close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bambang Asrini Widjanarko
icon caption
Bambang Asrini Widjanarko
Kolom
Kamis, 21 Juli 2022 09:48

Wake up call, Kebo Iwa dan monumen pemimpin

Sebuah wake up call lewat lukisan-lukisan mampu yang mentransmisi pesan kemanusiaan dan ketuhanan secara komunal.
swipe

Sebuah pameran seni bisa berarti perayaan estetik sejumlah karya yang digelar disebuah art space. Persoalan esensial tentang yang fisikal, artefak-artefak lukisannya. Yakni, objek-objek seni yang dinikmati di sebuah pameran.

Makna lainnya, bisa membawa pemirsa pameran pengalaman masa lalu yang dihidupi bersama, yang mengendap dalam alam bawah sadar. Bisa jadi memberi penanda sebuah peringatan dini, ancaman terhadap sesuatu. 

Sebuah wake up call lewat lukisan-lukisan mampu yang mentransmisi pesan kemanusiaan dan ketuhanan secara komunal atau sebuah pernyataan serius si seniman: glorifikasi tokoh-tokoh masa lalu tersebab krisis kepemimpinan sedang terjadi di negeri ini.

Wake up call itu bisa ditranslasi sebagai aktivitas menguak sebuah monumen ingatan tentang konteks waktu yang sudah berlalu (sejarah). Tetapi, direnda ulang membawa kearifan pun refleksi bersama saat sekarang lewat karya seni.
Pameran seni ini, bernarasi tentang Kebo Iwa. Seorang panglima besar, pemimpin militer abad 14 dari Bali di masa krisis. Perang bergejolak antarbangsa dalam perebutan imperium Raja-Raja Nusantara dengan pertarungan identitas keyakinan-keyakinan baru. 

Sementara, keyakinan lama sebuah bangsa, eksistensi identitas primordialnya sedang mengalami survivalitas tinggi. Daya hidup hidup baru versus kekuatan-kekuatan tentang sebuah keberadaan sebuah bangsa dan peradabannya yang lama sedang ditentang. 

Ini mengingatkan kita abad ke-21 menyoal tesis Samuel Hutington (The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, bukunya pada 1996) bahwa “benturan peradaban di dunia” ditinjau ulang saat ini. 

Dunia tak lagi lelah menyoal ideologi, seperti: kapitalisme, sosialisme dan komunisme, misalnya, namun eksistensi kultural menjadi argumen lebih sahih. 

Perebutan kawasan strategis global dan pamer kuasa antarkeyakinan (reliji), identitas sejarah dan budaya bangsa-bangsa besar di dunia sedang berlangsung sengit. Cyber media memberi amunisi justru nilai-nilai universalitas tentang “ mantra modernism abad 20” mulai melapuk; digantikan paradigma-paradigma anyar bersandar sumbernya pada budaya-budaya lokal.

Reliji lama, ratusan bahkan ribuan tahun lampau--- yang survival mulai memberi harapan; serta ekspresi identitas-identitas baru sebagai bentuk hadirnya creolization anyar—sebagai contoh, tesis filsuf dibelakang Vladimir Putin, Alexander Dugin tentang konsepnya untuk Euro-Asia (menguatnya sub-kultur dari hegemoni dan hibriditas trans-kultural budaya yang lebih besar/dominan)

Tatkala Eropa dan Amerika Serikat mengalami kemunduran ekonomi, konflik politik internal dengan isu populisme sayap kanan, perebutan sumber-sumber daya bumi yang mengakibatkan konflik kawasan trans-atlantik juga perang meruyak di Ukraina dan Rusia. 

Sementara China dan negara-negara Amerika Latin serta Asia Timur dan India bersama-sama bersiap ikut saling mengambil kendali dan mengantisipasi kekerasan global (fisik-verbal dan sistemik secara laten via budaya dan di cyber media) hadir. 
Maka, keterpaksaan atas kesadaran diri para pemimpin Eropa, seperti pidato Emmanuelle Macron, Presiden Perancis pada 2022 ini yang memberi introspeksi diri/ kritik pada EU bahwa “Sudahkah Peradaban Eropa Melemah?”--yang bisa diakses di YouTube. 

Dunia juga kehilangan pemimpin Eropa kuat yang sudah pensiun, Angela Merkel. Bangsa Jerman, juga negara adikuasa yang memiliki pemimpin perempuan yang lebih berpihak pada Asia dan kesadaran ada perubahan politik dunia, adalah wakil Eropa yang paling moderat selama satu dasawarsa ini.   

Kembali pada tokoh Kebo Iwa, sebagai narasi kultural penting di pameran solo dari pelukis Sohieb Toyareja yang berjuluk Kebo Iwa-Sukma Suci Nusantara  di galeri Kunstkring, Jakarta pada Juli 2022 ini adalah sosok panglima militer Bali pada masa pemerintahan Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, Bali.

Asma lain dari Kebo Iwa adalah Kebo Wandira atau Kebo Taruna yang bermakna kerbau yang perjaka. Pada masa itu, nama-nama binatang tertentu seperti kebo (kerbau), gajah, mahisa (banteng), banyak (angsa) lazim dipakai sebagai juluk kehormatan, istimewanya di Bali ataupun Jawa.

Panglima moncer yang bertempat tinggal di desa Blahbatuh dan anak dari Panglima Rakyan Buncing dalam mitos lokal digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar. Ia mengusai seni perang selain ilmu arsitektur, Undagi (arsitek tradisonal Bali). Kebo Iwa dikenal cakap  membangun berbagai tempat suci di Bali dan memberi tauladan, tak segan-segan mengangkut sendiri batu-batu besar dengan kekuatan fisiknya.

Kebo Iwa dan pemimpin bangsa
Kebo Iwa yang gugur dalam strategi perang ekspansionis Majapahit dipimpin Maha Patih Gajah Mada menarik diamati. Tatkala konteks keyakinan-keyakinan kuno serta identitas lama yang terikat dengan khasanah lama kultur Jawa di Bali dari “migrasi” imperium Kadiri terjadi (Jawa Timur). 

Keguncangan-keguncangan kultural disebabkan perubahan cepat, dislokasi, strategi militer penaklukan serta kultur Jawa sungguh saling berkelindan dengan keras kalau tak bisa dibilang saling unjuk gigi berupaya “memusnahkan” peradaban lain; tentunya di antara pengusa-penguasa baru Jawa.

Sementara Raksasa Imperium Majapahit masih pada puncak kejayaanya, meruyaknya ajaran anyar-keyakinan berbasis spiritualitas Islam; serta gamangnya para penguasa baru memberi warisan kokoh keyakinan-keyakinan anyarnya pada masyarakat Jawa lama.

Kebo Iwa dan Semar, salah satu penyiar keyakinan lama tentang ajaran Kapitayan Kuno Jawa serta Hinduisme Bali serta ekspansi Majapahit dan masa Wali Songo (Islam) adalah potret tersahih yang mana tesis Hutington tentang perbenturan peradaban dimulai, bahkan ratusan tahun lampau.

Kebo Iwa dalam lukisan-lukisan Sohieb Toyareja banyak memanggungkan ikon Semar, dengan gaya ekspresif, selain sosok Kebo Iwa sendiri. Ia sepertinya percaya terjadinya begitu banyak konflik yang terjadi di masa abad ke-14 akan selalu terulang di abad-abad sesudahnya hingga saat ini. 

Penguasa-penguasa mengambil khasanah budaya lokal, kearifan setempat untuk membangun citra-citra tentang “kepemimpinan yang adil” dan “kemandirian sebuah bangsa tanpa campur tangan yang dianggap bangsa asing”. 
Semar-sumur-samar adalah ajaran Semar, penyiar ajaran Kapitayan dalam banyak narasi sejarah didekatkan pada para penguasa Jawa termasuk Kebo Iwa.

Seperti Kebo Iwa yang membela ke-Balian dan Gajah Mada yang ingin menancapkan janji Sumpah Palapa-nya sekaligus simbol ke-raksasa-an Majapahit dari imperium Jawa terakhir dengan janji “Penyatuan Nusantara” adalah kelindan mitos, sejarah, dan dongeng. Selain glorifikasi pahlawan masa lalu – sebagai ingatan ambang bawah sadar bersama bangsa-bangsa di Nusantara ini.

Kebo Iwa juga seperti sebuah fenomena “panggung besar” tentang yang “suci”, yakni sosok yang sakral,  dibawa ke masa kini tentang spirit altruisme—tulus berbakti pemimpin demi kemuliaan nilai kemanusiaan yang tinggi--ketuhanan, dan memilih wafat dalam perang dan sengaja berserah mati (secara ideologi dan identitas diri). 

Perebutan kekuasaan yang baginya (Kebo Iwa)-kalah jadi debu menang jadi arang adalah niscaya dalam menghadapi era baru, perubahan zaman yang menghimpit dan memaksa.

Kepemimpinan yang genuine, murni dan berasal dari rakyat-seperti cita-cita yang infin disampaikan pelukis Sohieb, dengan lukisan Wake Up Call-nya, sepertinya masih menjadi harapan terakhir, dan pepatah latin dengan slogan Vox Populi dan Vox Dei, Tuhan adalah Rakyat mungkin hari ini hanya sebatas mimpi.

img
Bambang Asrini Widjanarko
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan