Polemik Kartu Prakerja seakan tidak pernah berhenti diperbincangkan khalayak luas. Setelah mundurnya Staf Khusus milenial Presiden yang diduga terlibat konflik kepentingan di program Kartu Prakerja, saat ini muncul desakan agar program Kartu Prakerja dihentikan.
Anggarannya diminta dialihkan untuk bantuan sosial secara langsung guna menanggulangi pandemi Covid-19. Namun pemerintah tampaknya bergeming dengan seribu alasan untuk tetap melanjutkan program Kartu Prakerja tanpa pedulikan kritikan dan masukan pengamat.
Kritik dan masukan pengamat mungkin hanya dianggap angin lalu yang dibiarkan pun akan hilang dengan sendirinya.
Kritik publik juga terlihat dari percakapan warganet di media massa. Penelitian Indef (2020) menunjukkan sentimen negatif terhadap program Kartu Prakerja ini mencapai 81%, dibandingkan 19% sentimen positifnya. Sebagian besar mereka memperbincangkan mengenai Kartu Prakerja yang dinilai tidak efektif untuk korban yang diberhentikan ataupun di rumahkan oleh perusahaan. Masyarakat menilai lebih efektif jika bantuan langsung tunai dibandingkan dengan memberikan bantuan pelatihan.
Dari sudut pandang kebijakan publik juga senada dengan persepsi masyarakat yang banyak menyangsikan efektivitas Kartu Prakerja dan proses penyelenggaraan yang terbilang janggal. Kesangsian tersebut berdasarkan pada tiga hal yang akan kita jabarkan satu per satu.
Pertama, kondisi tenaga kerja Indonesia yang tidak sesuai dengan persepsi pelatihan online yang diselenggarakan oleh lembaga pelatihan yang ditunjuk. Tenaga kerja kita sebagian besar merupakan lulusan SD ke bawah dan berusia tidak lagi milenial yang sangat susah untuk beradaptasi dengan teknologi. Selain itu, pekerja informal juga masih banyak yang gagap teknologi. Bahkan sebagian tidak mempunyai alat untuk menerapkan pelatihan
online.
Kepemilikan handphone dan komputer masih sangat rendah terutama untuk masyarakat di desa. Jadi bagi sebagian besar pekerja yang berusia lanjut, berpendidikan rendah, informal, dan tinggal di desa diduga akan sulit mendapatkan bantuan Kartu Prakerja, padahal mereka terdampak pandemi Covid-19 juga.
Kedua, Kartu Prakerja hanya akan menguntungkan platform digital dimana menjadi tempat jual-beli pelatihan daring tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama, Pemerintah sudah menunjuk delapan platform digital dengan 198 lembaga pelatihan yang menyediakan pelatihan online. Setidaknya ada 1700 jenis pelatihan yang bisa dipilih oleh peserta pelatihan program Kartu Prakerja, dimana tingkatan harganya pun beragam.
Dengan menggunakan asumsi bahwa setiap pelatihan mempunyai durasi 170 menit dengan biaya per menitnya adalah Rp5,65 juta per menit jadi, maka biaya untuk mengadakan semua pelatihan program Kartu Prakerja mencapai Rp1,6 triliun sampai Rp1,9 triliun. Total dana yang diberikan ke masyarakat untuk pelatihan mencapai Rp5,6 triliun maka ada potensi keuntungan yang jumlahnya fantastis, yaitu Rp3,7 triliun hingga Rp3,9 triliun yang dinikmati oleh mitra platform dan lembaga pelatihan.
Catatan ketiga adalah dugaan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dimana melibatkan platform dengan lembaga pelatihan. Sebagian besar platform ternyata mempunyai lembaga pelatihan sendiri seperti platform Skill Academy yang didirikan oleh Lembaga Pelatihan Ruangguru dan platform Pintaria (HarukaEDU). Selain itu, kelas materi yang ada di beberapa paket juga diisi oleh orang-orang dalam platform tersebut sehingga keuntungan
untuk lembaga pelatihan akan kembali lagi ke dalam keuntungan platform masing-masing.
Jelas praktik seperti ini merupakan sebuah pelanggaran keras Undang-undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sudah seharusnya Pemerintah berpikir ulang tentang program Kartu Prakerja yang notabene hanya menguntungkan pihak platform dengan potensi keuntungan yang fantastis.
Dari jumlah potensi keuntungan yang didapatkan oleh platform bisa menambah jumlah peserta program Kartu Prakerja mencapai 1,3 juta hingga 1,4 juta orang lagi. Terlebih jumlah pendaftar program Kartu Prakerja mencapai 8 juta orang. Bahkan jika program ini dibatalkan, maka ada tambahan dana untuk membantu lebih dari 2 juta orang yang terkena PHK alih-alih ke segelintir orang atau golongan. Sebagai warga negara, sepeserpun uang APBN sangat berarti saat ini, jangan sampai dana dari APBN hanya dinikmati oleh segelintir orang atau golongan.