Neraca keuangan minyak bumi, dan subsidi listrik
Realisasi produksi minyak mentah Indonesia semester satu 2022 sekitar 611 ribu barel per hari. Kalau produksi semester dua sama besar, maka produksi minyak mentah Indonesia tahun 2022 akan mencapai 223 juta barel (611.000 barel x 365 hari), atau sekitar 35,5 miliar liter.
Minyak mentah tersebut diproduksi oleh mitra kontraktor minyak dengan pola bagi hasil, production sharing contract, PSC. Perhitungan bagi hasil sebelumnya berdasarkan ‘hasil bersih’ setelah dikurangi seluruh biaya produksi (cost recovery). Sedangkan bagi hasil sekarang berdasarkan gross split. Untuk minyak bumi, 57 persen pemerintah, 43 persen mitra kontraktor. Untuk gas bumi, 52 persen pemerintah, 48 persen mitra kontraktor.
Artinya, Indonesia akan mendapat minyak mentah sebanyak 20,3 miliar liter, yaitu 57 persen dari total produksi 35,5 miliar liter untuk tahun 2022.
Berapa harga produksi minyak mentah Indonesia tersebut? Nol rupiah. Karena sudah dibayar dengan bagi hasil 43 persen.
Jadi, artinya, biaya produksi BBM Indonesia hanya biaya proses kilang, rata-rata 5 dolar per barel (untuk kilang lama), atau hanya Rp472 per liter (5 dolar x Rp15.000 : 159 liter).
Harga jual pertalite Rp7.600 per liter, termasuk biaya distribusi, marjin keuntungan, dan pajak (PBBKB dan PPN). Anggap saja total biaya tersebut Rp1.600 per liter. Artinya, pendapatan bersih pemerintah dari penjualan pertalite adalah Rp6.000 per liter, dengan harga pokok produksi hanya Rp472 per liter!
Ya, benar, Indonesia sekarang adalah negara net importer minyak mentah. Artinya, minyak milik pemerintah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga perlu impor. Dengan harga minyak mentah yang cukup tinggi saat ini, maka harga pengadaan BBM juga menjadi tinggi. Bagaimana dampaknya?
Pertama, kebutuhan seluruh BBM nonsubsidi (RON92 ke atas) dan BBM industri dipenuhi dari impor. Harga BBM tersebut sudah mengikuti harga keekonomian. Artinya, tidak ada subsidi.
Kemudian, minyak milik pemerintah diproses untuk pertalite dan biosolar ‘bersubsidi’, dijual dengan harga Rp7.600 dan Rp5.150 per liter, atau, setelah dikurangi biaya distribusi, marjin keuntungan dan pajak, tinggal Rp6.000 dan Rp4.000 per liter. Dikurangi biaya kilang Rp472 per liter (dibulatkan menjadi Rp500), maka pendapatan negara, bersih, menjadi Rp5.500 dan Rp3.500 per liter.
Selanjutnya, kebutuhan biosolar ‘bersubsidi’ (yang sebenarnya tidak ada subsidi) sekitar 10 miliar liter (10 juta KL). Dari penjualan biosolar, diperoleh pendapatan negara, bersih, Rp35 triliun (Rp3.500 x 10 miliar liter).
Sisa minyak pemerintah, setelah dialokasikan untuk biosolar, tinggal 10,3 miliar liter, dialokasikan untuk pertalite. Pendapatan negara, bersih, dari pertalite menjadi Rp56,65 triliun (Rp5.500 x 10,3 miliar liter).
Sehingga total pendapatan bersih negara dari kekayaan alam Indonesia, milik rakyat Indonesia, mencapai Rp91,65 triliun (Rp35 triliun + Rp56,65 triliun).
Malaysia sepertinya menggunakan perhitungan seperti ini. Sehingga BBM sejenis RON95 (setara pertamax plus) bisa dijual dengan harga di bawah Rp 7.000, tanpa menyebut subsidi, tanpa menyebut APBN akan jebol, karena memang secara total ternyata masih surplus besar.
Tetapi, kebutuhan pertalite dan biosolar domestik sangat besar, masing-masing sekitar 22 miliar liter dan 10 miliar liter. Sedangkan minyak mentah milik pemerintah hanya 20,3 miliar liter, untuk memenuhi sebagian kebutuhan pertalite, 10,3 miliar liter, dan seluruh kebutuhan biosolar 10 miliar liter (100 persen).
Sehingga ada selisih 11,7 miliar liter kebutuhan pertalite yang harus dipenuhi dari impor. Dengan tingkat harga minyak mentah yang tinggi saat ini, biaya produksi BBM (harga keekonomian) kemungkinan besar lebih tinggi dari harga jual yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp7.600 (termasuk biaya distribusi, marjin keuntungan dan pajak). Pertamina akan rugi kalau tidak dibantu dengan subsidi oleh pemerintah.
Berapa besar subsidinya?
Kalau subsidi rata-rata Rp5.000 per liter maka total subsidi hanya mencapai Rp58,5 triliun (11,7 miliar liter x Rp5.000 per liter). Sehingga, secara total, neraca keuangan minyak bumi Indonesia masih surplus Rp33,15 triliun (Rp91,65 triliun - Rp58,50 triliun).
Angka subsidi pertalite per liter ini tinggal disimulasi saja, apakah Rp5.000, Rp6.000, atau berapa?
Jadi, sekali lagi, bagaimana APBN bisa jebol?
Subsidi yang cukup besar di dalam APBN malah untuk subsidi listrik, mencapai Rp56,5 triliun di dalam UU APBN tahun anggaran 2022. Untuk nilai subsidi yang cukup besar ini, rakyat menggugat harus ada transparansi dari PLN, berapa harga batubara yang dibeli oleh PLN dari perusahaan tambang batubara. Perlu diingat, kekayaan alam batubara ini adalah milik negara, milik rakyat Indonesia.
Jangan sampai rakyat dibebani tarif listrik yang relatif tinggi, untuk digunakan membayar harga batubara yang sangat tinggi mengikuti harga internasional. Artinya, kebijakan DMO/DPO tidak dipenuhi? Kalau sampai ini terjadi, ini bisa memicu kemarahan besar rakyat karena merasa dieksploitasi, uangnya dirampas untuk perusahaan batubara: tarif listrik naik untuk membayar harga batubara yang sangat tinggi, yang secara konstitusi kekayaan alam batubara wajib digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kalau demi listrik yang menguasai hajat hidup orang banyak, rakyat harus membeli batubara sesuai harga internasional, pertanyaannya adalah, siapa sebenarnya pemilik kekayaan alam (batubara) Indonesia? Di mana akal sehat kita? Untuk itu, rakyat menggugat, kembalikan kekayaan alam Indonesia kepada negara!