close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Syaiful Bakhri
icon caption
Syaiful Bakhri
Kolom
Selasa, 16 Februari 2021 22:03

Suatu ikhtiar menemukan keadilan humanistis

Dalam memenuhi tujuan hukum melalui putusan hakim, ada sebuah gagasan yang disebut sebagai pendekatan heuristika hukum.
swipe

Membaca pemikiran teman saya sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Dr HM Syarifuddin, SH, MH, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dengan judul: ‘Pembaruan Sistem Pemidanaan dalam Praktik Peradilan Modern: Pendekatan Heuristika Hukum’, mencerminkan kematangan pemikiran sebagai buah hasil pergumulan mencari dan menemukan jawaban atas setiap permasalahan hukum yang ujungnya adalah penjatuhan putusan oleh hakim.

Pekerjaan hakim tersebut sebagaimana diuraikan secara lugas dalam pidato pengukuhan tersebut, yakni upaya untuk menyelaraskan hukum dan keadilan melalui kegiatan menafsirkan aturan, membentuk norma baru, mendorong gerak pembaruan hukum adalah representasi proses kreatif dalam menerima dan memutus perkara. Puncaknya adalah menjatuhkan pidana, sebagai kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan (Syarifuddin, 2021: 06).

Dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan menyadari bahwa terdapat suatu problematika klasik yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas, tidak saja dalam dunia akademis, melainkan sebuah tantangan dalam dunia praktik. Hal yang dimaksud adalah dalam hal disparitas pemidanaan, khususnya putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum sama. Adanya kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas dalam pemidanaan perkara korupsi memberi gambaran masih adanya disparitas pemidanaan. Salah satu yang menjadi sebab adalah sistem minimum dan maksimum dalam pemidanaan kasus korupsi (Langkun, 2014: 2).

Disparitas ini menyebabkan terjadinya degradasi bagi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai putusan pengadilan yang dianggap tidak konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini semakin melebarkan jarak antara ekspetasi masyarakat terhadap putusan hakim dan apa yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Meminjam pandangan Gustav Radbruch, bahwa terdapat setidaknya tiga tujuan hukum, yakni keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum.

Dalam mewujudkan tujuan hukum, Gustav Radbruch menyatakan perlu menggunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Di antara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, maka mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: 1. Keadilan Hukum; 2. Kemanfaatan Hukum; 3. Kepastian Hukum (Erwin, 2012: 123).

Urutan yang demikian menunjukan bahwa demikian pentingnya posisi keadilan dalam setiap penjatuhan putusan. Namun tidak berhenti sampai di situ, keadilan juga harus membawa manfaat bagi seluruh pihak, dan pada akhirnya keadilan dan kemanfaatan tersebut dibulatkan melalui bentuk sebuah putusan yang mencerminkan terpenuhinya kepastian hukum.

Dengan jalan pikiran yang demikian, maka putusan hakim tidak sekedar menjadi sebuah dokumen hukum yang mencerminkan ‘aura’ kepastian hukum di dalamnya, tetapi dalam setiap lembar, setiap pertimbangan, dan setiap argumentasi yang terurai dalam membentuk sebuah putusan, di dalamnya terdapat sinar-sinar keadilan hukum yang memandu setiap aliran pikiran yang pada akhirnya turut membawa kemanfaatan hukum.

Keadilan sebagai isu yang sentral dalam dinamika putusan hakim, merupakan suatu hal yang mendapatkan perhatian serius. Keadilan adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan secara serius, berkelanjutan, agar dapat dirasakan kemanfaatannya. Perjuangan itu memerlukan waktu, pikiran, dan bahkan kepasrahan dengan hasil yang diperoleh. Perjuangan keadilan sebagai suatu jalan yang berliku, berduri, dan penuh ketidaknyamanan, tetapi mesti berujung pada penghentian terakhir, dengan hasil memuaskan ataupun mengecewakan. Tetapi keadilan tetap menjadi isu utama dalam problematik kehidupan (Bakhri, 2019: 5).

Walaupun perjuangan mencapai keadilan dalam hukum pidana hingga sekarang belum terpecahkan, tetapi setidaknya hukum pidana berupaya untuk mewujudkan keadilan. Melalui hukum pidana dan pemidanaan, maka tujuan mulianya adalah untuk memberikan perlindungan pada kepentingan umum. Melalui kepentingan hukum dan keadilan. Perjuangan keadilan memerlukan sikap yang konsisten, karena keadilan seolah-olah tanpa dapat disentuh, untuk mendapatkannya diperlukan energi untuk pencapaiannya, melalui berbagai jalan dan rintangan untuk sampai pada sasaran (Bakhri, 2016 : 7).

Dalam memenuhi tujuan hukum melalui putusan hakim, ada sebuah gagasan yang disebut sebagai pendekatan heuristika hukum. Heuristika berasal dari kata heuriskein (Yunani), dalam Bahasa Latin heuristicus, yang berarti “to find out” atau “discover”, yaitu menemukan sesuatu (Romanyc, 1985: 47). Heuristika adalah serving to find out or discover atau berupaya menemukan (sesuatu pengetahuan baru) (Engel, 2006: 2). Dalam pengertian lain, heuristika adalah “the branch of logic which treats of the art of discovery or invention” (cabang dari logika yang membahas tentang seni menemukan suatu pengetahuan baru) (Romanyc, 1985:48). Dalam psikologi gestalt, heuristika digambarkan sebagai perilaku yang eksploratif, seperti dalam pencarian informasi dari berbagai sumber yang memungkinkan. Dalam konteks ini, Herbert Simon dan Allen Newell memahami heuristika sebagai pendekatan yang berupaya menemukan solusi atas suatu permasalahan dalam ruang yang lebih luas (Engel, 2006: 8).

Dalam gagasannya, Prof Syarifuddin menawarkan metode heuristika dalam menjatuhkan putusan oleh hakim. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa seringkali terjadi ketika berhadapan dengan permasalahan hukum, kita sulit menemukan pemecahannya jika hanya mengandalkan aturan hukum yang ada. Banyak ditemukan fakta bahwa penanganan suatu perkara tidak bisa mengandalkan hanya pada ketentuan undang-undang semata, misalnya dalam perkara korupsi yang nilai kerugiannya hampir sama dan memiliki kemiripan dalam peranan si pelaku, hakim menjatuhkan sanksi pidana yang jauh berbeda tanpa ada pertimbangan yang cukup sebagai alasan untuk menjatuhkan sanksi yang lebih berat atau sebaliknya dalam kasus-kasus serupa (Syarifuddin, 2021: 20).

Dikemukakan bahwa pemahaman terhadap heuristika dapat disederhanakan sebagai berikut. Ketika menghadapi suatu permasalahan, kita biasanya melihat aturan atau formula yang ada untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam banyak kejadian, aturan atau formula tersebut tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas.

Dalam hal ini, diperlukan proses kreatif untuk menjajagi kemungkinkan lain di luar dari aturan atau formula tersebut. Di sini, seni berpikir dan menganalisis suatu permasalahan dikedepankan dengan mencoba keluar dari pakem yang ada. Inilah yang disebut heuristika karena berupaya menemukan solusi (breakthrough) yang secara aturan atau formula yang ada tidak memungkinkan (Syarifuddin, 2021: 21).

Membaca pemikiran teman saya sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Dr HM Syarifuddin, SH, MH, dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dengan judul: ‘Pembaruan Sistem Pemidanaan dalam Praktik Peradilan Modern: Pendekatan Heuristika Hukum’, mencerminkan kematangan pemikiran sebagai buah hasil pergumulan mencari dan menemukan jawaban atas setiap permasalahan hukum yang ujungnya adalah penjatuhan putusan oleh hakim.

Pekerjaan hakim tersebut sebagaimana diuraikan secara lugas dalam pidato pengukuhan tersebut, yakni upaya untuk menyelaraskan hukum dan keadilan melalui kegiatan menafsirkan aturan, membentuk norma baru, mendorong gerak pembaruan hukum adalah representasi proses kreatif dalam menerima dan memutus perkara. Puncaknya adalah menjatuhkan pidana, sebagai kulminasi dari pergulatan nurani dan kerja kreatif hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan (Syarifuddin, 2021: 06).

Dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan menyadari bahwa terdapat suatu problematika klasik yang belum mendapatkan jawaban secara tuntas, tidak saja dalam dunia akademis, melainkan sebuah tantangan dalam dunia praktik. Hal yang dimaksud adalah dalam hal disparitas pemidanaan, khususnya putusan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki isu hukum sama. Adanya kesenjangan hukuman tanpa alasan yang jelas dalam pemidanaan perkara korupsi memberi gambaran masih adanya disparitas pemidanaan. Salah satu yang menjadi sebab adalah sistem minimum dan maksimum dalam pemidanaan kasus korupsi (Langkun, 2014: 2).

Disparitas ini menyebabkan terjadinya degradasi bagi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai putusan pengadilan yang dianggap tidak konsisten. Dalam konteks yang lebih luas, hal ini semakin melebarkan jarak antara ekspetasi masyarakat terhadap putusan hakim dan apa yang menjadi tujuan hukum itu sendiri. Meminjam pandangan Gustav Radbruch, bahwa terdapat setidaknya tiga tujuan hukum, yakni keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum.

Dalam mewujudkan tujuan hukum, Gustav Radbruch menyatakan perlu menggunakan asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini disebabkan karena dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Di antara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada saat terjadi benturan, maka mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: 1. Keadilan Hukum; 2. Kemanfaatan Hukum; 3. Kepastian Hukum (Erwin, 2012: 123).

Urutan yang demikian menunjukan bahwa demikian pentingnya posisi keadilan dalam setiap penjatuhan putusan. Namun tidak berhenti sampai di situ, keadilan juga harus membawa manfaat bagi seluruh pihak, dan pada akhirnya keadilan dan kemanfaatan tersebut dibulatkan melalui bentuk sebuah putusan yang mencerminkan terpenuhinya kepastian hukum.

Dengan jalan pikiran yang demikian, maka putusan hakim tidak sekedar menjadi sebuah dokumen hukum yang mencerminkan ‘aura’ kepastian hukum di dalamnya, tetapi dalam setiap lembar, setiap pertimbangan, dan setiap argumentasi yang terurai dalam membentuk sebuah putusan, di dalamnya terdapat sinar-sinar keadilan hukum yang memandu setiap aliran pikiran yang pada akhirnya turut membawa kemanfaatan hukum.

Keadilan sebagai isu yang sentral dalam dinamika putusan hakim, merupakan suatu hal yang mendapatkan perhatian serius. Keadilan adalah sesuatu yang harus selalu diperjuangkan secara serius, berkelanjutan, agar dapat dirasakan kemanfaatannya. Perjuangan itu memerlukan waktu, pikiran, dan bahkan kepasrahan dengan hasil yang diperoleh. Perjuangan keadilan sebagai suatu jalan yang berliku, berduri, dan penuh ketidaknyamanan, tetapi mesti berujung pada penghentian terakhir, dengan hasil memuaskan ataupun mengecewakan. Tetapi keadilan tetap menjadi isu utama dalam problematik kehidupan (Bakhri, 2019: 5).

Walaupun perjuangan mencapai keadilan dalam hukum pidana hingga sekarang belum terpecahkan, tetapi setidaknya hukum pidana berupaya untuk mewujudkan keadilan. Melalui hukum pidana dan pemidanaan, maka tujuan mulianya adalah untuk memberikan perlindungan pada kepentingan umum. Melalui kepentingan hukum dan keadilan. Perjuangan keadilan memerlukan sikap yang konsisten, karena keadilan seolah-olah tanpa dapat disentuh, untuk mendapatkannya diperlukan energi untuk pencapaiannya, melalui berbagai jalan dan rintangan untuk sampai pada sasaran (Bakhri, 2016 : 7).

Dalam memenuhi tujuan hukum melalui putusan hakim, ada sebuah gagasan yang disebut sebagai pendekatan heuristika hukum. Heuristika berasal dari kata heuriskein (Yunani), dalam Bahasa Latin heuristicus, yang berarti “to find out” atau “discover”, yaitu menemukan sesuatu (Romanyc, 1985: 47). Heuristika adalah serving to find out or discover atau berupaya menemukan (sesuatu pengetahuan baru) (Engel, 2006: 2). Dalam pengertian lain, heuristika adalah “the branch of logic which treats of the art of discovery or invention” (cabang dari logika yang membahas tentang seni menemukan suatu pengetahuan baru) (Romanyc, 1985:48). Dalam psikologi gestalt, heuristika digambarkan sebagai perilaku yang eksploratif, seperti dalam pencarian informasi dari berbagai sumber yang memungkinkan. Dalam konteks ini, Herbert Simon dan Allen Newell memahami heuristika sebagai pendekatan yang berupaya menemukan solusi atas suatu permasalahan dalam ruang yang lebih luas (Engel, 2006: 8).

Dalam gagasannya, Prof Syarifuddin menawarkan metode heuristika dalam menjatuhkan putusan oleh hakim. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa seringkali terjadi ketika berhadapan dengan permasalahan hukum, kita sulit menemukan pemecahannya jika hanya mengandalkan aturan hukum yang ada. Banyak ditemukan fakta bahwa penanganan suatu perkara tidak bisa mengandalkan hanya pada ketentuan undang-undang semata, misalnya dalam perkara korupsi yang nilai kerugiannya hampir sama dan memiliki kemiripan dalam peranan si pelaku, hakim menjatuhkan sanksi pidana yang jauh berbeda tanpa ada pertimbangan yang cukup sebagai alasan untuk menjatuhkan sanksi yang lebih berat atau sebaliknya dalam kasus-kasus serupa (Syarifuddin, 2021: 20).

Dikemukakan bahwa pemahaman terhadap heuristika dapat disederhanakan sebagai berikut. Ketika menghadapi suatu permasalahan, kita biasanya melihat aturan atau formula yang ada untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam banyak kejadian, aturan atau formula tersebut tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas.

Dalam hal ini, diperlukan proses kreatif untuk menjajagi kemungkinkan lain di luar dari aturan atau formula tersebut. Di sini, seni berpikir dan menganalisis suatu permasalahan dikedepankan dengan mencoba keluar dari pakem yang ada. Inilah yang disebut heuristika karena berupaya menemukan solusi (breakthrough) yang secara aturan atau formula yang ada tidak memungkinkan (Syarifuddin, 2021: 21).

Itulah sebabnya heuristika dapat diimplementasikan dalam hukum. Hukum adalah sistem yang dinamis dan bersegi banyak. Dinamis dalam arti bahwa hukum senantiasa berubah dan bergerak mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan berhukum di masyarakat. Bersegi banyak berarti hukum bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal, sebaliknya hukum terbentuk dan berdinamika sedemikian rupa karena dipengaruhi oleh faktor-faktor di luarnya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, psikologi, dan agama (Syarifuddin, 202:22).

Dalam mengimplementasikan gagasan tersebut, terletak pada hakim itu sendiri. Hal ini menyangkut isu tentang kemandirian hakim dalam menjatuhkan putusan, terutama dalam menjatuhkan pidana dalam perkara-perkara korupsi. Pemidanaan bermaksud untuk menegakkan kemaslahatan, perdamaian, serta kebahagiaan seluruh manusia.

“Tidaklah seseorang yang berdosa akan memikul dosa orang lain“. “Kami tidak akan menghukum, hingga Kami utus Rasul terlebih dahulu” (Q.S. 17 ayat (15).

Pidana sebagai nestapa yang dikenakan negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang. Pidana dijatuhkan secara sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Ukuran kenestapaan pidana yang patut diterima oleh seseorang merupakan persoalan yang tidak terpecahkan. Pidana baru dirasakan secara nyata apabila sudah dilaksanakan secara efektif. Tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana tetapi dengan jalan menggunakan tindakan-tindakan (Saleh, 1983: 9).

Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sekunder, yakni apakah perbuatan pidana itu betul-betul harus dijatuhi hukuman. Karena secara primer hukum pidana, berguna untuk menginsafkan perbuatan yang keliru agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hukum pidana terkandung asas kemasyarakatan dan asas perikemanusiaan yang merupakan sendi-sendi negara kita.

Sehingga perbuatan pidana dan pertanggung jawaban dalam hukum pidana, laksana dua mercusuar yang memancarkan sinarnya di atas samudera yang gelap dan berbahaya, maka para pelayar dalam menuju pangkalannya diharapkan tiba dengan selamat dan berbahagia, karenanya dua pangkal sinar itu harus selalu diawasi dan diikuti, sebab jika tidak, bukan kebahagiaan yang akan dialami, bahkan kesengsaran dan kesewenang-wenangan (Moelyatno, 2008: 27).

