Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendukung gagasan calon Wakil Presiden Sandiaga Salahuddin Uno yang, jika dia dan pasangannya Prabowo Subianto terpilih, akan membangun infrastruktur tanpa utang. Kebijakan ini, kata Menkeu, akan membuat perekonomian dan keuangan Indonesia jadi sehat.
“Membangun infrastruktur tanpa utang itu bagus. Ini akan menjamin Indonesia memiliki perekonomian dan keuangan negara yang sehat, di mana utang semakin kecil. Itu saya sangat hargai sekali,” kata Sri Mulyani di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (10/12).
Data Bank Indonesia menunjukkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai triwulan III-2018 mencapai US$359,8 miliar. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, ULN naik 4,2% (yoy). Jumlah ini meliputi utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$179,2 miliar, serta utang swasta termasuk BUMN US$180,6 miliar. Dengan kurs dolar BI per Selasa (11/12) yang Rp14.613/US$, maka utang US$359,8 miliar itu setara dengan Rp5.258 triliun.
Tapi, tunggu dulu. Bisakah membangun infrastruktur tanpa utang? Bagaimana caranya? Jawabnya, bisa! Rizal Ramli, Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur pernah melakukannya. Waktu itu, RR, begitu dia biasa disapa, mampu membalik pertumbuhan ekonomi dari minus 3% menjadi 4,5%.
Hebatnya lagi, pertumbuhan ekonomi total 7,5% itu diraih tanpa utang, justru sukses mengurangi utang Indonesia sebesar US$4,5 miliar.
Bagaimana cara melakukan semua itu? Di antaranya, dengan melakukan pertukaran utang dengan ‘biaya’ pelestarian lingkungan. Utang ke Jerman, misalnya, Indonesia menyediakan 100.000 hektar lahan hutan untuk dikonservasi. Jerman mengganjar upaya itu dengan mengurangi utang hingga ratusan juta dolar.
Selain itu juga melakukan restrukturisasi utang, menukar utang lama berbunga mahal dengan utang baru yang bunganya lebih murah dan bertenor lebih panjang. Hasilnya, Kuwait bukan saja setuju merestrukturisasi utang Indonesia, tapi juga menghadiahi jembatan layang Pasopati di Bandung yang dibangunkan secara gratis.
Pembangunan infrastruktur tanpa utang juga bisa dilakukan dengan sekuritisasi proyek infrastruktur yang sudah jadi. Caranya, pemerintah menjaminkan potensi pendapatan proyek di masa depan untuk memperoleh pendanaan. Sekuritisasi sangat berbeda dengan penjualan aset BUMN kepada swasta.
Sayangnya, justru pola terakhirlah yang kini banyak dilakukan Pemerintah Jokowi. Itulah sebabnya kita ketahui Pemerintah amat bernafsu menjual jalan tol, pelabuhan, dan bandara. Intinya, diperlukan kemampuan para petinggi negeri untuk mengambil langkah terobosan alias out of the box.
Banyak cara yang bisa dilakukan dalam membangun infrastruktur tanpa harus berutang. Antara lain, mendorong kerja sama dengan pihak swasta hingga meningkatkan pendapatan dari sisi penerimaan pajak. Peningkatan pendapatan perpajakan dilakukan melalui perbaikan tax ratio. Caranya, bukan dengan menaikkan tarif pajak, tapi justru menurunkan tarif pajak. Langkah inilah yang dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2001 silam.
Waktu itu tarif pajak penghasilan di Rusia 80%. Putin menurunkan menjadi 13% dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran rakyat dalam membayar pajak. Dampaknya, pendapatan pajak penghasilan pribadi meningkat dari US$6,2 miliar pada 2000 menjadi hampir US$12 miliar pada 2002.
Bukan itu saja, tingkat kemiskinan di Rusia juga tercatat terus turun. World Bank mencatat, rasio tingkat kemiskinan dari batas garis kemiskinan Rusia di 2000 sekitar 29% dari total penduduk turun jadi 24,6%. Angka itu terus terjun hingga pada 2012 berada di level 10,7%.
Dengan kebijakan yang creditors first dan generik seperti saat ini, tidak heran bila tax ratio pada September 2018, tanpa memasukkan penerimaan SDA, rasio pajak hanya di kisaran 9,3%. Padahal, sampai periode yang sama tahun sebelumnya angkanya mencapai 9,9%. Harusnya, kalau mau membangun tanpa utang dan ekonomi tumbuh di atas 6,5%, rasio pajak ada di angka 16%.