close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Muhammad Sufyan Abdurrahman
icon caption
Muhammad Sufyan Abdurrahman
Kolom
Jumat, 09 Oktober 2020 21:24

Menggelar pilkada, menggelar proteksi

Terdapat sejumlah titik tekan perhatian level operasional yang harus dilakukan terutama oleh semua elemen penyelenggaraan pemilu.   
swipe

 Pelbagai media massa, termasuk Alinea.id, memberitakan desakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah terhadap pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 9 Desember mendatang. 

Terlebih, banyak daerah yang menghelat pemilu, misalnya Karawang di Jawa Barat, malah masuk zona merah sekarang-sekarang ini. Belum dengan daerah lainnya di seluruh Indonesia, yang umumnya biresiko seiring tren kenaikan penyebaran belakangan ini. 

Pun demikian, kesepakatan pemerintah, DPR, dan KPU merujuk Pasal 201 ayat (2) UU No,6/2020 Tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota masih menjadi dasar normatif yang menekankan Pilkada 2020 tetap akan diselenggarakan sekalipun tendensi pandemi terus meningkat.

Oleh karena itu, merujuk pengalaman penulis sebagai KPPS, serta agar pilkada berjalan dengan tetap melindungi seluruh rakyat, maka terdapat sejumlah titik tekan perhatian level operasional yang harus dilakukan terutama oleh semua elemen penyelenggaraan pemilu.   

Pertama, proses sosialisasi pelaksanaan pemungutan dan perhitungan dari KPU melalui PPK ke KPPS biasanya berlangsung berkali-kali dalam durasi waktu bersamaan. Biasanya diselenggarakan di aula kelurahan yang kapasitasnya relatif terbatas.

Sosialisasi ini sangat penting karena sepengalaman penulis, akan selalu ada sistem tata cara baru di tiap pilkada yang butuh adaptasi. Tanpa pengajaran detail dan bertahap dari PPK, maka kualitas penyelenggaraan pemilu dipertaruhkan.

Oleh karena itu, sosialiasi sebaiknya tetap dilakukan secara tatap muka (sulit efektif jika difasilitasi aplikasi daring) dengan tetap menjaga protokol kesehatan. Konsekuensinya adalah KPU harus mengeluarkan biaya yang tidak pernah ada sebelumnya yakni menyewa ruangan aula/gedung pertemuan lebih representatif.

Sekalipun bisa menguras bujet, namun kualitas pemilu tetap harus dijaga sekaligus KPU juga tidak henti mengedukasi masyarakat biasa yang menjadi elemen KPPS untuk terus disiplin menerapkan protokol kesehatan agar terbawa ke TPS (tempat pemungutan suara) kelak.

Kedua, pemecahan kapasitas TPS yang selama ini biasanya mengakomodir warga dengan hak pilih pada dua/tiga rukun tetangga menjadi lebih kecil sehingga konsentrasi kerumunan massa otomatis lebih sedikit sehingga menurunkan risiko.

Selama ini, dengan hak pilih dua hingga tiga RT untuk ribuan pencoblos per TPS, maka mau tidak mau akan terjadi titik kerumunan. Khususnya pada jam padat pemilih yakni dua jam pertama (07-09) dan dua jam terakhir (11-13). Maka, merampingkan pemilih kiranya akan lebih memudahkan manajemen trafik massa.

Opsi ini juga akan menguras bujet karena anggota KPPS pasti bertambah, demikian pula dengan biaya sarana prasarana TPS. Namun demikian, opsi ini jelas lebih realistis dalam mencegah hal yang kita hindari yakni kluster baru corona.

Ketiga, apabila opsi kedua sulit, maka undangan pemilih kali ini harus disertakan jam pencoblosan secara khusus. Tidak lagi bersifat umum, tapi setiap orang sudah ditentukan jam kedatangan dan KPPS berhak tidak menerima jika belum waktunya.

Pengaturan kehadiran ini sepatutnya akan menjadi kesadaran bersama karena baik KPPS maupun masyarakat akan mau mendisiplinkan diri manakala penyebaran corona tak kunjung mereda termasuk di delapan kota/kabupaten tadi.

Keempat, proses pengenalan paslon dilakukan melalui aplikasi pesan instan/poster sebelum hari H atau tak lagi dipajang di depan TPS. Setelah itu, masyarakat dianjurkan segera pulang setelah mencoblos tidak nongkrong berkerumun seperti biasanya.

Bahkan, jika dirasa perlu, proses perhitungan suara pun hanya bisa dihadiri saksi paslon, utusan partai, panwas, dan unsur berwenang terkait. Jika masyarakat tetap ingin melihat, maka bisa difasilitasi menggunakan video live FB/Instagram/Youtube dari KPPS.

Potensi-potensi kerumunan dalam proses pemungutan dan perhitungan ini sangat perlu ditekankan sejak dini karena euforia masyarakat terhadap paslon kerap berlebihan dan sudah terbukti melahirkan surat peringatan Kemendagri.

Euforia ini juga otomatis menekankan tidak adanya kampanye kerumunan massa sebelum pencoblosan ke rumah-rumah warga. Sekalipun KPPS memang tak berwenang melarang, namun kesadaran ini justru harus terbangun sebelum hari H pencoblosan.

PPK dan Panwas Kecamatan harus mendidik para paslon dan tim sukses justru yang utama sebelum hari pemilihan terkait pertemuan massal ini, sehingga situasi disiplin protokol telah dibangun semua pihak sejak masa kampanye.    

Kelima, pilkada yang identik pesta rakyat juga terpaksa tidak memunculkan euforia partisipasi hajat seperti penyediaan konsumsi hingga ngaliwet. Hal ini termasuk salah satu yang berisiko karena jika ornamen hajat ini sudah disediakan, maka TPS didatangi tak hanya warga setempat namun juga oleh berbagai elemen masyarakat dari luar.

Karena itulah, tatkala Presiden-DPR-KPU bersikukuh Pilkada Indonesia 2020 umumnya dan delapan kota/kabupaten di Jabar tetap dilaksanakan, tiadalah solusinya yakni memodifikasi elemen terkait KPPS untuk lebih disiplin protokol kesehatan. Mahal sedikit adalah keniscayaan daripada nyawa rakyat melayang! 
  
 

img
Muhammad Sufyan Abdurrahman
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan