Wacana Kemenhub mengoperasikan O-Bhan sebagai transportasi umum untuk mengatasi kemacetan di beberapa kota di Indonesia dengan konsep smart city, lebih baik diabaikan saja.
Keterbatasan keuangan negara dan kemampuan fiskal daerah menjadi pertimbangannya. Selain pertimbangan biaya yang tidak sedikit, belum tentu Pemda mau menerima konsep tersebut. Apalagi regulasi untuk menerapkannya belum ada. Bisa menimbulkan masalah baru jika belum dilengkapi dengan regulasi.
Teknologi yang tidak murah dan masih asing di Indonesia menjadi alasan butuh waktunya menyiapkan prasarana pendukung dan mempelajari teknologinya. Itulah sebabnya untuk lima tahun ke depan, mengoperasikan O-Bhan lebih baik cukup sebagai wacana saja.
O-Bhan merupakan perpaduan bus rapid transit dan light rapid transit. O-Bhan sudah beroperasi di beberapa negara seperti Jerman, Australia, dan Jepang. O-Bhan bisa mengangkut sekitar 2.000 penumpang. Selain itu, moda transportasi ini lebih unggul dibandingkan BRT ataupun Trem. Meski demikian, pembangunan O-bhan akan lebih mahal 20% dibandingkan busway, namun lebih murah secara biaya operasi dan per satu penumpang per kilometer.
Itulah sebabnya akan lebih baik jika pemerintah fokus pada rencana mengembangkan konsep buy the service. Seperti diketahui pada 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat akan meluncurkan program penataan angkutan umum di daerah dengan konsep Pembelian Layanan atau buy the service. Program ini rencananya diberikan pada enam perkotaan, yakni Medan, Palembang, Solo (Subosukowonosraten), Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar (Sarbagita). Alokasi anggaran sudah disiapkan.
Selama ini (lebih dari 10 tahun) daerah hanya dibagikan sejumlah armada bus. Hal itu tentunya tidak menimbulkan layanan angkutan umum yang bagus di daerah. Pasalnya, tidak ada pola pembinaan dan pengawasan dari pusat, meskipun penataan angkutan umum sudah diamanahkan dalam UU 22/2009 tentang LLAJ, RPJMN 2015-2019, dan Rencana Strategi Kemenhub 2015-2019.
Program ini tidak akan banyak menimbulkan gejolak di kalangan pengusaha angkutan umum jika sedini mungkin dilakukan sosialisasi. Sopir akan mendapat gaji bulanan, tidak dipusingkan dengan setoran pada pemilik armada. Pemilik armada bergabung dalam satu badan hukum yang menjadi operator dan diberikan keuntungan dari biaya operasional yang diselenggarakan.
Program ini murah, karena setiap koridor menghabiskan biaya operasional per tahun kisaran Rp15 miliar hingga Rp25 miliar. Tergantung pilihan jenis armada yang dioperasikan dan headway yang ditetapkan.
Setiap koridor dapat mempekerjakan 150-200 pekerja tetap. Selain itu, tidak perlu lagi harus membangun prasarana khusus, cukup dengan jaringan jalan yang sudah. Tidak perlu ada bangunan halte, jika belum punya anggaran, cukup diberikan rambu pemberhentian bus (stop bus). Pilihan bus berlantai rendah (low deck) atau normal (normal deck). Bus jenis ini sudah banyak dioperasikan oleh PT Trans Jakarta dan bikinan karoseri dalam negeri.
Mudah berarti tidak memerlukan teknologi baru, cuma sistemnya yang baru. Konsep ini memindahkan atau mengalihkan dari sistem setoran ke sistem gaji bulanan, bukan menggusur operator yang sudah beroperasi. Operator yang ada tetap beroperasi dengan pola manajemen baru yang lebih sehat.
Buy the service bukan menggusur, tetapi menggeser
Mulai persiapan hingga operasi membutuhkan waktu 6-8 bulan (pengalaman di Jawa Tengah). Jika mau dioperasikan awal 2020, mulai sekaranglah persiapan dilakukan. Yang paling sulit adalah meyakinkan kepala daerah, anggota DPRD dan operator yang ada.
Anggota DPRD perlu diyakinkan, karena ada kewajiban yang harus dilakukan dan dianggarkan oleh Pemda, seperti kebijakan pembatasan kendaraan pribadi, membangun trotoar dan halte, sosialisasi ke masyarakat dan operator.
Kemenhub harus bekerja sama dengan Kemendagri untuk mewujudkan ini, karena selama ini program angkutan umum di daerah gagal.
Ada daerah yang sudah menyelenggarakan angkutan umum, misalnya Semarang (8 koridor) dan Pekanbaru (12 koridor). Akan tetapi belum bisa memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum yang sudah disediakan. Pasalnya, tidak kebijakan membatasi kendaraan pribadi sebagai imbangannya.
Beberapa daerah sudah ada yang berinisiatif untuk angkutan pelajar, seperti Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Denpasar, Kabupaten Kebumen, dan Kota Banjar.
Untuk mewujudkan ini masih harus diperhatikan masalah kelembagaan, operator, sistem kontrak, jenis bus, rencana operasi, perawatan bus, sistem tiket, halte, anggaran, pengawasan (controlling). Belajarlah dengan Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Jateng yang sudah lebih dulu menerapkan program buy the service ini.
Hambatan pasti ada, tapi jadikanlah tantangan untuk menciptakan transportasi umum yang murah dan mudah dikerjakan. Negara harus hadir untuk memberikan layanan transportasi umum yang murah.