close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Margarito Kamis
icon caption
Margarito Kamis
Kolom
Jumat, 06 Oktober 2023 21:07

Wewenang implisit

Wewenang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi alat yang menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya di satu sisi.
swipe

Mahkota lembaga negara atau aparatur negara, tidak pernah lain selain wewenang. Wewenanglah yang memungkinkan, bahkan memampukan aparatur membuat kongkret tujuan bernegara. Itu disebabkan tujuan bernegara hanya dapat diwujudkan melalui serangkaian tindakan hukum aparatur negara. 

Tidak ada yang lebih penting dalam penyelenggaran negara, sepenting wewenang. Itu disebabkan wewenang, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi alat yang menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya di satu sisi, dan menindas orang atau kelompok lain, di sisi lain yang berseberangan. Apalagi bila sang pejabat sembarangan dalam menggunakan wewenang implisit. 

Hukum 
Wewenang-authority atau bevoegdheid-merupakan titik temu esensial hukum tata negara dan administrasi negara ini. Dalam semua aspek konseptual kedua bidang hukum ini, wewenang tersaji sebagai esensi kedua bidang hukum ini. Wewenang tidak bisa dimaknai lain, apapun pertimbangan dan argumentasinya, selain dan hanya itu yakni esensi hukum tata negara dan administrasi negara. 

Sebagai esensi hukum tata negara dan administrasi negara, sedari awal wewenang pasti dipertalikan, dalam sifatnya sebagai sesuatu yang imperative atau mutlak, dengan dua hal; jabatan dan tindakan jabatan. Kedua hal itu tersaji dalam seluruh spektrum hukum tata negara dan administrasi negara sebagai dua hal yang imperative dipertalikan dengan wewenang. 

Apa nalarnya atau hukum? Nalarnya dan hukumnya, tidak semua pejabat-pemangku jabatan-dapat dan atau harus melakukan tindakan-tindakan hukum dalam lingkungan jabatannya. Pada titik ini, siapapun dipaksa untuk mengenal sumber wewenang. Sejak akhir abad ke-17, khususnya di Inggris memunculkan peradaban hukum baru. Peradaban baru ini ditandai dengan beberapa hal hebat. Salah satunya mencampakan konsep hukum klasik yang menjadikan, menerima atau menunjuk kedudukan dan status seseorang sebagai sumber wewenang. 

Peradaban yang tercipta setelah Glorius Revolution 1688, diawali dengan pembentukan, dua di antaranya adalah Bill of Rights dan Petition of Right 1689. Hukum, untuk pertama kalinya disepakati dan diberi sifat politik sebagai hal yang menyandang status “supreme,” awal terbentuknya supremasi hukum. 

Dalam peradan baru ini menempatkan hukum, di sisi intinya, sebagai dan menjadi satu-satunya menjadi sumber wewenang, menggantikan raja yang dalam peradaban lama sebagai sumber wewenang. Hukum, dalam tampilan esensialnya, bersifat mengarahkan, memandu, mengendalikan, dan sejenisnya.

Mengarahkan sama esensinya dengan memberi batas. Memandu juga sama dengan memberi dan menentukan batas. 

Wewenang, dengan demikian, suka atau tidak, memiliki batas; waktu dan wilayah. Pada titik inilah letak rasionalitas konsep “melampaui wewenang, menyalahgunakan wewenang, dan atau  bertindak tanpa wewenang. Agar jangkauan wewenang atau batas wewenang memiliki sifat objektif, maka detail wewenang harus disebut satu demi satu. Hukum tata negara menyebutnya konsep enumeration authority.

Eksplisit dan implisit 
Wewenang yang disebut satu demi satu, yang disebut sebagai enumeration authority, sedetail apapun, selalu memiliki potensi ketidakpastian. Sebab ketidakpastian ini, sebagian merupakan akibat bawaan dari hukum itu sendiri. Norma hukum, tidak pernah lain selain konsep. Konsep hukum, selalu begitu, dinyatakan dengan kata-kata. Dalam keadaan kongkret, konsep-konsep hukum itu, sangat sering dianggap tidak jelas, atau tidak dapat digunakan menentukan hukum atas satu peristiwa kongret.

Apa yang harus dilakukan oleh pejabat yang menghadapi keadaan sejenis itu? Diam saja, atau harus menemukan cara lain untuk menyatakan bahwa dirinya memiliki wewenang melakukan tindakan menyelesaikan atau menentukan hukum atas satu peristiwa kongkret? Terlalu sering pejabat menggunakan kebijakan sebagai dasar tindakannya. Tidak salah, tetapi harus diketahui sistem hukum kita memberi syarat dan parameter untuk tindakan-tindakan diskresional.

Selalu begitu konsekuensinya, tindakan hukum yang tidak cukup syaratnya, mengakibatkan tindakan itu, bisa batal demi hukum, atau batal atau tidak sah, sehingga harus dibatalkan. Kebatalannya memang harus dimintakan, baik kepada pejabat itu sendiri atau atasannya atau pengadilan. Tetapi terlepas dari itu, dunia hukum tata negara dan administrasi negara kita sejauh ini, hampir tidak pernah mendiskusikan konsep implied authority. 

Implied authority, secara konseptual merupakan kebalikan dari enumeration authority. Untuk pertama kalinya konsep ini muncul dalam debat berkelas antara Alexander Hamilton (Menteri Keuangan) pertama Presiden George Washington dengan Thomas Jefferson dan James Madison dalam pembentukan American First National Bank pada 1791. 

Konsep ini, implied authority dimunculkan oleh Alexander Hamilton. Dalam intinya, implied authority merupakan wewenang yang bersandar pada enumeration authority. Tetapi disebabkan kewenangan ini bersifat umum, tidak mencakup peristiwa kongret yang sedang ditangani, tetapi tetap diperlukan, sekaligus agar kewenangan yang bersifat umum itu memiliki efek terapan atau konkret, maka presiden dianggap memiliki kewenangan melakukan tindakan membentuk first American National Bank itu. 

Dalam perkembangannya, harus diakui, muncul konsep lain, yakni legislative delegation of authority. Bukan wewenang implied yang dibicarakan sebagai sandaran dalam kerangka tindakan presiden menerbitkan, misalnya executive order (EO), atau keputusan presiden, tetapi legislative delegation authority. Esensi konsep ini adalah presiden bertindak berdasarkan delegasi kewenangan dari organ pembentuk UUD, Kongres, dalam hal ini House of Representative atau Senat.

Menariknya tindakan presiden, tidak selalu bersumber atau bersandar pada konsep delegation of authority. Presiden sangat sering bertindak secara mandiri, berdasarkan implied authority. Presiden Theore Rosevelt, Woodrow Wilson dan Franklin D. Rosevelt, menerbitkan begitu banyak executive agency yang tidak didasarkan pada delegation of authority.

Dalam kasus Indonesia, implied authority dalam kenyataanya telah dilakukan, malah secara sangat demonstratif pada periode transisi dari Bung Karno ke Pak Harto. MPR, kewenangannya dijelaskan secara umum enumerated dalam UUD 1945, menerbitkan misalnya Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pimpinan Besar Revolusi/Mandataris MPR RI, Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Sukarno. 

Pasal 4 Ketetapan XXXIII//MPRS/1967 di atas, beresensi mencabut kekuasaan pemerintah dari Bung Karno dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 UUD 1945 hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilu. Terlepas dari ekspektasi politik, tindakan MPR pada periode ini membuktikan penggunaan kewenangan yang tidak disebut secara spesifik dalam UUD dalam penyelenggaraan kekuasaan, setidaknya pemerintahan negara. 

Soal hukumnya adalah berdasarkan kewenangan MPR yang mana dalam  UUD 1945 atau bagaimana MPRS memperoleh kewenangan mengangkat Pak Harto menjadi pejabat presiden? Tidak ada. Tetapi lembaga apakah yang memegang keudalatan rakyat, dan lembaga apakah yang berwenang mengangkat dan memberhentikan presiden? Hanya MPR. 

Catatan Akhir 
Bagaimana hukumnya bila seorang pejabat mengambil kebijakan yang diberi bentuk hukum, misalnya inpres atau kepres. Kepres, dalam tata hukum Indonesia, bisa diuji, bisa juga tidak, tergantung sifat materinnya. Kalau kepres itu tidak bersifat mengatur, melainkan hanya menetapkan satu keadaan yang dianggap telah ada? Bisakah diuji? Bagaimana bila diuji ke Mahkamah Agung? Apa sikap MA? Tolak atau terima. 

Mahkamah memang tidak memiliki kewenangan menilai kepres yang bersifat sekali berlaku, dan selesai atau tidak memiliki materi mengatur. Hemat saya, mahkamah harus menerima, bila mahkamah dapat memastikan kepres itu menimbulkan keadaan hukum baru. Keadaan hukum yang timbul dari kepres atau inpres, harus disamakan secara hukum kepres atau inpres yang menimbulkan keadaan hukum, dengan akibat hukum baru. Dalam  konteks ini, beralasan mahkamah memiliki kewenangan implied memutus perkara itu. 
 

img
Margarito Kamis
Kolomnis
img
R. Nida Sopiah
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan