close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Kamis, 06 September 2018 18:16

Sengkarut pencalonan mantan terpidana korupsi

Pengesampingan atau pembatalan suatu PKPU hanya bisa dilakukan bila ada putusan hasil uji materi oleh MA.
swipe

Rabu malam (5/6), tiga lembaga penyelenggara pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) bertemu untuk membahas isu yang tengah menjadi polemik dalam penyelenggaraan pemilu Indonesia.

Mereka berkumpul dalam forum tripartit penyelenggara pemilu untuk membahas sengkarut pencalonan mantan terpidana korupsi yang belum menemukan penyelesaian akibat KPU dan Bawaslu yang bersikukuh pada pendiriannya masing-masing.

Masalah ini bermula saat KPU menetapkan Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur bahwa pencalonan legislatif 2019 baik dari jalur DPD maupun DPR dan DPRD tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Aturan yang tertuang dalam PKPU No. 14 Tahun 2018 untuk pencalonan anggota DPD dan PKPU No. 20 Tahun 2018 untuk pencalonan anggota DPR dan DPRD, meski sudah diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Kemenkumham, tetap mendapatkan perlawanan dari para bakal caleg, khususnya mantan terpidana korupsi. 

Kisruh makin meruncing ketika sejumlah Bawaslu di kabupaten/kota dan provinsi, membuat putusan sengketa proses pemilu yang meloloskan permohonan mantan terpidana korupsi, untuk menjadi bakal caleg (baik DPD maupun DPRD) Pemilu 2019. Putusan jajaran Bawaslu itu dibuat dengan merujuk pada UU dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan sama sekali tidak mempertimbangkan pengaturan yang ada dalam PKPU. Alasan mereka PKPU itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan semestinya tidak boleh menghilangkan hak konstitusional mantan terpidana korupsi. Pandangan Bawaslu, pencabutan hak untuk menjadi kandidat hanya boleh dilakukan oleh UU atau putusan pengadilan. 

Putusan jajaran Bawaslu tidak serta merta dilaksanakan KPU. Melainkan direspons dengan menunda ekesekusinya sampai ada Putusan Mahkamah Agung atas pengujian PKPU tersebut. KPU beralasan ketentuan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 76 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur secara spesifik bahwa pengujian  atas atas pemberlakuan PKPU oleh pihak-pihak yang berkeberatan hanya bisa dilakukan melalui uji materi di Mahkamah Agung (MA). Sedangkan forum penyelesaian sengketa di Bawaslu bukanlah mekanisme yang tepat.

Forum tripartit KPU, Bawaslu, dan DKPP lantas menyepakati untuk “cooling down” dan meminta MA untuk segera memutus uji materi atas PKPU pencalonan yang ternyata sudah banyak diuji oleh para mantan terpidana korupsi. Selain itu, mereka juga meminta parpol untuk tetap tidak mencalonkan mantan terpidana korupsi meski kadernya sudah diloloskan Bawaslu. Sebab pimpinan parpol sudah berkomitmen tidak akan mencalonkan mantan terpidana korupsi dalam pakta integritas yang mereka buat baik sebagai konsekwensi pengaturan PKPU ataupun wujud komitmen pakta integritas yang mereka isi atas sodoran Bawaslu.

Dalam pandangan penulis, kesepakatan untuk menunggu Putusan MA merupakan penegasan bahwa semua pihak harus menghormati PKPU sebagai regulasi pemilu yang mengikat semua elemen dalam proses penyelenggaraan pemilu. Pengesampingan atau pembatalan suatu PKPU hanya bisa dilakukan bila ada putusan hasil uji materi oleh MA.

Maka, sudah semestinya segala proses sengketa pencalonan mantan terpidana korupsi yang saat ini sedang ditangani jajaran Bawaslu ditunda sampai ada kepastian hukum terkait hasil pengujian PKPU di MA. Sebab dalil yang digunakan pemohon dalam menyoal Berita Acara yang dikeluarkan KPU adalah menganggap PKPU bertentangan dengan UU dan Putusan MK. Dengan demikian, tentu tidak relevan kalau Bawaslu di daerah tetap memaksakan untuk mengabulkan permohonan mereka. Justeru yang masuk akal adalah menolak permohonannya , karena selama belum ada Putusan MA yang membatalkan PKPU 14 dan 20/2018, maka PKPU tersebut merupakan instrumen regulasi sebagai batu uji yang sah dalam proses penyelesaian sengketa oleh Bawaslu.

Memang "perseteruan" antara KPU dan Bawaslu ini bukan sesuatu yang mudah bagi kedua lembaga. Namun, kedewasaan bersikap dan perilaku demokratis juga harus dibangun dan dipupuk kuat oleh masing-masing institusi. Misalnya saja, apapun isi Putusan MA yang akan dikeluarkan nanti, menolak atau menerima, tidak boleh membuat salah satu lembaga merasa lebih jumawa atau  superior dibandingkan penyelenggara yang lain. Relasi yang dibangun haruslah berdasar sikap yang proporsional, adil, dan profesional sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu. Sehingga tidak terbelenggu semangat korsa yang kebablasan.

Soal desakan pada parpol, sudah semestinya itu dilakukan semua pihak. Harus diingat PKPU ataupun Pakta Integritas yang disodorkan Bawaslu kepada pimpinan-pimpinan parpol sesungguhnya menyasar komitmen kongkrit mereka untuk hanya mencalonkan kader-kader terbaiknya, mereka yang tidak punya rekam jejak dan integritas buruk. 

Kebuntuan saat ini akan tuntas kalau parpol bersikukuh memutuskan tetap tidak akan mencalonkan mantan terpidana korupsi menjadi calegnya. Bukankah parpol lah yang berkuasa penuh menentukan siapa yang mereka kehendaki dan tidak kehendaki untuk mewakili wajah partainya di daftar calon pada surat suara? 

Jadi sehebat apapun upaya para mantan terpidana korupsi, kalau parpol tidak berkenan memberi karpet merah pencalonan bagi mereka, para mantan napi korupsi itu tak akan mampu merebut tiket caleg apalagi sampai memenangi Pemilu 2019. Oleh karena itu, desakan publik menuntut parpol agar menunjukkan komitmen antikorupsinya secara nyata adalah keniscayaan yang harus kita perjuangkan dengan suara lantang. Terus cereweti dan marahi parpol yang calonkan mantan napi korupsi, sampai mereka jera.

img
Titi Anggraini
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan