Orang tua dan kesalahpahaman mendidik anak
* Kolumnis
Kalau memang benar keluarga merupakan aset yang berharga, maka orang tua bisa segera diloakkan. Suami dikaryakan, istri dikontrakkan, dan anak-anak bisa digadaikan atau sekalian dilego. Padahal sebenarnya, keluarga, terlebih anak-anak, bukan milik kita. Mereka hanya titipan dari Allah.
Tapi sebagian besar orang tua menganggap, anak sebagai milik mereka. Karena milik, harus dikuasai, lalu diperlakukan sesuai dengan kemauan mereka. Bisa kemauan suami dan istri secara bersama-sama. Bisa hanya suami, hanya istri, atau malah kemauan keluarga besar secara kolektif.
Tidak heran jika pada umumnya keluarga Indonesia, akan memperlakukan anak-anak mereka sebagai aset. Mereka harus patuh pada orang tua.
Celakanya, pengetahuan orang tua tentang seluk-beluk pendidikan umumnya sangat rendah, atau malah salah. Itulah sebabnya sejak balita, anak-anak mereka perlakukan secara salah pula.
Balita (di bawah lima tahun) merupakan tahap pembentukan karakter dasar anak. Ibarat bangunan, masa balita merupakan penyusunan fondasi. Fondasi karakter anak ini, akan menjadi penentu sukses tidaknya si anak setelah dewasa nanti.
Orang tua membantu membentuk karakter anak-anak mereka. Tidak semua anak bisa membentuk karakter mereka sendiri, untuk melawan pembentukan karakter yang tidak sesuai dengan diri mereka. Orang-orang gagal yang menjadi beban atau malah pengganggu masyarakat, sebenarnya merupakan hasil pembentukan karakter orang tua.
Para koruptor, pecandu narkoba, penyebar hoax, sebenarnya tidak 100% bersalah. Sebagian dari kesalahan mereka, merupakan saham yang pernah ditanam kedua orangtua mereka, atau para wali bagi anak-anak yatim piatu.
Malin Kundang sebenarnya tidak pernah 100% mendurhakai ibunya. Sifat durhakanya merupakan hasil pendidikan si ibu itu sendiri, atau ayahnya, atau mereka berdua. Lingkungan setelah balita menjadi anak-anak, remaja, atau dewasa, memang akan berpengaruh terhadap karakter yang terbentuk semasa balita. Tetapi pengaruh itu tak pernah mampu mengubah karakter dasarnya.
Antara Etiket dan Etika
Umumnya orang tua, juga para guru, lebih mementingkan etiket dan bukan etika dalam mendidik anak-anak mereka. Padahal etiket (tata kesopanan), berstrata lebih rendah dibanding etika (pengetahuan tentang baik dan buruk).
Balita lebih banyak diajar bagaimana mencium tangan orang dewasa, bagaimana berbicara santun. Para balita itu, hampir tak pernah diberi pengetahuan, mengambil makanan dan mainan saudara atau temannya merupakan perbuatan jahat. Sementara membantu orang lain merupakan perbuatan baik. Karena tidak pernah tahu mana baik mana buruk, setelah dewasa, menjadi bupati, walikota atau gubernur dengan mudahnya mengambil milik rakyat, sambil bertuturkata santun di media massa.
Dominasi etiket di atas etika, sudah sangat serius terjadi di Indonesia. Dampaknya secara langsung telah menyengsarakan rakyat. Ada seorang lulusan SMA pada 2015, dan pada 2016 baru sibuk melamar pekerjaan. Dia tidak bisa melamar pada 2015, karena belum punya KTP akibat blanko habis. Blanko habis karena dampak dari kasus korupsi KTP Elektronik.
Perilaku korup juga termasuk mereka yang memanipulasi kebenaran menjadi kesalahan, dan kesalahan menjadi kebenaran. Tragisnya, manipulasi salah benar dan benar salah ini, bukan hanya terjadi di media sosial, melainkan juga dalam kehidupan nyata, termasuk dalam proses pengadilan.
Benua Eropa pernah mengalami masa-masa gelap seperti ini. Agama yang sebenarnya merupakan sarana bagi manusia untuk memuliakan Allah, telah disalahgunakan untuk meneror rakyat. Kasus yang paling mencolok, pengadilan dan hukuman terhadap Galileo Galilei, yang dianggap Gereja telah melakukan perbuatan bidah. Pada abad kegelapan itu, etiket di Benua Eropa merupakan hal utama. Sementara etika dilupakan. Mereka yang ngotot memperjuangkan etika sebagai landasan hidup manusia, dimusuhi, bahkan ditangkap, dipenjara, atau langsung dibunuh. Kegelapan yang pernah melanda Benua Eropa itulah yang sekarang terjadi di negeri ini.
Hasil pendidikan yang hanya menghasilkan manusia beretiket, tetapi tidak beretika, telah mengakibatkan dicampuradukkannya urusan keduniawian (pemerintahan) dengan keIlahian (agama) di Eropa pada abad pertengahan. Untunglah abad-abad kegelapan Eropa itu juga melahirkan Niccolò Machiavelli. Dialah yang dengan tegas mengajarkan, urusan dunia (pemerintahan) tak bisa dicampuradukkan dengan urusan surga (agama).
Meski agak lamban, Benua Eropa menuruti petuah Machiavelli. Eropa sekarang, lebih mementingkan etika, dan bukan etiket. Orang berlaku kasar dan tak sopan, bisa lebih direspon positif oleh masyarakat apabila ia baik.
Sekolah Unggulan
Orang tua yang telah salah mendidik anak-anak mereka dengan menjejalkan etiket, bukan etika, kemudian ingin jalan pintas. Agar anak-anak itu sukses, mereka menyekolahkannya ke sekolah unggulan. Padahal sekolah unggulan itu hanya unggul secara fisik, unggul dalam menjaring siswa dengan NEM tinggi, dan dengan dompet orang tua yang tebal.
Sekolah unggulan sejati adalah sekolah biasa, yang mampu mendidik anak-anak berandalan atau malah kriminal, menjadi orang baik dan bermanfaat bagi sesama. Di Wassur, Merauke, Papua, ada Sekolah Satu Atap. Sekolah ini menerima anak jalanan, bahkan mereka yang dipenjara karena berbuat kriminal.
Inilah sekolah unggulan sejati. Sekolah unggulan palsu, justru mengeluarkan anak bandel, dan yang telah berbuat kriminal. Pertanyaannya, kalau semua sekolah tak mau menerima mereka, termasuk sekolah berbasis keagamaan, lalu siapa yang harus mendidik anak-anak yang terbuang ini? Sekolah terlebih orang tua, tak bisa mengelak dari tanggungjawab. Orang tua yang kerepotan mengasuh anak-anak bandel mereka, biasanya segera membuang anak itu ke rumah yatim piatu, pondok pesantren, atau sekolah yang menerapkan disiplin militer. Anak-anak itu belum tentu senang. Jangankan remaja, anak-anak bahkan balita pun bisa merasakan ketidaksenangan apabila mereka dibuang.
Negara Uni Eropa, bukan hanya sekadar menggratiskan pendidikan, melainkan juga campur tangan sampai ke hal yang sangat detil. Penyelenggara pendidikan pra sekolah, dilarang keras memberi pelajaran berhitung, menulis dan membaca.
Anak-anak hanya diperbolehkan bermain, bersosialisasi dengan teman dan masyarakat. Mereka diperkenalkan dengan kehidupan nyata, melihat rumah sakit, panti jompo, gelanggang olahraga, pabrik, farm dan lain-lain. Hanya sekadar melihat. Kalau mereka berinisiatif bertanya, baru akan dijelaskan. Kalau balita itu ketahuan menaruh minat lebih terhadap salah satu obyek yang dikunjungi, maka itulah dunia yang kemungkinan besar akan digeluti setelah dewasa nanti.
Keluarga termasuk anak, memang aset yang paling berharga. Tetapi bukan aset kita. Anak-anak, terlebih balita, itu aset Allah. Orang tua hanya berkewajiban untuk membangun fondasi mereka agar kuat dan bisa independen, Balita memang wajar kalau nakal dan tidak tertib. Orang tua malah harus curiga kalau balita mereka diam saja. Jangan-jangan cacat atau idiot.
Anak-anak baru bisa dibiasakan tertib dan tidak nakal, Setelah remaja mereka akan lebih tahu menertibkan diri sendiri. Ketika dewasa mereka akan bisa menjadi manusia normal. Anak nakal hanya akan merepotkan keluarga. Manusia dewasa nakal akan membuat susah masyarakat, bangsa, dan negara.