PNS, media sosial, dan kebebasan berekspresi
Perilaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) di media sosial kerap meresahkan publik. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak PNS yang secara terang-terangan kerap mendeskreditkan posisi pemerintah. Lebih parah lagi, hal itu dilakukan dengan menyebarkan berita palsu (hoaks), fitnah dan ujaran kebencian. Tidak hanya itu, banyak PNS di media sosial secara terbuka menunjukkan sikap antipada ideologi, dasar dan simbol negara. Hal ini tentu mengundang keprihatinan banyak pihak.
Fenomena inilah yang melatarbelakangi Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengeluarkan Surat Edaran Nomor K. 26-30/V/.72-2/99 perihal Pencegahan Potensi Gangguan Ketertiban dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsi PNS. Surat edaran itu terdiri atas enam poin yang intinya membatasi aktivitas PNS dalam menyampaikan pendapat dan ekspresi di muka umum, baik secara lisan maupun tulisan, langsung atau melalui media sosial serta media lainnya.
Terutama yang terkait dengan ujaran kebencian terhadap Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonsia (NKRI).
Surat edaran ini pun sontak menuai pro-kontra publik. Sebagian publik menilai kebijakan ini merupakan bentuk dari intervensi negara terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi warganegara yang dijamin oleh konstitusi. Bahkan, ada sebagian masyarakat yang menilai kebijakan ini sebagai langkah mundur demokrasi dan mirip kebijakan pemerintah Orde Baru yang otoriter.
Namun, sebagian publik lainnya mendukung kebijakan ini dengan alasan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi PNS di media sosial idealnya memang diatur sedemikian rupa.
Sebagian masyarakat beranggapan, PNS adalah bagian dari pemerintah yang seharusnya memberikan contoh bermedia sosial yang baik dan bijak. Perilaku PNS yang mendeskreditkan pemerintah, ikut serta menyebar ujaran kebencian dan provokasi serta anti pada ideologi negara adalah kesalahan yang tidak dapat ditoleransi.
Pro-kontra publik terhadap kebijakan pemerintah adalah hal wajar. Apalagi menyangkut persoalan kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial yang sampai hari ini masih menjadi bahan perdebatan. Keberadaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 sampai hari ini masih menuai kontroversi.
Banyak pihak menilai, UU ITE potensial menjadi alat untuk yang memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi publik. Terbukti, banyak orang yang dikriminalisasi melalui UU ITE justru karena menyuarakan kebenaran.
Meski demikian, kita perlu menilai surat edaran BKN tentang pembatasan ekspresi PNS di media sosial ini melalui perspektif yang objektif. Meski menjadi bagian dari warga negara, para PNS pada dasarnya memiliki status yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. PNS bekerja untuk negara dan pemerintah dengan melayani masyarakat. Mereka mendapatkan gaji dan beragam fasilitas yang diambil dari anggaran belanja negara. Dalam kalimat lain mereka adalah kepanjangan tangan dari kebijakan negara yang seharusnya mendukung program dan kebijakan negara secara total.
Dengan demikian, hak untuk mengemukakan pendapat dan berekspresi di muka umum para PNS tentu tidak seabsolut hak dan kebebasan yang dimiliki masyarakat biasa (non-PNS). Ekspresi sosial dan politik PNS cenderung lebih terbatas lantaran telah diwakili oleh ekspresi sosial dan politik pemerintah.
Maka, jika ada PNS yang menghina dasar dan simbol negara, apalagi sampai menyebarkan fitnah dan berita bohong demi mendeskreditkan pemerintah, hal itu tentu sebuah pelanggaran etik berat yang patut mendapatkan sanksi tegas. Tindakan itu merupakan pengkhianatan terhadap sumpah jabatan PNS yang dituntut setia pada Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.
Reformasi birokrasi
Kita tentu sepakat bahwa supremasi sipil yang dimanifestasikan dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara patut dijunjung tinggi. Meski demikian, kita juga tetap perlu memberi rambu-rambu yang jelas, utamanya bagi kalangan PNS dalam mengungkapkan ekspresinya terutama di media sosial.
Dalam konteks inilah, surat edaran tentang aturan PNS bermedia sosial ini patut diapresasi. Surat edaran itu kiranya relevan dengan fenomena menguatnya paham radikal di kalangan PNS belakangan ini.
Penyebaran paham radikal di lingkungan PNS jelas bukan sekadar asumsi. Sejumlah penelitian membuktikan hal itu sebagai fakta yang tidak dapat ditampik. Survei Alvara Reserach Center pada 2017 misalnya, mendapati setidaknya terdapat 13% PNS terpapar paham radikal. Sedangkan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) menyebut, tidak kurang dari 19% PNS memiliki kecenderungan radikal.
Corak pemikiran radikal di kalangan PNS itu ditunjukkan dengan sikap anti pada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan setuju pemberlakuan hukum Islam (syariah) melalui pendirian khilafah islamiyyah.
Persentase PNS terpapar paham radikal baik versi Alvara maupun Kemenhan tentu bukan angka yang sedikit mengingat total PNS saat ini mencapai lebih dari 4 juta orang.
Apabila disikapi secara permisif, penyebaran radikalisme di kalangan PNS ini tentu dapat menjadi duri dalam daging di tubuh pemerintah. Terlebih jika PNS yang terpapar radikalisme itu memiliki jabatan dan pengaruh strategis di lembaga-lembaga pemerintahan. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan preventif guna memastikan sebaran radikalisme di kalangan PNS tidak bertambah masif.
Selain itu, keluarnya Surat Edaran BKN tentang pembatasan PNS di media sosial ini idealnya dipahami dalam kerangka reformasi birokrasi. Agenda reformasi birokrasi bertujuan mewujudkan birokrasi yang modern, profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan. Seperti kita ketahui, PNS merupakan elemen penting dalam birokrasi pemerintahan. Maka, mustahil menciptakan tatanan birokrasi pemerintahan yang modern tanpa membenahi kualitas individu PNS-nya.
Namun demikian, pembatasan aktivitas PNS di media sosial tentu merupakan solusi jangka pendek untuk meredam gelombang partisanisme dan radikalisme di lingkungan PNS. Ke depan, kita tentu memerlukan strategi yang mapan dan komprehensif untuk memastikan PNS tidak disusupi oleh gerakan, paham dan anasir yang justru bertentangan dengan ideologi negara dan kebijakan pemerintah.
Salah satunya tentu dengan membenahi sistem rekrutmen PNS yang dalam banyak hal masih memiliki kekurangan. Selama ini, rekrutmen PNS cenderung hanya mengandalkan seleksi kecerdasan intelektual dasar dan tes kompetensi bidang. Bahkan, tidak jarang mekanisme seleksi itu pun diwarnai dengan praktik kecurangan berupa kolusi maupun nepotisme. Aspek komitmen terhadap ideologi kebangsaan cenderung diabaikan dan seolah hanya dianggap sebagai formalitas belaka. Akibatnya, para PNS rentan terpapar oleh sentimen kebencian berlatar isu agama dan politik.
Arkian, kita berharap dengan adanya Surat Edaran dari BKN ini membuat para PNS sadar pentingya etika bermedia sosial. Sekali lagi, kita sepakat bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi harus ditegakkan. Namun, semua itu tetap dalam koridor hukum dan etika yang disepakati. Apalagi menyangkut PNS yang merupakan eksponen penting birokrasi pemerintah.
Dalam leksikon ilmu birokrasi modern, birokrasi sehari-hari yang dijalankan oleh PNS adalah birokrasi bercorak impersonal. PNS berbeda dengan organisasi sektor privat yang tidak punya tanggung jawab publik. Birokrasi impersonal itulah yang mengharuskan mereka bersikap netral alias non-partisan, tidak berpolitik praktis serta mendukung sepenuhnya kebijakan dan program pemerintah.
Di negara demokrasi seperti Indonesia, kebebasan berpendapat mutlak hanya dimiliki oleh masyarakat sipil (civil society). Premis ihwal kebebasan mutlak itu tidak berlaku bagi alat negara seperti halnya PNS. Hal ini lantaran alat negara merupakan unit administratif yang menerjemahkan dan melaksanakan agenda dan kebijakan pemerintah. Berkaca dari hal tersebut, surat edaran BKN tentang pembatasan PNS bermedia sosial sudah tepat dari sisi teori, hukum dan obyektifitasnya.