close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Irvan Rahardjo
icon caption
Irvan Rahardjo
Kolom
Senin, 30 Desember 2019 18:15

OJK dalam pusaran Jiwasraya

OJK terkesan melupakan fungsi perlindungan konsumen dengan tidak melakukan kebijakan afirmatif terhadap hak-hak konsumen.
swipe

Untuk kesekian kalinya bisnis perasuransian di Indonesia mengalami kasus gagal bayar polis jatuh tempo nasabah. Jumlahnya dalam triliunan sehingga meresahkan masyarakat dan menggerus kepercayaan masyarakat di tengah upaya memperluas inklusi keuangan.

Bermula dari direksi baru Jiwasraya terpilih dalam RUPS 18 Mei 2018 dengan Dirut Asmawi Syam. Bankir eks BRI itu mencium sejumlah ketidak beresan pada laporan keuangan Jiwasraya. Berdasarkan laporan keuangan unaudited nonkonsolidasi 2017, Jiwasraya mencatat laba bersih senilai Rp2,4 triliun.

Tak percaya dengan itu, manajemen kemudian meminta mitra lokal Price Waterhouse Coopers (PWC) melakukan audit. Hasilnya laba bersih direvisi sangat signifikan. Laba bersih Jiwasraya berdasarkan laporan audit mitra PWC berubah menjadi Rp360 miliar. Sebuah sumber menyebutkan hasil audit PWC menemukan ketidaksesuaian perhitungan cadangan yang dibuat oleh aktuaris internal hingga senilai Rp7,6 triliun.

Kegaduhan pun terdengar nyaring di tengah perhelatan akbar IMF World Bank Annual Meeting di Bali pada 8–14 Oktober 2018. Acara tersebut dihadiri 34 ribu peserta dari seluruh dunia dan ditaburi puja puji akan prestasi ekonomi Indonesia.

Bertepatan dengan acara itu, Jiwasraya (Persero) melayangkan surat bertanggal 10 Oktober 2018 ke sejumlah mitra bancassurance dan menyatakan keterlambatan pembayaran polis asuransi JS Proteksi Plan yang jatuh tempo. Problem kesulitan likuiditas menjadi alasan keterlambatan pembayaran yang disampaikan perusahaan asuransi pelat merah tersebut. Nilainya mencapai Rp802 miliar.

Ada tujuh bank yang memasarkan produk JS Proteksi Plan Jiwasraya, yakni Bank Tabungan Negara (BTN ), Standard Chartered Bank, Bank KEB Hana Indonesia, Bank Victoria , Bank ANZ , Bank QNB Indonesia dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Terhadap polis nasabah yang sudah jatuh tempo, Jiwasraya melalui bank mitra menawarkan skema roll over.

Skema tersebut meminta kesediaan nasabah memperpanjang masa investasi mereka. Jiwasraya menjanjikan memberikan imbal hasil 6% net per tahun. Sedangkan nasabah yang tidak bersedia dan tetap ingin meminta pelunasan, Jiwasraya berjanji memenuhi sampai dana tersedia. Selama nasabah menunggu, Jiwasraya memberikan imbal hasil atas polis yang jatuh tempo sebesar 5,75% net per tahun, prorata hingga dana nasabah cair.

Ternyata belakangan diketahui kasus Jiwasaya mengidap problem struktural mendasar yang tidak terpecahkan sejak lama, yaitu suntikan modal untuk mengatasi insolvency disebabkan kesenjangan antara aset dengan kewajiban

Sayangnya OJK terkesan lambat dalam melakukan pengawasan dan penyelesaian masalah yang tengah membelit Jiwasraya. Ini karena OJK hanya berpatokan pada tingkat RBC (Risk Based Capital) rasio untuk mengukur solvabilitas perusahaan asuransi dengan membandingkan selisih kekayaan yang diperkenankan dan kewajiban dengan batas minimum 120% dari modal minimum berbasis risiko.

Ini karena selama ini OJK berpandangan RBC atau rasio solvabilitas merupakan satu-satunya ukuran. Padahal masih banyak ukuran lain yang bisa dipergunakan, antara lain tata kelola, uji kepatutan dan kelayakan direksi, kesehatan keuangan, produk dan pemasaran. Berdasarkan itu, seharusnya produk yang membahayakan kesehatan keuangan sesuai ketentuan POJK harus dihentikan, tetapi dalam banyak hal OJK tidak menjalankan aturannya sendiri.

Disisi lain OJK terkesan melupakan fungsi perlindungan konsumen dengan tidak melakukan kebijakan afirmatif terhadap hak-hak konsumen. Hal itu pernah terjadi pada AJB Bumiputera dan diulangi di Jiwasraya. Padahal seharusnya OJK melakukan mediasi dalam kasus gagal bayar polis nasabah Jiwasraya, bila perusahaan belum mampu membayar klaim jatuh tempo. 

OJK terkesan buang badan, tidak pro-aktif. Sedangkan kita tahu, selain pengawas pengaturan OJK juga memiliki fungsi perlindungan konsumen. Tidak heran jika OJK dinilai tak memiliki kepekaan pada krisis dan tak paham akar masalah bahkan bersikap anti-pasar.

Situasi seperti itu semustinya tidak terjadi bila OJK konsekuen membiarkan pasar self-regulating atau auto pilot seperti yang disuarakan Komisioner OJK Riswinandi di acara tahunan perasuransian di Bali pada Oktober 2018. Jika direalisasikan fungsi pengawasan dapat dijalankan oleh asosiasi dengan mengenakan sanksi kepada anggota yang melakukan pelanggaran, baik tarif dan regulasi.

Self-regulating dilakukan dengan memberikan ruang bagi industri untuk mengatur sendiri melalui asosiasi masing-masing. Asosiasi diberi otoritas penuh mengenakan sanksi, merevisi AD/ART. Itu artinya, secara akuntabilitas tidak ada legitimasi bagi OJK terus memungut iuran industri tetapi gagal mengatur industri. 

img
Irvan Rahardjo
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan