close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Khudori. Foto dokumentasi.
icon caption
Khudori. Foto dokumentasi.
Kolom - Hidup Sehat
Minggu, 14 Juli 2024 18:25

Produksi padi 2024, La Nina, dan impor beras

Produksi padi tahun 2024 dihadapkan pada tantangan tidak mudah.
swipe

Produksi padi tahun 2024 dihadapkan pada tantangan tidak mudah. El Nino yang terjadi sejak pertengahan 2023 sudah kembali pada posisi netral. Akan tetapi, “ekor” El Nino masih amat terasa dampaknya di tahun ini. Sampai menjelang pertengahan tahun, tanda-tanda produksi padi bakal membaik, dari tahun lalu misalnya, masih belum tampak. Yang muncul justru tanda-tanda produksi kembali menurun. Jika itu yang bakal terjadi, ini menandai terus berlanjutnya penurunan produksi padi sejak tahun 2018.

Menurut data Kerangka Sampel Area Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras Januari-Agustus 2024 diperkirakan sebesar 21,38 juta ton, lebih rendah 2,25 juta ton beras dari periode yang sama tahun 2023. Produksi beras menurun karena luas panen menurun 588.000 hektare (ha). Sialnya, konsumsi naik dari 20,38 juta ton pada Januari-Agustus 2023 jadi 20,57 juta ton di Januari-Agustus 2024. Ini membuat surplus produksi Januari-Agustus 2024 dikurangi konsumsi di delapan bulan yang sama hanya 0,81 juta ton beras, lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu: 3,25 juta ton. Jadi, perbedaan surplusnya 2,44 juta ton beras, setara hampir konsumsi sebulan. Catatannya, data produksi Juni-Agustus masih perkiraan.

Luas panen menurun hampir bisa dipastikan karena ketersediaan air tidak memadai untuk budidaya padi. Siklus tanam padi serentak biasanya dimulai pada Oktober, seiring datangnya musim penghujan. Siklus tanam bernama musim tanam I ini berlangsung dari Oktober sampai Januari, yang bakal dipanen Februari-Mei. Karena El Nino, awal hujan pun mundur ke Desember, bahkan Januari. Implikasinya, musim tanam di sentra-sentra produksi padi, terutama di Jawa (Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah), mundur lebih 60 hari. Sebagian besar petani baru menanam akhir Desember 2023 atau awal Januari 2024.

Musim tanam yang mundur membuat musim panen (raya) padi yang biasanya di Februari juga mundur. Dampak ikutannya, musim paceklik pun semakin panjang. Data Kerangka Sampel Area BPS amatan Desember 2023 menunjukkan ada 1,46 juta ha sawah beras dan 1,5 juta ha sawah dalam persiapan. Desember 2023, standing crop (padi fase vegetatif dan generatif) baru 2,21 juta ha sawah (29,7%), jauh dari Desember 2022: 3,48 juta ha sawah (48,16%). Data-data ini menandai produksi padi 2024 kian tertekan.

Seberapa besar penurunan produksi padi di 2024, tergantung pada, pertama, dampak La Nina dalam memperluas luas tanam dan luas panen. La Nina identik dengan penghujan. Ini memungkinkan wilayah yang kering bisa ditanami. Merujuk BMKG, Juli sampai akhir 2024 bakal terjadi La Nina lemah. La Nina lemah tak berpengaruh terhadap musim kemarau. Saat ini, menurut BMKG, 19% wilayah sudah memasuki kemarau. Sebagian Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara di Juni-Oktober 2024 diguyur hujan intensitas amat rendah: 50 mm/bulan. Ini berarti sentra-sentra produksi padi potensial tetap kemarau.

Kedua, langkah pemerintah (pusat dan daerah) dalam memitigasi dan mengantisipasi dampak kemarau. Sebagai negara tropis, hujan dan kemarau adalah hal lumrah. Masalahnya, kedua musim itu seringkali membawa dampak serius bagi pertanian karena magnitude persoalannya amat serius. Seperti musim kemarau tahun ini. Banyak wilayah sentra produksi padi tidak segera menyiapkan pertanaman musim tanam II setelah panen musim tanam I. Ini terjadi karena air tidak tersedia. Jika memaksakan bertanam, terutama padi, khawatir gagal.

Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi bila infrastruktur pertanian, terutama irigasi, mampu menjamin ketersediaan air, termasuk di saat kemarau. Sejak pertama kali berkuasa, Presiden Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur. Termasuk infrastruktur pertanian, baik jaringan irigasi, bendung, embung, dan waduk. Audit BPK pada 2018-2019 menemukan, pertama, pembangunan bendungan belum terintegrasi jaringan irigasi. Akibatnya, bendungan yang berfungsi menampung air saat hujan belum bisa dimanfaatkan optimal untuk mengairi lahan pertanian, terutama saat kemarau. Ini terjadi di Jawa (Tengah, Timur, Barat), Kalimantan Timur, Bali, dan Aceh.

Kedua, pembangunan jaringan irigasi primer dan sekunder belum diikuti jaringan tersier. Ini membuat layanan irigasi untuk pertanian belum berfungsi. Koordinasi antarpihak dalam pembangunan jaringan irigasi tersier dan kegiatan cetak sawah untuk meningkatkan produksi pertanian belum optimal. Ini terjadi di 11 provinsi. Ketiga, target pembangunan sejuta hektare jaringan irigasi sesuai RPJMN 2015-2019 meleset. Dari pemeriksaan pembangunan jaringan irigasi yang benar-benar baru hanya 125,53 ribu ha.

Budidaya pertanian tidak mungkin dilakukan tanpa air. Ketersediaan air adalah hal mutlak. Modal, benih, pupuk, tenaga kerja bisa saja tersedia, tapi jika air tidak ada tak akan ada budidaya. Untuk menjamin ketersediaan air, selain infrastruktur irigasi (jaringan irigasi, bendung, embung, dan waduk) harus memadai, kondisi DAS (daerah aliran sungai) dengan daerah tangkapan hujan di hulu harus bagus. Masalahnya, hutan di hulu sudah banyak yang gundul. Ketika hujan, air hujan kemudian berubah menjadi run-off yang membawa lapisan subur lahan ke sungai dan jaringan irigasi. Sungai pun dangkal.

Guna memastikan ketersediaan air, saat ini Kementerian Pertanian menggalakkan pompanisasi. Bantuan alat, mesin pertanian, dan pompa disebar di daerah. Harapannya, wilayah yang bisa tanam sekali setahun bisa tanam setidaknya dua kali. Pompanisasi itu termasuk untuk mengoptimalkan lahan tadah hujan seluas 3 juta ha. Langkah-langkah ini patut diapresiasi. Akan tetapi, langkah ad hoc dan reaktif ini tak lebih dari pemadam kebakaran. Api bisa saja mati, tapi akar masalah mengapa ada api tak tersentuh. Hasilnya pun sulit diprediksi. Diperlukan peta jalan terukur dalam jangka menengah-panjang.

Karena itu, jika kemudian produksi padi tahun ini diperkirakan hanya 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG), lebih rendah dari produksi 2023 sebesar 53,98 juta ton GKG (PSEKP, 2024), sepertinya masuk akal. Produksi gabah 2024 ini setara 30,65 juta ton beras, lebih rendah dari produksi di 2023: 31,1 juta ton beras. Jika produksi tidak jauh bergeser dari angka ini, beras tersebut sepertinya setara kebutuhan konsumsi. Jumlah ini tak cukup. Karena konsumen, produsen, pedagang, penggilingan, hotel-restoran-katering perlu stok untuk konsumsi dan jualan, yang di Desember 2023 sebesar 4,1 juta ton beras.

Tahun lalu, Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras. Dengan perkiraan produksi beras lebih rendah dari 2023, hampir bisa dipastikan impor tahun 2024 lebih besar lagi. Sejak awal tahun, pemerintah telah memberikan kuota impor beras ke BULOG sebesar 3,6 juta ton. Belakangan, total kuota impor bertambah menjadi 5,1 juta ton beras. Realisasi impor beras  BULOG hingga 28 Juni 2024 mencapai 2 juta ton. Pada saat yang sama, stok beras BULOG sebesar 1,63 juta ton, 76% dari impor. Sisanya, dari pengadaan domestik: 722-an ribu ton. Menuju akhir tahun, stok ini akan terkuras untuk bantuan pangan dan operasi pasar bernama stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP).

Sampai 30 Juni 2024 penyaluran SPHP mencapai 0,806 juta ton, sementara penyaluran bantuan pangan beras dari Januari - 30 Juni 2024 mencapai 1,221 juta ton. Karena bantuan pangan diperpanjang hingga akhir tahun, total diperlukan 2,64 juta ton beras. Jadi, masih perlu 1,419 juta ton lagi. Di sisi lain, untuk bisa mengendalikan harga beras sampai akhir tahun jumlah SPHP diperkirakan sesuai target: 1,2 juta ton. Jadi, masih tersisa 394.000 ton. Artinya, untuk SPHP dan bantuan pangan sampai akhir tahun perlu 1,813 juta ton beras. Jika pengadaan sampai akhir tahun bertambah 150.000 ton beras, stok BULOG 1,63 juta ton saat ini perlu ditambah 0,033 juta ton.

Berapa jumlah impor beras yang harus direalisasikan dari sisa kuota 3,1 juta ton? Agar stok akhir tahun 2024 sebesar 1,2 juta ton beras, jumlah ini plus kekurangan 0,033 juta ton yang perlu dieksekusi BULOG. Katakanlah dibulatkan 1,3 juta ton. Masih tersisa kuota 1,8 juta ton beras. Stok akhir tahun 1,3 juta ton beras dibuat atas dua pertimbangan. Pertama, jumlah ini cukup untuk stok awal tahun 2025 dan kebutuhan intervensi pasar 3-4 bulan ketika paceklik. Jika sisa kuota 1,8 juta ton beras juga dieksekusi, stok di gudang BULOG akan menumpuk. Bila penyaluran tidak lancar, beras itu potensial turun mutu. Kedua, jika pada tahun depan produksi padi kembali normal, kemampuan penyerapan gabah/beras petani oleh BULOG tidak akan terganggu. Sudah barang tentu, kalkulasi ini bisa berubah ketika asumsi-asumsi melenceng dan pasar bergerak liar diluar prediksi.

img
Khudori
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan