Urgensi pengesahan Undang-Undang Contempt of Court
Peristiwa penyerangan terhadap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh pengacara bernama Desrizal pada Kamis (18/7/2019), menambah deretan catatan buram berbagai bentuk tindakan penghinaan terhadap pengadilan.
Pemukulan terhadap hakim di ruang sidang ini, menunjukkan penghinaan terhadap pengadilan menuju tahap yang sangat mengkhawatirkan. Penghinaan bukan lagi semata tindakan verbal di pengadilan, melainkan sudah mengarah pada aksi kekerasan di dalam ruang sidang. Sasaran penghinaan tidak saja terhadap gedung atau sarana pengadilan, melainkan juga terhadap majelis hakim.
Dalam catatan, ada beberapa tindakan penghinaan terhadap lembaga peradilan yang pernah terjadi, di antaranya kasus terbunuhnya M Taufiq, hakim Pengadilan Agama Sidoarjo. Taufiq tewas setelah ditikam Kolonel (AL) M Irfan saat mengadili perkara rebutan harta gono-gini, antara Irfan dengan mantan istrinya. Pada 29 Oktober 2010, sejumlah pengunjung sidang, memukuli hakim PN Ende Nusa Tenggara Timur Ronald Masang, karena dituduh melindungi tersangka. Ada juga serangan dan perusakan terhadap Pengadilan Negeri oleh sekelompok massa, seperti di Pengadilan Negeri Depok pada September 2013 dan Pengadilan Negeri Bantul pada Juni 2018.
Beberapa kasus di atas menggambarkan betapa lemahnya pengaturan tentang contempt of court sebagai bentuk perlindungan terhadap lembaga peradilan di Indonesia. Tidak heran jika tindakan yang merendahkan martabat dan wibawa lembaga peradilan akan terus terjadi. Bahkan tindakan penghinaan tersebut dianggap menjadi hal biasa dalam sebuh proses persidangan di lembaga peradilan.
Lemahnya aturan hukum yang mengatur tentang contempt of court ini tercermin dari belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perlindungan terhadap lembaga peradilan. Beberapa ketentuan yang ada sebagaimana diatur dalam Pasal 207, Pasal 217, dan Pasal 224 KUHP sangat lemah dan belum cukup mengakomodir semua jenis penghinaan terhadap pengadilan.
Berbeda halnya, di negara lain, terutama negara maju yang menjunjung tinggi hukum dan demokrasi. Perlindungan terhadap wibawa dan martabat pengadilan diatur secara ketat dalam peraturan perundang-undangan.
Di Inggris pada abad ke-13, contempt of court tergolong tindak pidana yang berat, seperti dikatakan oleh Bracton (1260), “There is no greater crime than contempt and disobedience, for all person ought to be subject to the king as supreme and to his officer”.
Salah satu contoh kasus pada 1634, James Williamson melempar batu pada hakim yang sedang menjalankan tugasnya di ruang sidang pengadilan, dinyatakan bersalah karena tindak pidana contempt of court. James Williamson kemudian dijatuhi hukuman potong tangan. Kemudian, potongan tangannya digantung di pintu masuk pengadilan sebagai peringatan bagi masyarakat.
Hingga saat ini, ketentuan mengenai contempt of court ini terus diberlakukan Inggris. Bahkan pada 1981, Kerajaan Inggris menerbitkan UU yang melindungi pengadilan dari pelbagai bentuk perlakuan merendahkan martabat dan kehormatannya, yaitu Contempt of Court Act 1981.
Dalam Undang-Undang ini, ditentukan aturan pertanggungjawaban mutlak strict liability rule di mana suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai contempt of court yang dapat mengganggu atau memengaruhi proses peradilan, terlepas dari ada tidaknya niat atau maksud pelaku untuk itu.
UU tersebut mengatur secara ketat mengenai contempt in the face of the court, contempt by the jurors, dan yang terpenting adalah contempt by publication. Pada penerapannya, pemberlakuan Contempt of Court Act sangat berpengaruh pada pelaksanaan prinsip kebebasan pers.
Bahkan di India, melalui Contempt of Court Act of 1971 mengatur larangan publikasi yang merendahkan martabat pengadilan sebagai suatu tindak pidana. Dalam sistem peradilan, dibedakan antara civil contempt dan criminal contempt, yaitu;
a. Civil Contempt sebagai willful disobedience to any judgment, decree, direction, order, writ or other process of a court or wilful breach of an undertaking given to a court; dan
b. Criminal Contempt sebagai the publication of any matter or the doing of any other act whatsoever which: (i) Scandalises or tends to scandalize, or lowers or tends to lower the authority of, any court; or (ii) Prejudices, or interferes or tends to interfere with the due course of any judicial proceeding; or (iii) interfere or tends to interfere with, or obstructs or tends to obstruct, the administration of justice in any other manner”.
Sementara itu di Hongkong, para hakim di semua tingkatan juga diberi kewenangan menjatuhkan sanksi secara langsung, jika terjadi tindakan yang merendahkan martabat di pengadilan (contempt in the face of the court). Tindakan yang dipandang merendahkan martabat pengadilan seperti, insult a judge or justice, witness or officers of the court, interrupts the proceedings of the court, interfere with the course of justice, bahkan tindakan seperti penggunaan handphone atau alat perekam tanpa izin (misbehaves in court).
Di Amerika Serikat, pengaturan tentang Contempt of Court dapat ditemukan dalam pelbagai yurisprudensi dan Perundang-undangan, termasuk Federal Rule of Criminal Procedure 42 dan USC 18. Contempt dapat dilakukan in the face of the court (in facie curiae) yang disebut sebagai direct contempt of court atau di luar pengadilan yang disebut indirect contempt of court (ex facie curiae), seperti tindakan tidak menaati perintah atau putusan pengadilan.
Gambaran pengaturan yang beragam tentang contempt of court di negara di atas, menunjukkan pentingnya aturan hukum yang ketat terkait tindakan penghinaan terhadap pengadilan dapat diatasi.
Oleh karena itu, sudah saatnya DPR segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Pengadilan (Contempt of Court) yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019.
Pengesahan RUU Contempt of Court ini mejadi penting bagi pemerintah dan DPR memberikan jaminan kebebasan dan kemandirian bagi hakim dan lembaga peradilan, dalam menjalankan fungsinya menegakkan hukum dan keadilan, yang pada akhirnya marwah dan martabat pengadilan tetap terjaga dan dihormati masyarakat.