Puan Maharani: Puisi dan gelar
Para leluhur bijak memberi nasihat ke anak-cucu agar jangan gampang kagetan. Segala petunjuk diberikan untuk membentuk anak-cucu mengalami dan mengerti segala hal tanpa tergesa membuat tuduhan atau simpulan. Ketenangan dan kematangan memikirkan segala hal menjadikan orang insaf atas pelbagai kejadian. Ia pun bakal mengasihi orang lain dengan mengurangi tumpukan curiga dan fitnah. Para leluhur memang menghendaki kita menjadi orang beradab meski sulit dan rumit.
Dulu, para penikmat sastra memiliki daftar pendek penggubah puisi berjenis kelamin perempuan. Mereka mengingat Rukiah, Isma Sawitri, Dorothea Rosa H, Oka Rusmini, dan lain-lain. Daftar itu terus bertambah meski sekian penulis belum terlalu dikenali atau mendapat tempat dalam kesusastraan Indonesia. Pada suatu masa, ada kerja muluk demi membuktikan 123 perempuan Indonesia adalah penggubah puisi. Mereka memiliki beragam profesi. Sekian tokoh sudah kondang. Kita mengenali mereka di politik, bisnis, industri hiburan, dan lain-lain. Daftar nama di perpuisian bertambah tanpa wajib kita membuat esai atau resensi untuk puisi gubahan mereka.
Buku besar, tebal, dan mewah berjudul 123 Puisi Perempuan Indonesia (2011) memuat sebiji puisi gubahan Puan Maharani Soekarno Putri. Kita lekas mengetahui beliau adalah anak Megawati Soekarnoputri. Beliau itu cucu Soekarno. Di jagat politik Indonesia, nama Puan Maharani semakin moncer dan dianggap berpengaruh besar di partai politik. Publik menduga beliau bakal menjadi tokoh (ter)penting di jalan sudah ditempuhi kakek dan ibu. Pada suatu hari, Puan Maharani menggubah puisi. Ia sadar telanjur dicap manusia politik tetapi menggubah puisi adalah hak berdalih estetika.
Kita ingat pesan leluhur: jangan kagetan. Puan Maharani berpuisi itu lumrah, setelah menggerakkan kata-kata dalam pidato atau percakapan politik. Orang berhak menduga kesanggupan menggubah puisi sudah dimiliki Puan Maharani sejak bocah. Ia sengaja tak sibuk di kesusastraan, memilih menempuhi jalan besar bernama politik. Di jalan bergelimang hasrat dan konflik, ia mungkin ingin melembutkan dan mengindahkan melalui puisi. Kita membaca puisi berjudul "Darahku, Panggilanku" gubahan Puan Maharani: terbangun aku tengah malam/ hati berdetak tak menentu/ terdengar teriakan mereka/ makin kututup kupingku semakin nyata// "Aku melihat Indonesia," kata Eyangku/ mengalir darahnya di nadiku/ mengalir semangatnya di jiwaku. Dua bait sederhana. Di situ, ada biografi pewarisan tekad mengabdi dan memuliakan Indonesia. Puisi menggugah nasionalisme, bukan asmara picisan atau berlagak mengagumi Indonesia molek.
Pada 2011, Puan Maharani belum menjadi menteri di Kabinet Indonesia Kerja bentukan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Puan Maharani juga masih jauh dari predikat sebagai Ketua DPR. Di partai politik, beliau sudah kondang dan memiliki kekuasaan. Ia telah mendapat tempat sebagai penggerak politik dengan pengaruh kebesaran ibu dan kakek. Di pelbagai peristiwa politik, Puan Maharani sering tampak tetapi jarang memberi kata-kata menjadi berita. Beliau belum memerlukan menulis sekian artikel tersaji di koran atau majalah sebagai ejawantah kehendak berpolitik. Ia masih belum mewarisi secara utuh tentang keranjingan membaca-menulis dari Soekarno. Berpolitik itu kesibukan hampir setiap hari. Puan Maharani menetapkan diri sebagai penggubah puisi. Ia mungkin menulis puluhan puisi. Di buku tebal, jatah setiap tokoh cuma sebiji puisi.
Kita lanjutkan membaca puisi gubahan Puan Maharani: kutahu sudah saatnya kumelangkah/ lebih dalam ke dunia yang kulihat/ sejak kecil kudengar dan kurasa/ inilah darahku/ inilah panggilanku// suara kami adalah suara mereka/ ribuan mata di depanku/ penuh semangat dan harapan/ saat kami melambai, mereka teriak/ saat kami bicara, mereka mendengar/ bersama kita teriakkan "Merdeka!!!"
Kita mendapat penguatan di pekik merdeka dengan penggunaan tiga tanda seru. Puisi itu memang seru dan menggebu. Kita belum pernah menjadi penikmat saat Puan Maharani membacakan puisi di acara sastra atau acara politik. Kita mengimajinasikan tangan Puan Maharani bakal memastikan pekik merdeka bergelimang makna demi Indonesia. Kata dan gerak tangan mengingatkan sejarah dan capaian di masa depan.
Kita mendingan mengingat tubuh dan bahasa Soekarno di gedung pengadilan Bandung, 1930. Ia sedang melawan di muka hakim kolonial. Perlawanan demi Indonesia merdeka. Di gedung gagah, Soekarno tak membacakan puisi tetapi mengajukan teks bersejarah berjudul Indonesia Menggoegat. Soekarno mafhum puisi tapi belum terlalu memerlukan menghadirkan puisi gubahan sendiri di pengadilan penuh muslihat berpamrih kuasa kolonial. Kita mengandaikan jadi pendengar kelantangan Soekarno: "Kesengsaraan rakjat Indonesia haroes diakoei oleh siapa sadja jang maoe menjelidikinja dengan hati jang bersih. Kesengsaraan rakjat boekan omong kosong atau hasoetan kaoem penghasoet." Para penggerak politik nasionalisme membawa misi mengurangi atau memusnahkan derita kaum jajahan. Ikhtiar itu dianggap pemerintah kolonial sebagai perusakan tertib kolonial dan menimbulkan onar-pemberontakan di Indonesia.
Di halaman-halaman penuh gugatan dan melawan arogansi kolonial, Soekarno melembutkan dengan mengutip larik-larik dalam Bhagawad Gita. Soekarno mengucap secara tenang: Ketahoeilah, sendjata tiada menjinggoeng hidoep/ Api tiada membakar, tiada air membasahi/ Tiada angoes oleh angin jang panas/ Tiada tertemboesi, tiada terserang, tiada terpidjak dan merdeka/ Kekal abadi, dimana-mana tetap tegak/ Tiada nampak, tiada teroetjapkan tiada/ Tiada terangkoem oleh kata, pikiran, senantiasa pribadi tetap/ Begitoelah diseboet djiwa. Kita agak sulit mengimajinasikan Soekarno membaca kutipan dengan keras atau cepat. Kutipan mengandung ketenangan dan keseriusan mendalam.
Soekarno ingin menjadi suara bagi kaum lemah, tertindas, sengsara, dan miskin akibat kolonialisme dan imperialisme. Soekarno ingin suara jutaan orang itu terdengar dan berubah menjadi capaian kebaikan bagi nasib Indonesia. Suara mereka bermakna pembebasan dan pemerdekaan. Soekarno pun juru bicara menanggungkan risiko pemenjaraan dan pengasingan. Peran besar itu terpenuhi dan memastikan Indonesia berpisah dari kolonialisme. Pada suatu masa, orang-orang lumrah memberi pengakuan Soekarno adalah "penjambung lidah rakjat Indonesia" seperti dijelaskan oleh Cindy Adams (1966). Episode itu telah memberi bukti bahwa Soekarno menulis buku, menulis ratusan teks pidato, menggubah lagu, dan menggubah puisi.
Soekarno itu teladan bagi Puan Maharani di zaman berbeda, zaman saat kata-kata mulai aus, usang, dan pudar makna. Kata-kata di politik terlalu berantakan dan mengalami kebangkrutan pengertian di nalar-imajinasi keadaban. Politik terus saja berjalan dengan memunculkan tokoh-tokoh besar. Politik masih mengumbar kata dengan sekian kegersangan dan kebosanan. Puan Maharani ada di situasi bahasa politik semakin amburadul setelah "dimasak" rezim Orde Baru selama puluhan tahun. Di politik, Puan Maharani wajib berkata meski tak harus panjang dan menawan. Pada saat berpolitik, ia bisa mengajukan puisi tanpa keminderan bakal ditanggapi kritik oleh para pembaca.
Kita sampai ke dua bait terakhir: suara kami adalah suara mereka/ mata kami adalah mata mereka// kita bicara kenyataan/ kita bicara harapan sejahterakan rakyat/ harapan agar bangsaku jaya. Dua bait bakal apik dijadikan pembuka dalam pidato politik atau acara pelantikan pengurus partai politik. Kita masih dianjurkan memahami politik adalah suara. Makna suara ditentukan partai politik dalam pemilu. Suara-suara menghasilkan kursi dan jabatan. Politik mulai menempuhi jalan-jalan memuat usul, protes, kritik, muslihat, dan konflik. Konon, semua kerja dan pengabdian politik demi "suara mereka".
Puan Maharani perlahan membuktikan dengan kesanggupan menjadi menteri mengurusi kebudayaan. Kini, beliau adalah Ketua DPR. Dua predikat itu mengesahkan Puan Maharani mendapat gelar kehormatan (doktor honoris causa) di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, 14 Februari 2020. Acara terhormat itu menempakan Puan Maharani adalah "pemikir kebudayaan" melampaui peran sebagai penggubah sebiji puisi. Di Semarang, beliau tak membaca puisi tetapi membaca teks berjudul megah: "Kebudayaan sebagai Landasan untuk Membangun Manusia Indonesia Berpancasila Menuju Era Masyarakat 5.0." Kita belum rampung mengenali beliau sebagai penggubah puisi malah sudah disusul predikat "pemikir kebudayaan". Kita tetap ingat nasihat para leluhur: jangan kagetan. Begitu.