Setiap pemidanaan yang dijatuhkan oleh peradilan, dengan aktor utamanya adalah hakim pidana, selalu mendapatkan perhatian di masyarakat, terhadap tingkat kepuasan dan keseriusan pemidanaan itu, sebagai suatu alat pembalasan ataukah alat pembinaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam warna warni “keadilan” yang dimaknainya. Di sinilah pertemuan pemikiran falsafah Pancasila sebagai pengendali emosi dan hasrat keadilan di relung paling dalam dan suci, dari para hakim pidana, memberikan kemuliaannya, dalam menilai peristiwa konkret dengan tulus ikhlas, tanpa muatan-muatan apapun, dan hanya dengan hasrat keadilan, dapat membenarkan putusan-putusan pemidanaannya (Bakhri, 2016 : 4).

Dalam budaya hukum pidana barat, hakim pidana, karena kepercayaan yang diberikan padanya, menikmati kewenangan, yang cukup luas, berkenaan dengan penetapan hukuman. Kebebasan itu tidak hanya terhadap pilihan-pilihan bentuk pemidanaan, namun juga terhadap berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Patokan berat ringannya pemidanaan, berdasarkan pada patokan, tentang tingkat keseriusan dari perbuatan, serta latar belakang, situasi dan kondisi yang melingkupi pelaku, ketika melakukan tindak pidana. Karena itu sangat mendapatkan perhatian tentang sejumlah panduan atau berkaitan dengan sejumlah ciri-ciri yang terkait dengan kejahatan tersebut. Hakim dapat menyimpangi ketentuan perundang-undangan, dengan memberikan alasannya (Kelk, 2012: 69).

Tidak ada batas yang jelas atas kebebasan yudisial, bukan berarti hakim tidak terikat dengan peraturan, tetapi dalam arti kreasinya, menafsirkan bunyi undangundang dan menilai fakta dalam kerangka menyusun nalar hukum. Putusan yang tidak adil, tidak manusiawi dan sebagainya, yang konotasinya bertentangan nilai-nilai keadilan dan harapan masyarakat, secara teknis tercakup dalam kategori salah dalam menerapkan hukum. Hakim bisa salah, tetapi hakim dengan keyakinannya dapat menilai relevansi, signifikasi dan realibiltas fakta, serta bukti untuk menentukan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa pidana, sehingga menentukan hukuman atau membebaskan dari segala dakwaan (Asmara, 2011: 11).

Jaminan yang diberikan kepada seorang hakim, sangatlah penting keberadaannya, guna tercapainya tujuan hukum, dalam hal ini hukum pidana dalam ruang lingkup sistem peradilan pidana. Kebebasan hakim didasarkan kepada kemandirian dan kekuasaan kehakiman di Indonesia, telah di jamin dalam konstitusi Indonesia. Independensi diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak ekstra yudisiil, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan undang-undang.

Mengenai penyelenggaraan pengadilan, maka kekuasaan kehakiman, karena kedudukannya yang bebas, dan bertanggung jawab, walaupun demikian tidaklah boleh hakim menyalahgunakan kedudukannya yang bebas itu, karena terikat pada syarat-syarat tertentu yang harus diindahkannya pada saat menunaikan tugasnya, yakni syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum berlaku, untuk memberi jaminan-jaminan bagi suatu penyelenggaraan peradilan yang layak dan adil.

Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandirian atau kemerdekaan, dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman, meliputi bebas dari campur tangan kekuasaan, bersih dan berintegritas serta profesional. Pada hakikatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan. Di dalam mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hakim bukan hanya sekedar berperan memantapkan kepastian hukum, melainkan juga keadilan. Sehingga setiap hakim bersifat spiritual, secara lahiriah, terdapat tanggung jawab hakim secara batiniah, yakni bertanggung jawab pada hukum, diri sendiri dan kepada rakyat, serta lebih jauh pada Tuhan Yang Maha Esa.

Sehingga dalam merumuskan tujuan hukum yang sesungguhnya, tidak dirumuskan dalam kata-kata, tetapi dipahami dan dihayati, karena bersumber pada hati nurani manusia (Bakhri, 2016: 27).

img
Syaiful Bakhri
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan