Dalam upacara puncak peringatan HUT ke-78 Bhayangkara di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Senin (1/7), Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengapresiasi hasil survei kepercayaan publik terhadap Polri yang meningkat. Dia menyebut, pencapaian itu menunjukkan citra Polri yang semakin baik.
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas periode 27 Mei-2 Juni 2024, Polri menempati urutan kedua dengan citra terbaik, sebesar 73,1%. Sementara urutan pertama ditempati TNI. DPD dan Kejaksaan Agung berturut-turut menempati urutan ketiga dan keempat.
Menurut anggota Komisi III DPR, Johan Budi Sapto Pribowo, citra baik Polri didapatkan karena sifat responsif terhadap kasus yang cukup tinggi menjadi perhatian masyarakat. Misalnya kasus yang menyeret jenderal bintang dua, Ferdy Sambo, yang menghabisi anak buahnya sendiri, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Lalu, kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon, Jawa Barat. Terakhir kasus tewasnya remaja bernama Afif Maulana di Padang, Sumatera Barat, yang diduga menerima kekerasan dari polisi.
Pada kasus Afif, polisi sampai menghadirkan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk membahasnya. Teranyar, ada 17 anggota kepolisian Sumatera Barat yang menjalani sidang etik oleh bidang Propam. Sebanyak 17 polisi menangani kasus tawuran di Kuranji, Padang itu mengakui melakukan penyiksaan terhadap pelaku tawuran.
Sedangkan Afif, yang tewas saat penertiban tawuran itu, menurut Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol Suharyono, berdasarkan hasil autopsi meninggal dunia akibat tulang iga patah usai melompat dari jembatan.
“(Kasusnya) naik oleh publik di media sosial dan direspons Polri cepat dengan berbagai langkah,” kata Johan kepada Alinea.id, Senin (1/7).
“Direspons cepat ini punya penilaian sendiri di depan publik.”
Mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mengingatkan kepolisian agar tak boleh hanya sebatas respons dan menunggu ramai. Keluhan dari masyarakat juga perlu didengar dengan baik. Lebih lanjut, ia menambahkan, kepolisian pun harus menindak setiap anggotanya yang “nakal”. Termasuk korupsi. Penindakan juga tidak boleh sebatas demosi maupun mutasi.
“Tapi pidanakan, sehingga ada efeknya. Jangan sampai polisi yang baik dinodai oleh polisi bejat,” ujar Johan.
Sementara itu, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso berharap, Korps Bhayankara tidak jumawa dengan hasil survei. Sebab, masih banyak masalah kecil di internal yang membuat reformasi kultural belum menunjukkan kemajuan besar.
Sugeng menerangkan, situasi itu terlihat dengan adanya dugaan pendekatan kekerasan yang dilakukan anggota Polri terhadap masyarakat. Dia mencontohkan konflik di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.
Konflik di Wadas terjadi sejak 2019, dilatarbelakangi penolakan warga atas penambangan batuan andesit, yang merusak 28 titik sumber mata air. Batuan andesit itu diperlukan untuk membangun Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo. Pada 2022, bentrok terjadi antara aparat polisi dengan warga Wadas. Akibatnya, saat itu 60-an warga ditangkap. Begitu juga konflik di Pulau Rempang di Kepulauan Riau pada 2023 lalu.
Menurutnya, kasus-kasus itu menunjukkan perlunya beleid dalam peraturan kepolisian—baik itu dalam peraturan Polri maupun peraturan Kapolri—yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia.
“Selama aturan pengawalan investasi itu belum ada, akibatnya akan terjadi bentrokan antara aparat kepolisian dengan masyarakat melalui cara-cara kekerasan,” ucap Sugeng, Senin (1/7).
Sugeng menyampaikan, semua langkah pencegahan kekerasan bakal sia-sia apabila pengawasan tidak berjalan. Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri disebutkan, pengawasan melekat wajib dilaksanakan oleh atasan kepada bawahan.
Selain itu, kata Sugeng, jika atasan tetap melindungi anak buah yang salah dan terbebas dari sidang etik, maka atasan tersebut patut diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Karenanya, dalam melaksanakan arah dan strategi Polri ke depan, Grand Strategy Polri 2025-2045, persoalan aspek kultural melalui sumber daya manusia yang profesional dan akuntabel sangat dibutuhkan,” tutur Sugeng.