Pemadam kebakaran itu bernama aturan
Dalam hubungannya dengan Negara, hukum adalah sebagai pengatur kehidupan warga. Keberadaannya selalu menjadi postulat yang dianggap sebagai kontrak sosial antar warga dalam menjamin terselenggaranya kehidupan yang tertib dan baik.
Jauh lebih dari seratus tahun yang lalu, ilmuwan hukum kenamaan dari Austria, Hans Kelsen sudah bertitah: hukum adalah sistem norma, norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyaraat apabila norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dituangkan dalam wujud tertulis, dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan memuat perintah.
Tegasnya, keberadaan hukum selalu menjadi aturan di tengah masyarakat yang dibuat secara tertulis dan dikeluarkan lembaga berwenang. Kalau di Indonesia sesuai tingkatan aturannya. UUD 1945 yang berwenang mengeluarkan adalah MPR, jika Undang-Undang yang berwenang adalah presiden dan DPR, dan seterusnya, sebagaimana tertuang dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Aturan tersebut setidaknya dapat meneropong gejala sosial yang muncul dalam masyarakat. Keberadaanya selalu memunculkan pemantik awal akan perlunya norma yang diturunkan menjadi aturan. Misalnya dalam sebuah desa. Jika ada potensi ancaman keamanan (karena maraknya pencurian di desa lain), maka desa tersebut membuat aturan tentang sistem keamanan lingkungan (siskamling) yang dalam hal ini oleh Prof Jimly Asshiddiqie disebut hukum sebagai sarana pengendali.
Jika hukum dikatakan sebagai sarana pengendali, maka kita akan menemukan fenomena sosial di Indonesia yang aktivitasnya di luar kendali sehingga merugikan sebagian masyarakat. Hukum sebagai pengendali tersebut belum hadir, atau bisa dikatakan mengalami kekosongan hukum. Bisa terlihat dari fenomena sosial di masyarakat, yang ramai di media dan bahkan menjadi obrolan seru di warung kopi.
Saya mencontohkan dua fenomena yang mengalami kekosongan hukum tersebut.
a. Financial technology (fintech)
Beberapa minggu yang lalu, kita baca di beberapa media tentang adanya penggerebekan kantor perusahaan fintech ilegal oleh polisi. Selain tidak terdaftar di OJK, operasinya juga tidak mengikuti kaidah regulasi keuangan negara. Dan yang terparah, perilakunya bertentangan dengan aturan bahkan norma dalam masyarakat, mereka tak segan-segan mengancam serta memfitnah peminjam dana yang menunggak ke pihak lain terdekat.
Sebanyak 76 orang diamankan, dan polisi menetapkan lima tersangka. polisi juga menemukan data, ada 17.560 nasabah pribadi dan 84.785 nasabah toko tunai yang menjadi nasabah perusahaan fintech tersebut.
Ini baru satu kasus. Kalau melihat data dari OJK, ribuan fintech ilegal sudah berhasil dijaring. Total entitas fintech peer to peer lending ilegal yang sudah ditindak oleh Satgas Waspada Investasi sejak 2018 hingga November 2019 sebanyak 1.898 entitas (Alinea.id). Itu berarti ada pemintaan yang tinggi akan kebutuhan dana di masyarakat. Terbukti sepanjang 2019 ini saja, data dari Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) menyebutkan sudah menyalurkan Rp60,41 triliun, angka ini meningkat 166,51% dibanding tahun sebelumnya.
Anehnya sampai sekarang belum ada regulasi yang kuat untuk mengendalikan dari menjamurnya fintech tersebut. Selama ini OJK sendirian dalam mengatur regulasinya, bahkan asosiasi yang menaungi fintech sibuk sendiri membuat sistem. Padahal di awal 2016 kemarin Presiden Jokowi telah mendeklarasikan visi untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘The Digital Energy of Asia’ di Silicon Valley. Dari situ dilanjutkan dengan peluncuran Gerakan Nasional 1000 Start Up digital dan peluncuran Roadmap Electronic Commerce pada 16 Januari 2016.
Itu artinya pemerintah sudah memiliki peta jalan aktivitas komersial yang berbasis elektronik dan digital. Seharusnya perangkat yang mendukung aktivitas tersebut juga dipersiapkan, tak ketinggalan tentang regulasi hukumnya, untuk mengantisipasi permasalahan yang akan timbul terkhusus jatuhnya korban.
b. Tranportasi daring
Bagi pengguna transportasi publik, tentu sangat ingat kurun waktu 2015 mulai muncul ojek online dan taksi online (transportasi daring). Bersamaan dengan kemunculan tersebut, muncul pula konflik antara penyedia jasa daring dan konvensional.
Konflik pertama kali pada 22 maret 2016, terjadi demo besar sopir taksi konvensional di DPR. Mereka memprotes keberadaan taksi berbasis aplikasi digital yang mengganggu trayek dan income mereka. Saat itulah Menhub mengeluarkan Peraturan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transportasi Orang Tidak Dalam Trayek.
Meskipun sudah ke luar regulasi di tingkat menteri, bukan berarti nihil konflik. Keberadaan jasa traspostasi daring yang sudah merambah di berbagai daerah diikuti pula konflik. Rata-rata adalah konflik antar jasa penyedia antara daring dan konvensional. Di Bogor misalnya, konflik di pertengahan 2017 itu sampai membuat wali kota Bogor turun tangan meradakan ketegangan.
Konflik juga terjadi di Tangerang, bahkan sopir taksi konvensional sampai menabrakkan mobilnya ke taksi daring. Dan masih banyak keributan di daerah lain, yang akibat itu, ke luar lagi Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 untuk merevisi aturan yang sama.
Tipologi permasalahannya sama dengan fintech di atas, yaitu tidak dipersiapkannya regulasi yang kuat. Padahal pada 2016 DPR pernah di demo sopir taksi konvensional. Artinya itu menjadi pemantik awal gejala permasalahan, namun pemerintah dan DPR tampaknya tidak mempersiapkan atau tidak menangkap gejala itu untuk di jadikan norma baru sebagai bahan pembuatan hukum atau regulasi.
Prioritas regulasi selevel Undang-Undang
Melihat luasnya cakupan dan kompleksnya pihak-pihak yang terlibat, regulasi terkait dengan norma baru tersebut, mesti selevel Undang-Undang, bukan permen atau perpres. Jika melihat ketetapan DPR tentang program legislasi national (prolegnas) periode 2020-2024 di paripurna pada 17 Desember 2019, terdapat RUU Teknologi Keuangan (financial technology) dan RUU Transportasi Daring, namun sayangnya dua RUU tersebut belum masuk RUU prioritas yang dibahas pada 2020.
Pemerintah harus secepatnya membuat apa yang di sebut Prof Jimly tadi, yaitu sarana pengendali. Membuat aturan dengan bekal capture gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Peraturan yang muncul jangan hanya dijadikan pemadam kebakaran, artinya ada masalah baru terbit aturan. Hal ini hanya akan mematikan alarm sosial saja, tetapi suatu saat akan kembali berbunyi dengan suara lebih kencang lagi. Karena itu perlu aturan yang holistik, kuat dan secara spesifik.
Jika masih menggunakan aturan yang parsial, selain akan menemui permasalahan baru, aturan juga rawan diuji materikan, karena payung hukum di atasnya kosong. Tidak ada Undang-Undang yang secara spesifik mengatur dua fenomena tersebut. rata-rata masih menggunakan Undang-Undang lain yang memiliki irisan, misalnya untuk penindakan menggunakan KUHP atau UU ITE.
Kita berharap, akan lahir aturan baru yang memayungi kegiatan industri digital secara spesifik yang tidak hanya berlaku sebagai pemadam kebakaran, namun juga memberikan perlindungan bagi produsen maupun konsumen sehingga terjaga terhadap potensi gangguan yang muncul. Dan yang terpenting dalam menjalankan usaha tersebut Negara juga diuntungkan dengan pajak serta devisa.