close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dokumen pribadi Wisnu Prasetya Utomo.
icon caption
Dokumen pribadi Wisnu Prasetya Utomo.
Kolom
Senin, 02 Juli 2018 15:02

Menertawakan media Inggris

Media-media Inggris memang terkenal pedas dan keras dalam “merundung”, apalagi kali ini melibatkan Jerman, musuh negara melampaui sepakbola.
swipe

Ada kebahagiaan yang tidak disembunyikan media-media Inggris ketika Jerman kalah dari Korea Selatan dan tersingkir dari Piala Dunia 2018. The Times menulis tentang hari di mana “Jerman menghilang”, The Sun memasang foto para pemain Jerman yang kecewa sembari memberi judul: "Schadenfreude", rasa senang yang berasal dari kemalangan orang lain, dan Metro menulis Jerman “dari juara menjadi dungu”.

Media-media Inggris memang terkenal pedas dan keras dalam “merundung”, apalagi kali ini melibatkan Jerman, negara yang dianggap sebagai menjadi musuh Inggris melampaui sepakbola. Suporter Inggris bahkan memiliki lagu khusus yang selalu mereka nyanyikan ketika Inggris bertanding meskipun tidak melawan Jerman.

“There were no more German bombers in the air, No more German bombers in the air.

'Cos the RAF from England shot them down, 'Cos the RAF from England shot them down…” (Nyanyikan dengan nada kalau kau suka hati tepuk tangan)

Laman Wikipedia menjelaskan, lagu ini pada awalnya dinyanyikan oleh anak-anak sekolah dan tentara Inggris selama perang dunia 2. Hooligans kemudian mengadopsi dan membawanya ke stadion. Lagu itu bercerita tentang keberhasilan militer Inggris mengalahkan Jerman di perang dunia. Di Piala Dunia 2006 yang diadakan di Jerman, asosiasi sepakbola Inggris FA melarang suporter menyanyikan lagu itu karena menilai itu ofensif. Larangan yang kemudian memicu perdebatan publik di media-media di Inggris.

Selama saya menyaksikan pertandingan Inggris di penyisihan grup Piala Dunia, ratusan suporter Inggris yang berkumpul di Millenium Square, Leeds, menyanyikan lagu itu berkali-kali. Saya kira mereka terobsesi dengan Jerman yang di lapangan hijau terbukti jauh lebih berprestasi. Pasti sulit sekali menerima kenyataan, Inggris terakhir kali menjuarai turnamen besar pada 1966 yang hanya bisa diingat oleh orang-orang tua.

Dengan latar belakang tersebut, euforia media-media Inggris tersebut bisa dipahami. Memang tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat musuh kita kalah. Namun dalam sepakbola, kekalahan hanya perkara menunggu waktu giliran tiba, sebagaimana Jerman mengikuti jejak Prancis 2002, Italia 2010, dan Spanyol 2014.

Dan keesokan harinya, giliran Inggris yang kalah dari Belgia. Tentu saja mereka masih beruntung karena kekalahan tersebut tetap membawa Inggris lolos dan memungkinkan mereka berada dalam alur yang lebih ringan menuju final.

Mereka memang akan menghadapi juara grup H Kolombia di 16 besar. Tapi jika terus melaju, di semifinal lawan paling berat yang akan mereka temui adalah Spanyol atau Kroasia. Bandingkan di sisi sebelah yang memungkinkan bertemu dengan Brasil, Argentina, Prancis, dan Uruguay.

Dengan kondisi semacam itu, optimisme tetap muncul di media-media Inggris. The Independent menulis judul “rileks, kekalahan ini adalah bagian dari rencana”. The Sun mengucapkan selamat karena Inggris melaju ke “jalur paling mudah menuju juara”. Dan menjelang laga melawan Kolombia, atmosfer “football’s coming home” begitu terasa.

Frasa “football’s coming home” ini sudah menjadi lagu wajib suporter Inggris setiap mereka bermain di turnamen-turnamen besar. Lagu yang menunjukkan keyakinan sebagai penemu dan rumah sepakbola. Orang-orang percaya diri bahwa skuad kali ini jauh akan lebih baik. Apalagi dengan Harry Kane yang sampai sejauh ini sudah mencetak lima gol. Juara dunia dan sepakbola akan kembali ke rumahnya.

Sungguh optimisme yang kemungkinan besar akan berubah menjadi malapetaka jika Kolombia berhasil mengalahkan Inggris. Tentu saja malapetaka bagi pemain timnas Inggris yang akan dengan mudah menjadi sasaran amuk media. David Beckham merasakannya di Piala Dunia 1998 dan David Seaman di Piala Dunia 2002. Deret ini masih bisa diperpanjang jika menghitung hasil yang didapat Inggris di Piala Eropa.

Pra-kondisi kambing hitam di Piala Dunia kali ini sudah “disiapkan” oleh The Sun, beberapa hari sebelum piala dunia, The Sun bersama media sayap kanan lain seperti Daily Express dan Daily Mail kompak menyerang Raheem Sterling. Penyebabnya, Sterling memasang tatto senjata di kaki kanannya. Mereka menyerang Sterling karena menganggap itu akan jadi contoh buruk bagi anak-anak kecil yang mengidolakan Sterling. Insinuasi itu bahkan sampai level seruan agar pelatih Inggris Gareth Southgate memecat Sterling dan tidak membawanya ke piala dunia.

Padahal, ada cerita sedih di balik tatto itu yang tidak diungkap The Sun. Pada awalnya, hampir semua berita tidak meminta keterangan Sterling yang kemudian mengklarifikasi di Instagram (dan kemudian di The Players’ Tribun), tatto itu adalah pengingat, ayahnya mati karena ditembak saat ia berusia 2 tahun, dan ia tidak akan memegang senjata seumur hidupnya. Gary Lineker menyebut perlakuan The Sun ini sebagai aneh dan tidak patriotik, menyerang pemain sendiri ketika turnamen akan dimulai.

Sebagai catatan, bukan kali ini saja Sterling diserang, ia dirundung media ketika membelikan ibu dan kakak perempuannya rumah di London. Ia juga dirundung ketika sempat belanja di Poundland (minimarket yang mungkin seperti Alfamart atau Indomaret). Ia dianggap pelit, atlet sukses dan jutawan kok belanja di tempat murah. Dengan performa Sterling yang masih pas-pasan, ia bisa menjadi kambing hitam potensial jika Inggris tersingkir lebih cepat.

Kerasnya media terhadap pemain dan tim nasional Inggris ini bukan hanya dominasi media-media sayap kanan tetapi media yang berangkat dari tradisi politik kiri seperti The Guardian dan Daily Mirror. Dalam perkara lain (partai konservatif vs partai buruh, monarki vs anti-monarki, Brexit vs anti-Brexit, dan seterusnya), media-media ini bisa bertolak belakang dan sekaligus mencerminkan polarisasi yang tajam di publik. Soal sepakbola, mereka bisa berada dalam satu kubu.

Dalam esainya "The Sporting Spirit" (1945) dan "England Your England" (1941), George Orwell menyebut bagaimana sepakbola, khususnya di Inggris, terikat erat dengan nasionalisme yang membuat orang-orang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari kelompok yang sama dan dengan demikian, menjadi berbeda dengan kelompok lainnya. Dan menjadi suporter klub sepakbola, apalagi tim nasional, sebagaimana disebut Orwell, adalah salah satu cara untuk menunjukkan identitas sebagai orang Inggris (Englishness).

Kekalahan, jika bukan karena kesialan (seperti gol Lampard yang tidak dianggap di Piala Dunia 2010 atau kegagalan Inggris menaklukkan adu penalti berkali-kali) adalah dosa yang tidak akan terampuni media. Dan kalau itu yang terjadi, para pemain Inggris harus siap pulang ke rumah dengan sambutan yang tidak ramah dan tentu saja menjadi tertawaan negara-negara lain, sebagaimana media-media Inggris menertawakan Jerman.

img
Wisnu Prasetya Utomo
Kolomnis
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan