Socrates S. Yoman: Realita terbalik
Baru-baru ini beredar di sementara grup Whatsapp tulisan dari Pendeta Dr. Socrates S. Yoman, tokoh agama Papua, yang pada intinya menarasikan bahwa Indonesia bersama dengan Australia, Amerika Serikat, dan Belanda adalah bagian dari negara-negara penjajah.
Tidak saja menyetarakan Indonesia dengan Belanda, yang memang pernah menjajah nusantara, Pendeta Dr. Socrates S. Yoman, juga menarasikan bahwa Indonesia mengombinasikan “penjajahan” dengan “rasisme” di dalam berhadapan dengan Orang Asli Papua (OAP), seakan-akan bangsa Indonesia hanya terdiri dari OAP dan Non-OPA.
Patut dicatat bahwa Indonesia adalah suatu negara “melting pot”, yang kurang-lebih menjadi rumah bagi kurang-lebih 500 suku-bangsa, etnis, dan ras. Tidak satupun suku-bangsa, etnis, atau ras tersebut merasa dirinya lebih rendah dari yang lain. Bahkan, sebagian kecil, diantaranya menganggap suku-bangsa, etnis, atau rasnya lebih “mulia” dari yang lain.
Prejudice
Masih teringat dengan jelas, ketika pada era tahun 1970an, saya memulai pendidikan di jantung budaya Jawa, Yogyakarta (UGM), yang masyarakat awamnya ketika itu mengklasifikan seseorang sebagai: “Wong Jawa” dan “Wong Sabrang” (barbar).
Pada awalnya saya juga menderita “cultural shock”, karena dengan predikat “Wong Sabrang”, cenderung sulit bagi saya untuk mendapatkan pemondokan di Kota Yogyakarta, yang indah tersebut. Tetapi, saya tidak lantas “mutung”, pulang kampung, mengamuk dan membakar kota serta membunuh orang-orang yang tidak berdosa di Sumatera, karena menyadari bahwa reaksi penduduk Yogya tersebut ternyata hanya artifisial, tidak fundamental, setelah saya berbaur – tidak eksklusif – dengan mereka.
Saat ini, mungkin saya adalah satu-satunya orang non-Jawa (Batak), yang menerima gelar tertinggi dari Kraton Yogyakarta, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Duta Wirabangsa. Memang “prejudice” selalu menyertai ketika dua budaya berinteraksi, yang kemudian menguap tidak meninggalkan bekas, ketika sifat-sifat kebaikan universal termanifestasikan. Pepatah Jawa mengatakan: Cinta datang dengan kebiasaan (tresno jalaran soko kulino).
Baik – buruk adalah sifat universal, yang ada di diri manusia. Oleh karena itulah, agama dan budaya muncul sebagai jawaban, bukan justru dipergunakan untuk mendikotomikan masyarakat, dengan memposisikan diri sebagai korban (playing victim), sementara pihak lain adalah penindas (oppressor).
Pembalikan fakta sejarah (twisted historical reality)
Sebagai seorang tokoh agama dan intelektual bergelar Doktor, Socrates S. Yoman, seyogianya mampu memilah-milahkan informasi yang disajikan oleh sosial-media dengan fakta berbasis sejarah dan hukum internasional, tentang status Tanah Papua (West Papua) di dalam kerangka NKRI.
Sampai saat ini, tidak terdapat pernyataan Kerajaan Belanda, yang membantah bahwa wilayah jajahan (koloni)nya di nusantara (Indonesia moderen), adalah terbentang dari Sabang hingga Merauke. Ketika VOC bubar pada tahun 1800, pemerintah Belanda mengambil-alih penjajahan di kepulauan nusantara.
Sebagai catatan, walaupun VOC adalah sebuah perusahaan swasta, pemerintah kolonial Belanda pada saat itu memberikan kewenangan eksekutif, yudikatif, dan legislatif kepada perusahaan tersebut untuk mengendalikan pemerintahan di Indonesia. Atas dasar itu, VOC memiliki kewenangan untuk antara lain: mengeluarkan legislasi, menarik pajak, memaksa rakyat bekerja, menangkap dan menghukum mereka, jika dipandang membangkang.
Sebagai bagian dari NKRI, ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, maka prinsip hukum internasional – Uti Possidetis Juris – secara otomatis menetapkan secara yuridis batas wilayah Indonesia, yaitu dari Sabang sampai Merauke. Prinsip hukum internasional Uti Possidetis Juris menetapkan bahwa: “batas wilayah dari suatu negara yang baru merdeka adalah sama dengan batas wilayah ketika wilayah tersebut dijajah”.
Seperti juga kebiasaan buruk negara-negara kolonial lain, dengan “memainkan” kartu Ras Melanesia, Belanda berupaya bertahan di Tanah Papua, melupakan fakta bahwa Ras Melanesia juga tersebar di berbagai daerah Indonesia Bagian Timur.
Selain ingin mempertahankan statusnya sebagai negara kolonial agar berdiri sejajar dengan Inggris Raya, Perancis, Belgia, Spanyol, dan Portugal, tujuan utama kolonial Belanda bertahan di Tanah Papua adalah: pertama, untuk menampung para warganegara dan kolaborator Belanda, yang tidak ingin kembali ke negara tersebut; kedua, menciptakan wilayah lindung (sanctuary) bagi warganegara Belanda dan para pengikutnya; dan, ketiga, mencegah migrasi atau exodus besar-besaran warganegara
Belanda, keluarga, dan para kolaboratornya ke salah-satu negara terkecil di benua Eropa tersebut.
Jika eksodus besar-besaran tersebut terjadi, dapat dipastikan gejolak sosial akan muncul di negara kecil tersebut, seperti yang bahkan masih terjadi di Perancis saat ini, yang menampung migran dari wilayah-wilayah jajahannya di Afrika, antara lain: Moroko, Algeria, dan Tunisia. Para keturunan dari migran-migran tersebut adalah pelaku dari sebagian besar tindak terorisme di negara tersebut.
Keinginan kuat warga keturunan Belanda untuk bertahan di tanah tropis (surga khatulistiwa) tidak dapat dipandang ringan. Bahkan untuk menciptakan “rumah kopi” (koffie huis), para kolonialis tersebut merusak kesucian Candi Borubudur dengan membangun teras dan mencat bagian atas Candi Borobudur, circa 1900an, hanya untuk sekedar berpesta di sore hari.
Pembangkangan Belanda tersebut dijawab oleh Indonesia dengan menggelar perang dan melancarkan upaya diplomasi untuk membebaskan Tanah Papua, yang dimulai pada awal tahun 1960an.
Mendapatkan tekanan dunia, khususnya Amerika Serikat, yang tidak ingin Indonesia jatuh kepangkuan dunia komunisme, yang dipimpin oleh Uni Soviet, Belanda bersepakat dengan Indonesia untuk menyelesaikan pertikaian melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Tanah Papua di bawah supervisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB, 1969), yang hasilnya disyahkan oleh Sidang Mejelis Umum (SMU) PBB, melalui Resolusi No.: 2504 (XXIV)/1969.
Sejak itu, Tanah Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan negara kolonial Belanda menarik diri dari wilayah tersebut. Hingga saat ini, Belanda tidak pernah lagi mempermasalahkan status Tanah Papua sebagai bagian integral wilayah kedaulatan Indonesia. Atau, mengeluarkan pernyataan bahwa pada tanggal dan tahun tertentu telah mendeklarasikan kemerdekaan Tanah Papua, seperti yang sering didengung-dengungkan oleh para pendukung gerakan separatisme (twisted reality proponents).
Adalah suatu hal yang halusinatif, jika mereka berpandangan bahwa para pemimpin negara-negara di dunia yang mendukung Resolusi SMU-PBB No.: 2504 (XXIV)/1969 adalah terlalu bodoh (stupid enough), menginstruksikan delegasi negara mereka di SMU-PBB, untuk mendukung resolusi tersebut.
Teologi pembebasan
Teologi Pembebasan digagas oleh tokoh gereja Gustavo Guierrez Merino (Peru, 1970an). Pada dasarnya, ideologi tersebut berkeyakinan bahwa gereja adalah penyelamat rakyat di tengah-tengah suasana kekacauan dan penindasan. Teologi Pembebasan merebak di hampir seluruh negara- negara Amerika Latin, seperti antara lain: Argentina, Chili, Paraguay, El Salvador, Guetemala, Venezuela, dan Nikaragua. Namun, praktis gagal mengubah “political landscape” wilayah Amerika Latin. It wasn’t a viable solution.
Tampaknya, Pendeta Socrates S. Yoman, masih terpana oleh, dan terperangkap dalam, ideologi Teologi Pembebasan yang sudah terbukti gagal tersebut dan bahkan sudah ditinggalkan di wilayah dimana aliran tersebut lahir, dengan cara mencoba memanipulasi sentimen bahwa OAP terjajah, terpinggirkan, dan diperlakukan secara diskriminatif.
Adalah ironis, jika Undang-Undang No. 11/2001 Tentang Otonomi Daerah (Tanah Papua), yang praktis mengalokasikan seluruh jabatan-jabatan strategis kepemerintahan secara eksklusif kepada OAP, sementara menutup peluang bagi para pendatang untuk berkompetisi secara bebas untuk mengisi jabatan-jabatan dimaksud, berdasarkan prinsip meritokrasi.
Praktis, orang-orang Non-OAP terdiskriminasikan di Tanah Papua, atas nama kredo “Papua Untuk Papua”, sementara OAP tetap memiliki peluang untuk berkompetisi dan berkarya di seluruh wilayah NKRI. Tampaknya, Pendeta Socrates S. Yoman perlu juga berkaca tentang apa yang saat ini terjadi di Timor Leste, yang tidak mampu membentuk pemerintah selama bertahun-tahun, walau secara historis kedua wilayah tersebut tidak dapat diperbandingkan.
Akar masalah
Esensi masalah di Tanah Papua sesungguhnya adalah tindakan koruptif para elit lokal dalam menggunakan triliunan rupiah dana otonomi daerah, sehingga tujuan untuk membangun 4 (empat) sektor strategis di wilayah tersebut, yaitu: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi kerakyatan, tidak tercapai.
Tuntutan untuk menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas di dalam mengelola APBD selalu dihadapkan pada opsi kemerdekaan, sehingga “rampant corruption” terjadi berlarut-larut di Tanah Papua.
Adalah suatu hal yang mulia, sebagai tokoh agama, Pendeta Socrates S. Yoman menyalurkan rasa frustasinya kepada para elit yang koruptif tersebut, daripada “memainkan” kartu penjajahan dan diskriminasi ras, untuk mengalihkan akar masalah yang ada di Tanah Papua. Memang, jika kedua kartu tersebut ditarik dari “equation”, Pendeta Socrates S. Yoman seolah-olah akan kehilangan eksistensinya.
Sesungguhnya tidak, karena dengan membuang “inlander mentaliteit” peninggalan negara kolonial Belanda dan meninggalkan Teologi Pembebasan yang gagal tersebut, Pendeta Socrates S. Yoman akan menjadi pelita – sesungguh-sungguhnya pelita – bagi umatnya di Tanah Papua, melangkah tegar menuju Indonesia Emas pada tahun 2045, bersama dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.