Benarkah ada land reform atau reforma agraria dalam UU Cipta Kerja. Mari kita lihat. Pada Pasal 126 UU Cipta Kerja disebutkan,
(1) Badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk: a. kepentingan umum; b. kepentingan sosial; c. kepentingan pembangunan nasional; d. pemerataan ekonomi; e. konsolidasi lahan; dan f. reforma agraria.
(2) Ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari tanah negara yang diperuntukkan untuk bank tanah.
Jika dilihat sekilas, ini adalah niat baik pembuat UU. Namun, karena hanya bermodal niat baik, jika boleh disebut begitu, tampaknya banyak keliru. Barangkali ini adalah buah yang dihasilkan jika UU dibahas tanpa pengetahuan dan penyerapan aspirasi yang matang. Alih-alih reforma agraria. Justru penyesatan yang terjadi.
Berikut pandangan saya soal pasal ini: Pertama, reforma agraria adalah operasi koreksi ketimpangan struktur pemilikan dan pengusahaan tanah bukan operasi pengadaan tanah. Operasi koreksi tersebut dapat redistribusi tanah akibat terjadinya ketimpangan di sebuah wilayah. Koreksi atas kebijakan pengalokasian tanah di tengah ketimpangan hingga penyelesaian konflik agraria.
Sementara pengadaan tanah adalah, permohonan kebutuhan tanah oleh pihak yang membutuhkan tanah melalui penetapan lokasi dan penetapan harga ganti kerugian atau jual beli dalam rangka pelepasan hak. Jadi, sangat berbeda secara prinsip filosofis dan praksis.
Selain itu, dengan menjadikan Reforma Agraria (RA) sebagai operasi pengadaan tanah, maka tanah yang seharusnya objek RA menjadi objek jual beli oleh Bank Tanah. Sehingga dengan dalih RA, pengadaan tanah semacam ini menjadi operasi penyelamat bagi para penelantar tanah atau pemilik HGU, HGB dan Hak Pakai yang habis jangka waktunya.
Dengan memasukkan agenda RA ke dalam fungsi Bank Tanah (BT), maka akan menyeret objek RA seperti eks HGU, HGB, tanah terlantar, dan tanah negara yang berpotensi menjadi objek RA akan berada di bawah kewenangan Bank Tanah.
Sebelumnya, objek RA yang menjadi kewenangan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sesuai Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria menjadi kewenangan Bank Tanah. Mengingat UU lebih tinggi kedudukannya dibanding Perpres.
Padahal, UU ini dengan menyatakan sedikitnya 30% tanah Bank Tanah menjadi objek reforma agraria. Hal ini juga akan tumpang tindih dengan aturan tanah terlantar. Sebab dalam aturan tanah terlantar, 80% tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar didayagunakan untuk reforma agraria.
Karena itu, setelah melihatnya secara lebih utuh, istilah RA yang diselipkan dalam UU Cipta Kerja timbul bukan karena niat baik. Bukan menyusupkan niat tanah untuk rakyat. Namun ini adalah usaha mengelabui masyarakat luas atas nama reforma agraria.