkan, kepentingna nasional lebih tinggi derajatnya daripada kepentingan presiden dalam urusan politik luar negeri. Hal ini, menurut Farhana, kurang menjadi perhatian kebanyakan politikus saat ini.

“Jadi idealnya, menlu adalah ‘teman ngobrol’ yang sederajat dengan presiden di lingkungan Kemenlu (Kementerian Luar Negeri), sehingga bisa mengeksekusi kebijakan luar negeri sebaik-baiknya, berdasarkan situasi politik dan kepentingan nasional,” tutur Farhana.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan