close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ginanjar Hambali
icon caption
Ginanjar Hambali
Kolom
Jumat, 21 Agustus 2020 16:02

Memaksimalkan pembelajaran jarak jauh

PJJ diharapkan tidak menambah beban psikologis peserti didik
swipe

Berdasarkan catatan Kemendikbud, selama pandemi Covid-19, terdapat ratusan ribu sekolah yang terpaksa ditutup untuk menghindari penyebaran, sekitar 68 juta jiwa belajar dari rumah dan sekitar empat juta guru melakukan kegiatan mengajar dari rumah.

Guru mengalami kesulitan mengelola pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan pembelajaran masih terfokus pada penuntasan kurikulum, waktu mengajar berkurang. Di sisi lain, tidak semua orang tua mampu mendampingi anak karena harus bekerja.

Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri pada Jumat (7/8), pemerintah memerbolehkan sekolah yang berada di zona hijau dan kuning untuk membuka pembelajaran tatap muka, dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan yang ketat. 

SKB Menteri menjadi alasan bagi sekolah untuk membuka pembelajaran tatap muka. Namun karena mempunyai syarat yang ketat, banyak daerah yang tak berkenan membuka kelas tatap muka, dengan alasan takut sekolah menjadi klaster baru Covid-19. 

Itu artinya PJJ masih akan menjadi pilihan. Khususnya bagi daerah yang berada di daerah oranye dan merah serta sebagian besar kuning dan hijau dengan alasan yang dikemukakan di atas. Apa yang bisa dilakukan, terutama oleh guru dalam memberikan pembelajaran berkualitas dengan model PJJ? 

Kurikulum Darurat

Berdasarkan penjelasan Kemendikbud, Kurikulum Darurat adalah penyederhanaan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran, sehingga fokus pada kompetensi esensial dan kompetensi prasyarat, untuk pembelajaran di tingkat selanjutnya.

Selain kemampuan para guru untuk memilih dan membuat materi yang akan diajarkan pada peserta didik, kemampuan guru untuk memilih dan membuat modul yang menarik secara tulisan, bahasa dan gambar, menjadi syarat yang tak boleh dikesampingkan. Tetapi seberapa banyak guru mau dan mampu memilih dan membuat modul yang menarik, menjadi catatan tersendiri.

Begitu pula dengan imbauan Mendikbud agar guru melakukan asesmen diagnostik, menjadi tantangan tersendiri. Apalagi ada indikasi kebanyakan guru lebih menekankan pada penilaian kognitif, karena itu yang gampang diukur dan sering dianggap sebagai keberhasilan pembelajaran. Sementara aspek psikologis dan sosial emosi peserta didik, kurang mendapat tempat.

Padahal ada kecenderungan pada saat ini, peserta didik mengalami beban psikologis dan sosial emosi seperti, orang tua terkena PHK, orang tua sedang mengalami masalah, atau beban-beban kehidupan yang berpengaruh langsung atau tidak langsung pada anak. Hal itu seringkali membuat motivasi anak dalam belajar menurun. Semestinya, guru memiliki bekal untuk menentukan gejala tertentu pada peserta didik, yang turut memengaruhi keberhasilan proses pembelajaran. 

Itulah sebabnya PJJ diharapkan tidak menambah beban psikologis peserti didik, seperti harus mempelajari materi ajar yang diberikan atau menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk, seperti yang dikeluhkan selama ini. 

Dengan demikian, bagi peserta didik yang mempunyai prestasi dan semangat belajar tinggi, para guru dapat memberikan tantangan lebih dalam mencari, membahas, dan mengkritisi pengetahuan yang tak terbatas.

Merdeka Belajar

Saat ini ada anggapan bahwa pengetahuan dapat dipelajari oleh peserta didik dari mana dan kapan saja, tidak tergantung pada guru. Anggapan yang tidak terlalu salah karena akses terhadap pengetahuan terbuka dan dapat diakses termasuk oleh peserta didik.

Guru berperan untuk mengarahkan dan mengajak peserta didik untuk merefleksikan terhadap sejumlah pengetahuan, dan menghantarkan peserta didik menjadi subjek yang belajar. Proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai subjek, bukan objek, sebagai bagian dari konsep Merdeka Belajar. 

Merdeka Belajar, yang digali dari buah pikiran Ki Hajar Dewantara, sebagai cara mendidik anak untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka raga serta tenaganya. 
Melalui Merdeka Belajar, peserta didik diharapkan dapat belajar lebih mandiri, tidak sekedar menunggu perintah, kedisplinan bukan karena hukuman atau karena takut pada guru.

Merdeka Belajar mengenyampingkan belajar hanya untuk mendapatkan nilai atau angka-angka dalam rapot.

Itulah sebabnya bila Merdeka Belajar tidak sekedar jargon, namun sudah menjadi praktik pembelajaran, niscaya kualitas pembelajaran menjadi lebih baik.

img
Ginanjar Hambali
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan