Melanjutkan kembali membangun jembatan demokrasi
Demokrasi Indonesia hari ini sedang terengah-engah. Ibarat orang yang sudah tua, telah 76 tahun usianya, Indonesia seolah kehilangan arah dalam berdemokrasi. Pascagerakan reformasi 1998 yang diharapkan Indonesia akan mencapai tahap konsolidasi demokrasi. Namun apa daya, puluhan scholar ilmu politik memotret kondisi memprihatinkan demokrasi Indonesia hari-hari ini.
Mungkin ini terdengar tidak enak ditelinga dan menyakitkan di dada kita. Coba simak beberapa tulisan dari ilmuwan politik tentang Indonesia, seperti Aspinal and Warburton (2018) yang menyebut democratic regression atau power democratic decline. Lihat pula Aspinal and Mietzner (2019): democratic backsliding dan democratic recession juga Warburton & Aspinal (2019) illiberal democracy. Pun akademisi politik Indonesia seperti Aminudin (2020) menyebut sebagai recession of democracy dan Wiratraman (2018) neo otoritarianisme.
Demokrasi Indonesia dan pentingnya sekolah demokrasi
Ah masa iya demokrasi Indonesia sedang ambruk? Saya pun awalnya tak percaya. Sampai kami mendapatkan survei terbatas yang dilakukan LP3ES pada Sekolah Demokrasi Angkatan II 16-21 Agustus 2020. Hasilnya mengejutkan: sebagian besar responden melihat demokrasi di Indonesia berada dalam situasi suram berupa kemunduran (44,7%), stagnasi/ kemandegan (23,7%) bahkan tak sedikit yang menilai kita telah berada dalam otoriterisme (28,9% ). Hanya 2,7% responden yang menilai demokrasi kita mengalami kemajuan.
Dalam survei terbatas tersebut, terpetakan ada 25 permasalahan yang menandai kemunduran demokrasi di Indonesia. Antara lain: politik uang dalam pemilu (100%), macetnya kaderisasi partai politik (94,7%), populisme dan politik identitas (86,8%), hilangnya oposisi (92.1%), korupsi politik (100%), kabar bohong dan ujaran kebencian (97,4%), rendahnya literasi politik (92,1%), dan lain sebagainya.
Ya, itulah salah satu alasan ibarat sebuah jembatan, demokrasi Indonesia seolah menjadi jembatan yang hampir ambruk. Tanggung jawab siapakah ini? Tentu kita tidak sedang mencari kambing hitam disini. Ini adalah peran dan tanggung jawab kita bersama.
Itulah salah satu dari sekian banyak alasan, yang saya tahu pada akhirnya melahirkan Sekolah Demokrasi yang digelar LP3ES. Saya berkesempatan mengikuti tahun lalu di angkatan II. Peserta Sekdem yang mendaftar tak kurang dari 652 orang pendaftar dan diseleksi hanya 38 orang dengan mempertimbangkan keberagaman latar belakang profesi, domisili (Jawa dan luar Jawa), usia dan gender. Terdiri dari politisi (10%), ASN (17%), Dosen (25%), Guru (2%), Penyelenggara Pemilu (7%), Mahasiswa (22%), Peneliti (3%), Tokoh Masyarakat (3%), Jurnalis (8%), dan Konsultan Media (3%). Dari Aceh hingga Papua, Kalimantan, Sulawesi, Bali hingga Nusa Tenggara.
Dan, di angkatan III ini ada 264 calon peserta Sekolah Demokrasi. Tahap seleksi administrasi terpilih 204 calon peserta. Lalu pada tahap seleksi akhir dengan mempertimbangkan tulisan, latar belakang aktivisme, gender dan tempat asal. Para peserta yang lolos sejumlah 41 orang yang berasal dari unsur yang beragam yaitu akademisi (7%), mahasiswa (15%), jurnalis (7%), pengurus partai politik (20%), tokoh masyarakat/ agama (5%), aktivis (7%), penyelenggara pemilu (7%), hakim (2%) dan anggota legislatif (5%).
Menariknya, LP3ES sengaja memilih peserta dari berbagai latar belakang untuk mewujudkan spirit “membangun dialog.” Selama ini kita cenderung menyikapi persoalan politik dan demokrasi dengan sudut pandang kita masing-masing. Seorang anggota dewan cenderung menilai persoalan sebagai seorang politisi yang terpilih dan klaim mewakili rakyat. Seorang akademisi lebih ke perspektif teoritik akademik dalam menyikapi fenomena politik. Bagi penyelenggara pemilu yang terpenting dalam demokrasi adalah soal prosedurnya : yang terpenting tahapan pemilu telah dilaksanakan dengan baik. Ha ini tentu terbeda dengan cara pandang peneliti, jurnalis, ASN, maupun para mahasiswa (yang cenderung idealis).
Karena itu butuh komunikasi yang setara dengan membangun dialog-meminjam istilah Wijayanto seperti membangun Jembatan supaya mengerti perspektif satu sama lain. Seorang politisi diharapkan dapat memahami posisi dan pemikiran seorang akademisi, jurnalis, birokrat, maupun para mahasiswa. Begitu pula bagi akademisi dan peneliti, bisa menyelami alam pikiran politisi, anggota dewan, pengurus parpol maupun para mahasiswa. Sebuah proses pembelajaran yang menarik bukan?
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) setengah abad atau 50 tahun, pada 19 Agustus. LP3ES dikenal sebagai salah satu LSM terbesar di Indonesia yang memiliki pengalaman dan kompetensi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan penerbitan, penelitian serta pendidikan politik dan sosial ekonomi.
Sejak 1972, LP3ES menerbitkan jurnal-bulanan sosial dan ekonomi, Prisma, yang menjadi bacaan kalangan akademisi, mahasiswa, pejabat-pejabat di pemerintahan, tokoh-tokoh politik dan kelompok-kelompok strategis lainnya.
Pelajaran penting
Apa yang saya dapat dari Sekolah Demokrasi LP3ES ? Pertama, ilmu tentang penguatan demokrasi yang mendalam. Tidak hanya demokrasi elektoral tapi nilai-nilai dan juga bagaimana membangun kembali demokrasi Indonesia melalui penguatan aktor-aktor dalam sistem demokrasi yang berkualitas dan berintegritas. Dalam forum-forum LP3ES saya bertemu dan berdiskusi langsung dengan scholar-scholar yang selama ini hanya saya baca namanya di jurnal-jurnal atau namanya yang melambung tinggi dikalangan akademisi tanpa saya kenal orangnya. Seperti Prof Ward Berenscot, Edward Aspinall, Marcus Mietzner dan banyak lagi.
Saya selalu punya prinsip “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Karena itu setiap materi yang saya dapatkan saya simpan rapi dan saya berikan catatan-catatan penting. Bahkan, oh ya, karena pemikiran-pemikiran dan materi dari sekolah demokrasi LP3ES, dua tulisan saya dimuat di Koran Nasional (Sindo) dan beberapa di media online seperti detik.com.
Kedua, jelas jejaring. Peserta yang beragam profesi dan bahkan ragam domisili membuat jejaring saya meningkat. Informasi dan saling sharing serta menyemangati untuk terus belajar selalu muncul dari para alumni. Mereka ini benar-benar scholar dan aktivis yang humble, tak segan memberikan jaringan, ilmu dan informasi yang dimiliki.
Salah satunya saya mendapatkan rekomendasi studi magister ilmu politik di UI dari Prof Didik Rachbini, Ketua Dewan Pengurus LP3ES. Saya selalu berprinsip “Stay hungry & stay foolish” mengikuti Steve Jobs, saya selalu haus menyerap ilmu dan informasi dari para pakar, alumni dan scholar-scholar disini. Dan semua dilakukan dengan semangat berbagi.
Terakhir, tentu saja meningkatkan kualitas demokrasi dengan menguatkan masyarakat sipil. Saya bertemu banyak teman-teman NGO yang punya visi yang sama untuk kemajuan demokrasi di Indonesia. Kami saling berdiskusi, FGD, bertukar webinar, saling meminta mengisi materi dan berbagi pandangan.
Last but not least, pesan penting yang saya dapatkan untuk bisa mendapatkan banyak pelajaran dari sekolah-sekolah seperti ini, saya mengikuti petuah Prof Didik Rachbini: "Carilah ilmu seperti mencari air sampai ke hulu yang murni diatas sana, kalau perlu mendaki. Tapi datanglah kebawah, dimana air ditampung oleh rakyat." Dan, tak lupa untuk mengamalkannya, salah satunya melalui jalur politik. Mengapa? pesan beliau: “Politik tanpa ilmu itu sesat, dan ilmu tanpa kuasa itu lemah.”