Menganalisa kekalahan PSI di Pemilu 2019
Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei menempatkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai satu dari tujuh partai yang tidak lolos ke parlemen. Merujuk hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, perolehan suara PSI hanya berkisar di angka 1%-2%.
Menariknya, pascahasil hitung cepat dirilis, sang Ketua Umum Grace Natalie segera memberikan pernyataan politiknya dengan tajuk “Setelah Kami Kalah”. PSI mengakui kegagalan menembus ambang batas parlemen serta mengucapkan terima kasih atas sekitar tiga juta suara yang diberikan masyarakat Indonesia.
Tidak ada drama menolak hasil hitung cepat. PSI menerima kekalahan dengan legawa, sembari berjanji tetap memperjuangkan apa yang selama ini menjadi komitmen politiknya. Hal ini tentu menjadi pelajaran penting bagi praktik demokrasi.
Warna baru
Sebagai sebuah institusi politik, PSI tentu bukan partai yang sempurna dan tanpa cela. Namun, kemunculannya mampu memberikan warna baru bagi dinamika politik Indonesia. Gagasan dan gaya politiknya harus diakui cukup memberikan insentif positif bagi konsolidasi demokrasi yang susah payah kita upayakan sejak era Reformasi bergulir.
Setidaknya ada dua poin penting yang membuat PSI sebagai partai debutan menjadi penting untuk diperhatikan.
Pertama, PSI menginisiasi model rekrutmen terbuka bagi bakal calon anggota legislatif yang akan maju di Pemilihan Umum. Praktik ini terbilang baru dalam konteks demokrasi di Indonesia.
Selama ini, proses kandidasi calon anggota legislatif maupun calon kepala daerah oleh partai politik cenderung tertutup. Tidak ada upaya untuk melibatkan publik menjadi bagian dari proses kandidasi tersebut. Konsekuensinya, proses kandidasi calon anggota legislatif atau calon kepala daerah kerap diwarnai praktik politik transaksional.
Model kandidasi yang tertutup dan transaksional itu tentu berdampak buruk pada demokrasi. Praktik yang demikian itu cenderung hanya memberikan kesempatan pada elite politik yang mengandalkan kapital finansial melimpah.
PSI berupaya mengubah tradisi tersebut. Rekrutmen caleg dilakukan terbuka serta melibatkan tokoh publik. Upaya ini terbilang berhasil memunculkan nama-nama baru yang sebelumnya nyaris tidak pernah dikenal di ranah politik praktis.
Kedua, PSI menawarkan gagasan dan program yang menunjukkan keberpihakan pada kaum muda, perempuan dan golongan minoritas. Hal itu termanifestasikan secara jelas dalam sikap PSI yang menolak pemberlakuan Perda Syariah lantaran dinilai banyak bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, PSI juga secara tegas menolak praktik pernikahan poligami, dan melarang seluruh kader dan anggotanya melakukan poligami. Semua langkah itu memang terbilang kontroversial. Namun, hal itu menunjukkan PSI tidak mau bermain aman dan berlindung di balik gagasan populis.
Mengubah strategi
Namun, apa lacur. Kebaruan gagasan dan gaya politik itu nyatanya tidak mampu memberi insentif elektoral bagi PSI. Masyarakat umumnya masih terjebak pada corak politik lama yang berbasis pada patronase, sentimen ketokohan dan kesamaan identitas. Walhasil, masyarakat cenderung memilih berdasar pertimbangan emosional, alih-alih rasional.
Dalam perspektif teori politik, kegagalan PSI melewati ambang batas parlemen itu dapat diidentifikasi ke dalam setidaknya dua persoalan besar.
Pertama, sebagai sebuah institusi politik baru, PSI belum sepenuhnya berhasil membangun apa yang disebut oleh Leon Ostergaard (1998) sebagai social infrastructure (infrastruktur sosial).
Menurut Ostergaard, basis elektoral partai sangat bergatung pada terjalinnya ikatan yang kuat antara partai dan konstituen.
Cara efektif membangun ikatan dengan konstituten, menurut Ostergaard ialah dengan mengidentifikasi isu sosial yang krusial dan strategis di masyarakat.
Dalam konteks ini, harus diakui bahwa isu sosial yang diangkat PSI tidak cukup merepresentasikan persoalan krusial-straegis mayoritas masyarakat. Isu-isu sosial seperti keadilan gender dan kesetaraan kaum minoritas harus diakui masih menjadi isu yang tersegmentasi hanya di kalangan masyarakat kelas menengah urban.
Sementara masyarakat bawah umumnya masih bergulat dengan isu-isu domestik seperti lapangan kerja, layanan kesehatan serta akses pada pendidikan. Ironisnya, PSI justru kerap absen dalam perbincangan isu-isu tersebut.
Kedua, sebagai partai baru, PSI belum cakap membaca perilaku politik dan spektrum ideologi politik yang berkembang di masyarakat. Menukil pernyataan Anthony Dawns dalam karya klasiknya The Economic Theory of Democracy (1957), pada sistem multipartai, perilaku pemilih umumnya akan bergerak ke tengah atau menjauhi ekstrim kanan maupun kiri.
Di situasi yang demikian itu, partai-partai harus menerapkan strategi catch all party, alias berusaha merengkuh semua segmen pemilih. Formula ini agaknya luput diterapkan oleh PSI. Mereka kadung fokus pada basis pemilih yang jumlahnya sedikit dan cenderung abai pada kelompok pemilih dengan ceruk besar. Salah satunya yakni kelompok pemilih muslim konservatif.
Bahkan, dalam banyak kesempatan PSI seolah menunjukkan sikap konfrontatif pada kelompok pemilih muslim. Sikap terbuka menolak formalisasi syariah dan poligami boleh jadi menarik sebagai sebuah wacana sosial, namun sebagai sebuah komoditas politik hal itu tentu kontra-produktif. PSI seharusnya paham adagium klasik dalam dunia politik yang berbunyi “politicians go where the voters are”.
Dalam konteks inilah, penting kiranya bagi PSI untuk mengimplementasikan strategi Triple Community Concept.
Triple Community Concept terdiri atas tiga pilar penting. Pertama, community relation, yakni kemampuan membangun relasi dengan kelompok pemilih dengan ceruk besar. Kedua, community services, yakni kemampuan untuk melayani komunitas yang menjadi basis calon pemilih. Ketiga, community empowerment, yakni kemampuan untuk memberdayakan komunitas yang disasarnya secara maksimal maksimal.
Implementasi pendekatan Triple Community Concept menjadi sangat relevan untuk melihat keseriusan PSI dalam membangun basis elektoral sebagai modal bertarung di Pemilu 2024 nanti.