Selang 20 tahun sejak reformasi bergulir, Indonesia telah meratifikasi 'Konvensi Anti Penyiksaan dan Perbuatan Tindak Manusiawi Lainnya'. Ada juga perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan jaminan untuk bebas dari tindakan penyiksaan seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM atau UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Meski sudah memiliki regulasi yang memadai soal jaminan HAM, namun menurut koordinator Komisi Untuk Orang Hilang (Kontras) Yati Andriani, kasus penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi periode Juni 2017 sampai dengan Mei 2018 masih tinggi. “Data yang kami himpun ini data yang berasal dari pengaduan-pengaduan yang Kontras tangani serta pemantauan dari media,” papar Yati.
Menurutnya, TNI dan Polri juga memiliki aturan-aturan spesifik yang melarang penyiksaan. “Tapi realitasnya kami masih sering menemukan praktik-praktik penyiksaan yang dilakukan dua institusi tersebut,” ujar Yati saat konferensi Pers '20 Tahun Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Situasi dan Penanganan Praktik Penyiksaan di Indonesia Masih Kelam', di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/6).
Penyiksaan tersebut, kata Yati, bersifat repetitif atau berulang, berkesinambungan, dan terus menerus dijadikan sebagai cara mendapatkan informasi maupun penghukuman yang dilakukan aparat keamanan dan penegak hukum.
Kepala bidang advokasi Kontras Putri Kanesia memaparkan, sejak 2010 terjadi peningkatan kasus penyiksaan setiap tahunnya. “Yang menarik adalah, di tahun 2014-2015, angkanya justru turun dari 108 ke 84,” ucapnya.
Menurut Putri, angka tersebut bisa turun karena konteks 2014-2015 adalah pemilihan presiden (pilpres). “Informasi yang kita dapatkan tentang kasus-kasus penyiksaan yang ada di Indonesia dari media itu sedikit, karena media lebih banyak memberitakan berita-berita terkait pemilu. Ini terkonfirmasi di tahun berikutnya, angka penyiksaan langsung naik ke 134,” kata Putri.
Sementara itu, sejumlah masalah dan kelemahan dalam pencegahan dan penghukuman penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya di Indonesia masih belum ditangani serius oleh negara. “Pemerintah masih banyak pekerjaan rumah terkait dengan penghapusan dan penghukuman tindakan penyiksaan kejam tidak manusiawi,” kata dia.
Pewajaran penyiksaan
Kontributor penelitian Kontras Putri Kanesia mengungkapkan, naiknya angka penyiksaan tersebut merupakan sebuah normalisasi atau pewajaran dari warisan rezim yang represif, yaitu Orde Baru. Penyiksaan ini telah menjadi kegagalan dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
“Soal warisan, agak berbeda sebenarnya karakteristik penyiksaan yang dilakukan rezim Orba dengan definisi penyiksaan secara umum, termasuk di dalam Konvensi Internasional,” kata Ayu, sapaan akrab Sri Lestari Wahyuningrum. Jika dalam konvensi penyiksaan digunakan untuk mendapatkan informasi dan pengakuan, maka pada masa Orba, penyiksaan dipakai sebagai teror dan sebagai alat kontrol.
Sejak tragedi 1965, Ayu menuturkan, terjadi repetisi pola penyiksaan termasuk okupasi Indonesia di Timor Leste, Kasus Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, juga penyiksaan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap separatis di Papua. Penyiksaan tidak hanya dilakukan untuk mendapatkan informasi, tapi juga dilakukan untuk meneror kelompok yang ingin ditaklukan.
“Penyiksaan itu harus dinormalkan, karena ia bagian strategi untuk menguasai, ia menjadi medium atau cara paling efektif untuk dilakukan,” ucap Ayu. Efek dari hal tersebut tidak hanya kesakitan bagi korbannya, tetapi juga memberi rasa takut, bahkan trauma untuk kelompok minoritas yang ingin dikuasai.
Normalisasi penyiksaan tidak hanya untuk mendapat pengakuan, tetapi juga penghukuman. “Di Papua misalnya, penyiksaan dilakukan di tempat terbuka, dia dipamerkan, agar publik secara terbuka melihat ada kekuasaan yang lebih besar daripada kita, dan itu bisa terjadi pada kita kapan pun,” tutur Ayu. Penyiksaan di tempat terbuka tersebut menurutnya adalah bagian dari teror itu sendiri.