close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Awalil Rizky
icon caption
Awalil Rizky
Kolom
Senin, 03 Mei 2021 09:36

Rasio utang pemerintah terus meningkat

Soalan utang ini mesti lebih diwaspadai oleh pemerintah. Diperlukan tak sekadar upaya menjelaskan bahwa kondisinya masih aman.
swipe

Posisi utang pemerintah dilaporkan sebesar Rp6.074,56 triliun pada akhir 2020. Dalam bahasa sehari-hari posisi utang adalah sisa utang hingga tanggal yang dinyatakan. Posisi utang bersifat akumulasi dari transaksi utang pada waktu sebelumnya. Telah diperhitungkan pokok utang yang dilunasi atau dicicil, serta penarikan utang baru selama ini.

APBN Kita edisi Januari 2021 yang merupakan publikasi resmi dari Kementerian Keuangan menyebut, posisi utang tersebut sebesar 38,68% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sering hanya disebut rasio utang. Rasio tersebut sebenarnya masih berupa prakiraan, karena saat itu Badan Pusat Statistik (BPS) belum merilis data PDB 2020. 

Posisi utang pemerintah dimaksud juga bersifat sementara, belum diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) biasa dipublikasi pada Juni-Juli. Berdasar tahun-tahun sebelumnya, selisih dengan nilai yang telah diaudit tidak terlampau besar dalam hal posisi utang. 

Rasio utang dalam APBN Kita tadi mengasumsikan nilai PDB yang sebesar Rp15.705 triliun. APBN Kita memang tidak menyebut nilai tersebut secara eksplisit. Namun dapat dihitung dari nilai posisi utang dan rasionya atas PDB.

Beberapa minggu kemudian setelahnya, BPS mengumumkan nilai PDB nominal 2020 ternyata hanya sebesar Rp15.434 triliun. Dengan demikian rasio utang pemerintah sebenarnya meningkat menjadi 39,36%.

Posisi utang yang definitif memang masih menunggu audit BPK. Akan tetapi selayaknya berbagai paparan atau narasi dari Menkeu dan jajarannya setelah rilis BPS memakai perhitungan rasio yang baru. Tetap mengutip besaran 38,68%, apalagi hanya membulatkan menjadi 38,5%, terkesan ingin menampilkan rasio yang lebih rendah.

Kesan ingin menampilkan rasio yang lebih rendah juga diperoleh ketika mengutip proyeksi rasio dari International Monetary Fund (IMF). Proyeksi IMF sendiri mengalami beberapa kali revisi, dengan kecenderungan meningkat. Sempat diprakirakan sebesar 37,7% pada Juni 2020, direvisi menjadi 38,5% pada Oktober 2020, kemudian menjadi 38,7% pada Januari 2021.

Cukup mengherankan ketika IMF menyebut rasio utang pemerintah Indonesia pada 2020 hanya sebesar 36,62%, dalam publikasi Fiscal Monitor April 2021. Dalam database IMF tercantum posisi utang hanya sebesar Rp5.652,15 triliun. Jauh lebih kecil dari publikasi APBN Kita. Sedangkan data PDB yang dipakai telah mengikuti rilis BPS.

Sebagai informasi, data IMF mengenai posisi utang pemerintah Indonesia tiap akhir tahun memang tak sepenuhnya sama dengan data kementerian keuangan, terutama yang tercantum dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) audited. Namun selama ini selisih nilainya terbilang sangat kecil. Sedangkan selisih antara data IMF versi April 2021 dengan APBN Kita Januari 2021 mencapai Rp422 triliun. Sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Terlepas dari “keanehan” data IMF tersebut, rasio utang akan cukup sulit diturunkan hingga beberapa tahun ke depan. Pemerintah pun dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 hanya berani mengatakan rasio akan dijaga dalam batas aman, pada kisaran 38-43% hingga akhir 2024.

Nota Keuangan dan APBN 2021 tidak menyebut target besaran rasio utang yang definitif pada 2021. Hanya disebutkan bahwa rasio akan dijaga dalam batas aman. Adapun yang dinyatakan secara eksplisit hanya berupa kisaran, yaitu rasio utang hingga akhir 2024 sebesar range 38-43%. 

APBN 2021 yang merencanakan defisit sebesar Rp1.006,38 triliun dinyatakan sebagai 5,70% atas PDB. Artinya PDB diasumsikan akan sebesar Rp17.655 triliun. Asumsi yang sangat tidak realistis karena PDB 2020 hanya Rp15.434 triliun. Untuk mencapainya, dibutuhkan kenaikan PDB nominal sekitar 14,39% atau pertumbuhan ekonomi lebih dari 10%. Kecuali inflasi akan meningkat drastis, terutama inflasi yang dihadapi produsen sebagai basis perhitungan PDB nominal. 

Jika pemerintah dan Bank Indonesia masih berhasil mengendalikan inflasi pada 2021, maka PDB nominal yang realistis adalah di kisaran Rp16.600 triliun. Bahkan, IMF hanya memproyeksikan sebesar Rp16.428 triliun.

Sedangkan posisi utang pemerintah akhir 2021 dapat diprakirakan dari rencana pembiayaan utang dalam APBN. Pembiayaan utang merupakan rencana penambahan utang karena pengelolaan APBN, yaitu sebesar Rp1.177,35 triliun.

Seandainya kurs rupiah tetap terjaga stabil sampai dengan akhir 2021, sehingga faktor ini tidak menambah posisi utang secara berarti, maka posisi utang akan sekitar Rp7.252 triliun.

Dengan demikian, prakiraan atas rasio utang atas PDB 2021 adalah sebesar 43,69%. Dihitung dari prakiraan posisi utang akhir 2021 (Rp7.252 triliun) dengan prakiraan PDB (Rp16.600 trilun). Jika memakai prakiraan PDB menurut IMF (April 2021), maka rasionya akan sebesar 44,14%. Telah melampaui batas rasio yang ditargetkan pemerintah hingga akhir 2024.  

Menurut penulis, soalan utang ini mesti lebih diwaspadai oleh pemerintah. Diperlukan tak sekadar upaya menjelaskan bahwa kondisinya masih aman. Melainkan mengelolanya secara lebih berhati-hati lagi. Sekurangnya, rasio utang yang menjadi target dapat dipenuhi, sejak 2021 ini.   

img
Awalil Rizky
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan