Utang pemerintah pada akhir 2021 akan meroket
RAPBN 2021 mengusulkan rencana belanja sebesar Rp2.747,53 triliun, dan pendapatan ditargetkan mencapai Rp1.776,36 triliun. Defisit pun diharapkan hanya sebesar Rp971,17 triliun. Oleh karena ada pengeluaran selain belanja, maka kebutuhan akan utang lebih besar lagi. Disebut sebagai RAPBN sebagai pembiayaan utang, yang mencapai Rp1.142,49 triliun.
Sebelumnya, APBN 2021 yang telah diubah melalui Perpres Nomor 72/2020 menargetkan defisit sebesar Rp1.039,7 triliun. Namun, pembiayaan utangnya sendiri mencapai Rp1.220,46 triliun.
Belanja merupakan pengeluaran yang tidak menimbulkan hak lagi di masa depan, setelah menerima barang atau jasa sebagai imbalan. Membayar gaji pegawai berarti selesai dengan menerima jasanya. Total belanja pegawai pemerintah pusat sendiri pada RAPBN 2021 mencapai Rp420,7 triliun.
Belanja barang pemerintah pusat sebesar Rp357,4 triliun berimbal barang dan jasa yang habis pakai atau kurang dari setahun. Jenis belanja modalnya sebesar Rp250,3 triliun juga bersifat final, meski bentuk barangnya memungkinkan pemanfaatan lebih dari setahun. Dan memberi bantuan sosial tidak membuat si penerima memiliki utang kepada pemerintah, yang mencapai Rp161,4 triliun.
APBN memiliki pos yang bersifat pengeluaran, namun tidak dicatat sebagai belanja. Diperlakukan sebagai pembiayaan, karena menimbulkan “hak tagih” di kemudian hari. Contohnya adalah pengeluaran berupa investasi pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Investasi berarti kepemilikan, yang bisa saja dilepas atau dijual nantinya. Direncanakan sebesar Rp37,4 triliun dalam RAPBN 2021.
Dengan penalaran serupa, APBN membedakan antara pendapatan dengan penerimaan. Pendapatan merupakan penerimaan tanpa “kewajiban membayar” di kemudian hari. Contohnya dalam RAPBN 2021: Pajak Penghasilan (Rp699,9 triliun), Pajak Pertambahan Nilai (Rp546,1 triliun), cukai (Rp178,5 triliun). Begitu pula dengan penerimaan Sumber Daya alam yang ditargetkan mencapai Rp101,6 triliun.
Penerimaan selain pendapatan terutama, dan kadang satu-satunya, berupa penerimaan utang secara neto. Neto artinya utang baru yang diperoleh setelah dikurangi pembayaran atau cicilan utang lama. Penyebutannya kini dalam APBN adalah “Pembiayaan utang”. Dicatat dalam bagian Pembiayaan Anggaran. Penerimaan semacam ini menimbulkan kewajiban di kemudian hari, yaitu melunasinya.
Apakah posisi utang (outstanding) pada akhir 2021 akan bertambah sebesar pembiayaan utang yang direncanakan Rp1.142,49 triliun itu dari posisi akhir 2020?
Tidak persis demikian. Ada faktor lain yang cukup berpengaruh, yaitu penguatan atau pelemahan kurs rupiah antara dua tanggal posisi dinyatakan. Kurs pada 31 Desember 2021 dibanding dengan kurs pada 31 Desember 2020.
Sebagian utang pemerintah merupakan utang dalam mata uang asing. Porsinya berfluktuasi di kisaran 40% dari total utang. Sekitar 90% di antaranya berdenominasi dolar Amerika. Padahal, posisi utang dinyatakan dalam rupiah.
Pemerintah sendiri berupaya mempertahankan tingkat kurs yang stabil, bahkan cenderung setara antara 2020 dengan 2021. Perpres 72/2020 yang sekaligus merupakan outlook mematok kurs di kisaran Rp14.400-14.800 per dolar Amerika. Sedangkan RAPBN 2021 mengusulkan asumsi Rp14.600.
Dalam konteks data posisi utang pada akhir tahun, yang dipakai bukan realisasi kurs secara rata-rata setahun, melainkan kurs pada tanggal bersangkutan. Sebagai contoh kurs 31 Desember 2019 adalah Rp13,901 per dolar, meski rata-rata selama setahun sebesar Rp14.146.
Kurs pada akhir 2020 belum dapat dipastikan. Volatilitas rupiah atas dolar Amerika terus berlangsung. Bank Indonesia menargetkan kurs akhir 2020 di kisaran Rp15.000.
Jika target Bank Indonesia tercapai, kurs persis Rp15.000, maka kita dapat memperkirakan posisi utang akhir 2020. Secara teknis, faktor ini hanya berpengaruh atas nilai utang terdahulu, karena utang yang diperoleh pada 2020 telah masuk dalam perhitungan RAPBN. Jika kurs akhir 2020 sebesar Rp15.000, maka rupiah melemah 7,91% dibanding akhir 2019. Utang pun bertambah karena faktor ini sebesar Rp196 triliun.
Dengan perhitungan demikian, maka posisi utang pemerintah akhir 2020 akan bertambah dari pembiayaan utang dalam APBN 2020 menurut Perpres Nomor 72 (Rp1.220,46 triliun) dan dari pelemahan kurs (Rp196 triliun). Menjadi sebesar Rp6.203 triliun pada akhir 2020, dari Rp4.786,59 triliun pada akhir 2020. Tentu realisasi masih menunggu hingga waktunya nanti.
Selanjutnya, utang selama 2021 berdasar RAPBN akan bertambah sebesar pembiayaan utang (Rp1.142,49 triliun). Jika kurs tidak berubah, setidaknya hanya berselisih amat kecil, maka posisi utang menjadi Rp7.423,5 triliun pada akhir 2021.
Sekali lagi, perlu diingat bahwa cara menghitung prakiraan tersebut berdasar target pembiayaan utang dalam APBN 2020 dan RAPBN 2021. Sedangkan asumsi kursnya sebesar Rp15.000 pada akhir 2020 dan juga pada akhir 2021.
Dengan demikian, dapat dihitung rasionya atas Produk Domestik Bruto (PDB). Tidak ada pernyataan eksplisit tentang besaran PDB dalam APBN 2020 (Perpres Nomor 72) dan RAPBN 2021. Namun bisa dihitung dari pernyataan defisit atas PDB.
Defisit APBN Perpres No.72/2020 sebesar Rp1.220,46 triliun disebut 6,34% dari PDB. Artinya, PDB 2020 diasumsikan sebesar Rp16.391,44 triliun. Oleh karena posisi utang diprakirakan sebesar Rp6.203 triliun, maka rasionya akan mencapai 37,84%.
Defisit RAPBN 2021 sebesar Rp971,17 triliun dinyatakan sebagai 5,50% dari PDB. Artinya, PDB diasumsikan mencapai Rp17.593,58 triliun. Asumsi pemerintah itu bersesuaian dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5%-5,5%, dan inflasi di kisaran 3%.
Dengan demikian, rasio utang pemerintah atas PDB berdasar angka-angka RAPBN 2021 yang dibahas di atas adalah sebesar 42,19%. Dihitung dari prakiraan posisi utang akhir 2021 yang mencapai Rp7.423,5 triliun dan PDB yang diasumsikan sebesar Rp17.593,58 triliun.
Rasio sebesar itu akan menjadi yang tertinggi selama 15 tahun terakhir, sejak 2006 (39%). Jauh lebih buruk dari rencana pemerintah dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2021 yang disampaikan kepada DPR pada pertengahan Mei. KEM PPKF 2021 menargetkan rasio utang hanya di kisaran 36,67%-37,97%.
Harus diakui bahwa penambahan utang memang diperlukan dalam rangka mitigasi dampak ekonomi dari pandemi Covid-19. Namun mengapa rencana berutang berubah begitu drastis hanya dalam waktu tiga bulan. Rencana dalam RAPBN 2021 akan membuat posisi dan rasio utang akan meroket.
Publik butuh penjelasan yang lebih lugas dan rinci. Publik juga menunggu peran DPR dalam penentuan kebijakan utang ini. RAPBN 2021 masih yang perlu persetujuan DPR untuk menjadi APBN.