Merestorasi (kesaktian) Pancasila
Sejak pertama dirumuskan oleh Soekarno dan disahkan di sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, Pancasila telah melewati berbagai macam peristiwa sejarah. Di masa rezim Sukaro, Pancasila dalam perjalanannya berkelindan dengan ideologi lain, yakni sosialisme dan komunisme.
Kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) berakhir dengan peristiwa berdarah di penghujung September 1965. Sejumlah jenderal menjadi martir atas peristiwa berdarah yang sampai saat ini masih belum jelas benar kebenaran ceritanya.
Peristiwa itu sekaligus menjadi akhir bagi kekuasaan Soekarno dan awal dari lahirnya Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto yang lantas berkuasa lebih dari tiga dekade lamanya. Di masa kepemimpinan Soeharto, Pancasila mengalami sejumlah reduksi penafsiran.
Ahli sejarah Peter Kasenda dalam bukunya “Soeharto: Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun” menyebut, Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk menyingkirkan lawan-lawannya.
Di tangan Soeharto, Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal yang wajib diikuti seluruh elemen bangsa. Tujuan pemberlakuan asas tunggal Pancasila ini tidak lain merupakan strategi Soeharto menangkal potensi ancaman yang datang dari kelompok kiri (sosialis-komunis) dan kelompok kanan (islamis).
Pendek kata, Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya. Siapa pun yang berupaya mengkritiknya akan diklaim sebagai kelompok antiPancasila, komunis, dan dicap sebagai ancaman bagi stabilitas nasional.
Tindakan Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat politik itu, membuat Pancasila menjadi ideologi tertutup yang tidak bisa ditafsirkan ulang. Pancasila menjadi seperangkat ajaran sakral yang tidak boleh disentuh. Alhasil, lama-lama Pancasila menjadi kehilangan relevansinya dengan dinamika dan problematika zaman.
Maka, ketika rezim Orde Baru berakhir, Pancasila menjadi kian ditinggalkan. Ada semacam kesan negatif bahwa Pancasila identik dengan Orde Baru. Trauma-trauma masa lalu itulah yang membuat Pancasila kian kehilangan tempat di hati masyarakat. Hal itu kian parah ketika ideologi Islam transnasional mulai deras masuk ke Indonesia melalui sejumlah organisasi keislaman.
Pandangan hidup bangsa
Kini, dua dasawarsa lebih kita lepas dari rezim Orde Baru. Saat ini kita berada di alam demokrasi terbuka yang membebaskan kita berpendapat dan berekspresi tanpa takut dikriminalisasi oleh negara. Namun demikian, trauma masa lalu, terutama terkait Pancasila dan Orde Baru tampaknya masih membekas dan sulit dihapus.
Kesaktian Pancasila yang diperingati saban tahun juga tampaknya hanya sekadar mitos yang kita agungkan tanpa benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata. Era Reformasi yang kita jalani saat ini lebih mirip seperti dewa Janus dalam miologi Yunani yang memiliki dua wajah.
Analogi ini tepat untuk menggambarkan bagaimana Reformasi di satu sisi berhasil melahirkan beragam capaian, namun di sisi lain juga menyisakan sejumlah persoalan. Reformasi berhasil mengantarkan kita menuju era kebebasan berpikir, berpendapat dan berekspresi. Reformasi menghadiahi kita satu kondisi demokrasi yang menjamin kebebasan dan hak warga negara.
Namun, di sisi lain Reformasi juga menyisakan sejumlah residu persoalan. Hilangnya dominasi negara dalam urusan kepublikan membuat tatanan sosial berangsur menjadi kacau. Kekuatan-kekuatan sipil dengan beragam latar belakang muncul ke permukaan dan saling berebut dominasi. Kekuatan-kekuatan sipil ini bisa kita terjemahkan sebagai para oligarki politik, mafia ekonomi atau preman-preman berkedok organisasi sosial-kemasyarakatan-keagamaan.
Di era Reformasi ini, negara dengan segenap perangkat aparatusnya mulai tampak kehilangan wibawa. Presiden bisa dikendalikan oleh elite politik dan ekonomi yang menyokong pencalonan dan pemenagannya. Sementara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga bisa disetir oleh kemauan para pemilik modal.
Undang-undang dan peraturan bisa dibuat atas pesanan kalangan berpunya. Di saat yang sama, korupsi kian merajalela. Penegakan hukum pun direkayasa demi kepentingan tertentu. Kita mengalami masa transisional dari era otoriter ke era demokrasi dengan diwarnai sejumlah krisis. Dan, krisis yang paling parah adalah krisis kebangsaan.
Dalam sosiologi masyarakat Jawa, krisis sosial dalam masyarakat itu biasanya terjadi karena hilangnya pegangan hidup. Maka, di masa lalu sebagian besar masyarakat Jawa memiliki pusaka-pusaka warisan leluhur yang dirawat dan dijaga. Bentuknya bisa bermacam-macam mulai dari keris, tombak, payung kuno dan lain sebagainya.
Benda-benda itu tidak difungsikan sebagaimana fungsi dasarnya --semisal keris untuk menusuk-- namun difungsikan sebagai pegangan hidup. Jika ingin tenteram, manusia harus punya pegangan hidup yang diyakini dan dipraktikkan dalam kehidupan keseharian. Sebagai bangsa Indonesia, pusaka warisan leluhur dan para pendiri bangsa yang harus senantiasa kita rawat ialah Pancasila.
Pancasila adalah rumusan modern dari warisan leluhur kita di zaman Nusantara. Dalam sejarah tercatat Nusantara adalah peradaban agung yang mengamalkan tatanan sosial berbasis toleransi dan sikap saling menghormati. Padahal, Nusantara ada jauh sebelum era modern di Barat muncul. Ketika dunia Barat masih hidup dalam Abad Kegelapan (The Dark Age), nenek moyang kita yang hidup di Nusantara telah memiliki peradaban agung.
Perdagangan Nusantara disebut yang terkuat di dunia. Begitu pula sistem pertanian dan aktivitas perdagangannya yang kesohor di seluruh dunia. Nusantara juga memiliki peradaban sosial yang maju. Bermacam agama dan kepercayaan hidup di dalamnya tanpa terjadi konflik horisontal. Nilai-nilai keutamaan sosial yang terangkum dalam kitab-kitab kuno peninggalan nenek moyang itulah yang menjadi referensi penyusunan Pancasila. Bisa dibilang Pancasila adalah intisari dari ajaran agung leluhur masa lalu.
Sayangnya, warisan itu kini mulai sering terlupakan. Pancasila lebih sering hanya menjadi ornamen pelengkap. Posterya terpacak di tiap dinding kantor pemerintah. Sila-silanya dibacakan tiap-tiap upacara bendera. Namun, dalam kenyataan praktiknya acapkali tidak optimal. Kesaktian Pancasila itu luruh pelan-pelan ditelah modenitas zaman.
Mengembalikan kedigdayaan Pancasila
Inilah saatnya merestorasi kesaktian Pancasila agar kedigdayaanya kembali bisa menjadi pegangan hidup bagi bangsa Indonesia. Tentu, tanpa harus mengembalikan Pancasila sebagai instrumen politik sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Dalam leksikon ilmu sosial, restorasi dimaknai sebagai aktivitas mengembalikan atau memulihkan sesuatu pada kondisi semula. Restorasi menjadi penting ketika suatu paham, gagasan atau ideologi berjalan di luar rel yang semestinya.
Maka, merestorasi kesaktian Pancasila adalah mengimplementasikan dan mewujudkan seluruh sila yang terkandung di dalamnya. Ketuhanan yang menjadi sila dasar dalam Pancasila harus diwujudkan ke dalam praktik keberagamaan yang inklusif, toleran dan moderat. Sila pertama Pancasila adalah deklarasi kebebasan beragama yang dilandasi semangat monoteisme.
Sila kedua dengan kata kunci kemanusiaan dan keadilan harus diwujudkan dengan pemerataan kesejahteraan ekonomi. Pemerintah wajib memastikan semua lapisan dan kelompok masyarakat bisa mengakses dan menikmati hasil pembangunan. Sementara sila ketiga yang bertumpu pada asas persatuan harus diwujudkan dalam semangat menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam bingkai keadilan dan persamaan hak. Persatuan menjadi sebuah hal yang absurd manakala tidak ada keadilan di dalamnya.
Sila keempat, yang mengandung prinsip demokrasi harus diwujudkan ke dalam mekanisme politik yang memberikan ruang bagi semua golongan untuk ikut serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Musyawarah-mufakat sebagai kata kunci sila keempat idealnya diwujudkan melalui perombakan sistem demokrasi elektoral kita saat ini yang cenderung liberalistik.
Terakhir, yakni sila keadilan sosial adalah konsep yang paling penting dan mendesak untuk segera diwujudkan. Negara wajib menjamin distribusi hak dan keadilan warganegara dalam semua hal, mulai keadilan ekonomi, politik, sosial dan hukum. Keadilan adalah pilar penting tegaknya negara. Tanpa keadilan, negara akan rapuh dan tidak akan kuat menaungi warganya.