close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Senin, 28 Januari 2019 16:23

Otokritik cyberpolitics

Politik sebagai representasi persepsi publik cukup terbantu dengan media virtual.
swipe

Pemilu 2019 semakin berjalan hangat dan ketat. Tahapan kampanye terbatas yang dimulai sejak 23 September 2018 kian padat dilaksanakan peserta pemilu. Media digital atau virtual menjadi ruang paling ramai dari ingar bingar kontestasi politik. Di tengah ketegangan dan polarisasi jagat virtual, sekonyong-konyong muncul fenomena “Dildo”.

“Dildo” merupakan pasangan capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo. Kehadirannya langsung menyedot perhatian netizen. Ketegangan mendadak kendor berubah menjadi canda tawa, tatkala menikmati meme-meme satire politik yang ditampilkan.

Salah satu pembelajaran dari fenomena “Dildo” adalah semakin ampuhnya pengaruh jagat virtual dalam dinamika sosial politik dan kritik atas cyberpolitics eksisting. Suka tidak suka, kontestan Pemilu 2019 mesti memiliki narasi cyberpolitics yang kuat. 

Peta cyberpolitics

Politik sebagai representasi persepsi publik cukup terbantu dengan media virtual. Implikasinya praktik demokrasi kental didominasi oleh politik citra. Media pendongkrak citra cukup variatif, mulai dari media elektronik, media cetak, hingga media virtual. 

Virtualitas partai politik dapat ditelusuri dari dinamika virtual melalui website dan media sosial. Studi Indsight (2018) menyebutkan dinamika 12 partai politik peserta pemilu di media sosial. Ke-12 partai itu adalah Gerindra, Demokrat, Golkar, PDIP, PKB, PKS, PPP, PAN, Nasdem, Hanura, Perindo, dan PSI.

Gerindra menjadi partai yang memiliki follower terbanyak di sejumlah media sosial. Per Janauri 2018, Gerindra memiliki pengikut di Twitter sebanyak 292.362, Facebook sebanyak 3.635.795, dan Instagram sebanyak 154.197.  

Di Twitter, Hanura tercatat sebagai partai yang paling sedikit memiliki jumlah pengikut, yakni hanya 16.871. Sedangkan di Facebook, partai yang paling sedikit pengikutnya adalah Nasdem, yang hanya mencapai 5.115 pengikut. Adapun di Instagram, partai paling sedikit pengikutnya adalah Hanura, yakni cuma diikuti oleh 370 pengikut.

Salah satu tolok ukur keberhasilan kampanye di media sosial adalah tingkat keterlibatan pengikut atau follower. Misalnya tingkat share atau retweet dan like atau favorite yang sukses tercipta dari setiap postingan.

Dari ke-12 partai tersebut, kembali Gerindra memiliki tingkat retweet dan favorite tertinggi di Twitter, yakni 37.683 retweet serta 78.736 favorite. Sebaliknya, di posisi terendah ada Golkar, dengan tingkat retweet 135 dan favorite sebesar 232.

Di media sosial Facebook, tingkat share tertinggi masih jatuh pada Gerindra, yakni sebanyak 32.428. Sedangkan tingkat like tertinggi jatuh pada PPP, yakni sebesar 104.891. Sebaliknya, tingkat share terendah jatuh pada Hanura, yakni mencapai 34. Begitu juga dengan tingkat like terendah di Facebook jatuh pada Hanura, yakni hanya mencapai 68 like.

Studi Indsight juga mengungkapkan PKS sebagai partai yang memiliki tingkat like paling tinggi di Instagram, yakni mencapai 144.834. Walapun jumlah pengikut Instagram PKS tercatat berada di posisi keempat, yakni sebesar 36.566 pengikut, setelah Gerindra (154.197), PDIP (54.862), dan PSI (46.033).

Terkait share of voice, Gerindra menempati peringat teratas, yakni dengan angka 122.631. Selanjutnya, disusul oleh PKS (43.543), PAN (33.129), PDIP (22.508), PKB (21.593), PPP (20.801), Demokrat (16.075), Golkar (14.138), Nasdem (4.220), Hanura (1.569), Perindo (1.931), dan PSI (4.634).

Angka kuantitatif di atas tidak selamanya linear dengan kualitatifnya. Misalnya, Gerindra sebagai partai yang paling banyak pengikut dan mendominasi pembicaraan, namun sentimennya juga terhitung paling negatif dibandingkan partai lain.    

Model kampanye melalui media sosial beberapa tidak ditemukan pada cara kerja media massa mainstream. Abugaza (2013) menyampaikan ada tujuh keunggulan kampanye sosial media. Pertama , adanya efek penguatan atas pesan dalam kampanye. Kedua, membentuk koneksitas pribadi. Ketiga, kecanggihan teknologi. Keempat, kemampuan merespons isu politik. Kelima, pengumpulan informasi. Keenam, pengumpulan donasi. Ketujuh, mampu menyentuh pemilih pemula. 

Narasi optimalisasi

Digitalisasi kampanye politik merupakan keniscayaan. Model ini rawan rekayasa dan pemfiktifan. Konsekuensinya, tata kelola parpol era digital harus benar-benar dilakukan dengan baik, rapi, transparan, dan komunikatif. Pencapaian aspek tersebut akan memberikan parpol banyak keuntungan (Andriadi, 2018). 
Pertama, akuntabilitas parpol. Administrasi parpol dapat dikelola menjadi lebih sistematis, komprehensif, dan dapat meminimalkan penyimpangan. Kedua, transparansi parpol. Teknologi digital memiliki kemampuan untuk merekam dan melakukan check and re-check yang tinggi. Ketiga, integrasi operasionalisasi parpol. Dengan sistem digital, lapisan-lapisan pada jalur birokrasi parpol bisa diminimalisasi, sehingga operasional parpol menjadi efektif dan efisien. 

Pasar virtual sangat menjanjikan kini dan ke depan. Warga di dunia maya (nitizenship) meledak keras beberapa tahun belakangan ini. Media sosial menjadi wahana terpadat dalam lalu lintas komunikasi virtual antar manusia. Jika digarap serius, maka kampanye virtual berpotensi memiliki daya elektoral lebih baik dibandingkan kampanye konvensional.

Beragam strategi diprediksi akan dilakukan caleg dan parpol dalam perang virtual. Ada yang membuat cyber army, ada yang merekayasa gerakan media sosial, saling perang opini di Twitter (Twitwar), dan lainnya. Perang ini memperebutkan suara pemilih pemula, pemilih muda, serta pemilih berpendidikan menengah ke atas. 

Efek elektoral dari perang virtual akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Faktor kuantitatif antara lain updating informasi, jaringan virtual, jumlah pengikut, aktifasi berkomunikasi, dan lainnya. Faktor kualitatif ditunjukkan oleh konten, desain tampilan, etika  berkomunikasi, dan lainnya. Praktek kampanye virtual mesti memegang komitmen politik santun, bermoral, dan bertanggungjawab. Regulasi kepemiluan juga harus tetap ditegakkan. Pemenang perang virtual adalah mereka yang mampu mengoptimalikan dua faktor tersebut. 

Dinamika virtual akan menentukan partisipasi elektoral. Perang virtual diharapkan tidak sekadar berebut elektoral, tetapi memainkan pendidikan politik. Kita tunggu parpol, caleg, dan capres mana yang memiliki virtualitas baik minimal setara dengan efek “Dildo”, sehingga berbuah elektoral pada Pemilu 2019.  

img
Ribut Lupiyanto
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan