close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Endiyah Puji Tristanti
icon caption
Endiyah Puji Tristanti
Kolom
Senin, 07 Oktober 2019 20:59

Menimbang maslahat dan mudarat RUU KUHP

Upaya merevisi peraturan perundangan di bidang hukum justru menimbulkan kontroversi bahkan anarki.
swipe

Manusia secara fitrah menginginkan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Sementara Islam telah mendorong terjadinya perubahan kehidupan masyarakat, bahkan Islam telah memberikan arah yang jelas dalam memaknai perubahan. Yakni perubahan dalam bimbingan wahyu Ilahi.  

Alif laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (TQS. Ibrahim: 1)

Dalam konteks Indonesia hari ini, perubahan yang dibutuhkan adalah perubahan komprehensif yang revolusioner, mendasar dan menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan perubahan yang parsial, apalagi perubahan yang didorong motif kepentingan sesaat kelompok dan golongan tertentu.

Maka, kegaduhan di depan gedung perwakilan rakyat di pusat dan daerah untuk menolak pengesahan berbagai revisi undang-undang termasuk Revisi UU KUHP, akankah berakhir kebaikan mencapai maslahat bagi rakyat atau justru melahirkan mudarat.

Hukum kolonial ke hukum campur sari

KUHP memang warisan kolonial. Tersebab bangsa ini merdeka secara ‘prematur’ tanpa kesiapan yang matang dari founding father bangsa. Sebatas terdorong oleh keinginan yang sebenarnya luhur untuk bebas dari keterjajahan. Walhasil, kemerdekaan tak serta merta menghapus kolonialisme.

Kemerdekaan Indonesia telah mencapai usia senja, 74 tahun sudah. Namun, kehidupan masyarakat tak kunjung lebih sejahtera, aman sentausa. Berbagai krisis terus melanda, menimpa seluruh bidang ipoleksosbudhankam. Kriminalitas terus berkembang dan berevolusi, jenis dan jumlahnya. Kebutuhan akan hukum yang adil, produktif dan solutif memberikan penyelesaian problematika bangsa merupakan keniscayaan zaman. 

Sayang, mekanisme demokrasi yang rumit dan berbelit, rentan dikuasai kepentingan pemilik modal menambah pesimisme kemustahilan munculnya produk hukum dan undang-undang yang lebih baik dibandingkan undang-undang warisan kolonial. Upaya merevisi peraturan perundangan di bidang hukum justru menimbulkan kontroversi, bahkan anarki. Baik anarki rakyat (mahasiswa) maupun anarki negara (aparat).

Sebut saja pasal aborsi dalam RUU KUHP Pasal 470 dan 471. Pasal ini dinilai bertentangan dengan UU Kesehatan yang mengecualikan hukuman bagi perempuan korban pemerkosaan yang melakukan aborsi. 

Pasal kontroversi lain ada pada Pasal 223 dan 224, soal larangan penyerangan terhadap harkat martabat presiden dan wakil presiden. Ancaman pidana bagi penghina presiden dengan pidana 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara. Pasal ini dinilai antidemokrasi dan melanggar HAM dalam menyampaikan aspirasi dan kritik.

Sampai pasal receh tentang pemeliharaan hewan tanpa pengawasan yang bisa membahayakan orang atau hewan lain dipidana paling lama 6 bulan terdapat pada Pasal 340 RUU KUHP. Juga denda sebesar Rp 1 juta pada gelandangan (Pasal 432).

Bila ditelaah mendalam, ini disebabkan landasan ideologis dan filosofis dalam RUU KUHP ini tidak ada kejelasan. Mau dibawa ke mana arah perubahan yang diusung melalui Revisi UU KUHP ini. Satu-satunya kejelasan adalah bahwasanya antara UU yang telah ada dan revisi UU yang sedang digodog masih sama-sama  berlandaskan sekulerisme, hukum buatan manusia.

Islam membawa maslahat

Di tengah kontroversi yang ada, tidak ada salahnya bila bangsa ini meluaskan cara pandangnya membuka diri terhadap tawaran konsep Islam yang terinci dalam syariat dan hududnya. Setidaknya ada 2 (dua) keunggulan solusi Islam, yakni dalam hal kejelasan sumber hukum dan pilar-pilar penerapannya.

Islam berasal dari Allah SWT, Dzat  Pencipta dan Pengatur alam semesta. Islam bersumber dari sumber yang jelas kebenarannya, Alquran dan As Sunnah, bukan sumber-sumber yang debatable.

 Perbedaan yang muncul dalam ranah ijtihadi para Qadhi tetap dalam bingkai syari’at. Sebagaimana kaidah syara’, “haitsuma yakuunu syar’u takuunu maslahat”. “Di mana ada (penerapan) syariat maka padanya pasti mengandung maslahat”.

Kejelasan sumber hukum ini akan meniadakan pasal karet. Maslahat-mudharat didasarkan pada halal-haram, bukan ditentukan hawa nafsu dan kepentingan.

Selain itu, penerapan syariat membutuhkan pilar-pilar yang kuat. Ada 3 (tiga) pilar penerapan syari’at. Pertama, ketakwaan individu rakyat, akan melahirkan dorongan untuk taat terhadap peraturan dan perundang-undangan yang ada. Ini memudahkan negara melakukan pengaturan urusan rakyat.

Kedua, kontrol masyarakat  akan memberikan daya dukung yang kuat terhadap ketakwaan individu. Masyarakat akan condong kepada kebaikan, saling menjaga, amar makruf nahi munkar. Kritik terhadap penguasa sebagai wujud kasih sayang tertinggi rakyat.

Ketiga, penerapan syariat secara kaffah oleh negara  yang menempatkan fungsi pelayanan sekaligus fungsi penjagaan dan pemeliharaan kemaslahatan rakyat. Negara tidak menerapkan sistem diskriminasi namun negara juga tidak akan toleran terhadap penistaan agama dan berbagai penyimpangan sosial yang merusak karakter masyarakat manusia.

Inilah keunggulan Islam sebagai problem solver atas gonjang-ganjing revisi undang-undang hukum pidana. Islam memberikan kepastian hukum dan penerapannya memberikan kemaslahatan bagi seluruh rakyat, karena Islam itu rahmatan lil alamin.
 

img
Endiyah Puji Tristanti
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan