close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bambang Asrini Widjanarko. Foto istimewa
icon caption
Bambang Asrini Widjanarko. Foto istimewa
Kolom
Jumat, 02 Juni 2023 13:53

Lukisan alam yang tak terindera

Mata inderawi kita tak bisa mengenali kepersisan bentuk seperti aselinya, sebab lukisan-lukisan itu abstraktif.
swipe

Menikmati lukisan-lukisan Restu Taufik Akbar di CG artspace, Pondok Pinang, Jakarta, yang merupakan kerja kolaborasi dua galeri seni rupa, yakni Rumah Miring-CG Artspace dan Artsocietes. Acara yang dihelat pada Akhir Mei sampai awal Juni ini, kita sebagai apresian menjadi tetiba menyukai melamun, atau termenung tepatnya, menggunakan nalar pun sekaligus rasa kita.

Lukisan-lukisan abstrak, yang tak membentuk pola-pola presisi objek-objek yang kita kenali, misalnya dalam lukisan Taufik seperti daun, pohon, dan air menjadi imej-imej terpiuh.

Mata inderawi kita tak bisa mengenali kepersisan bentuk seperti aselinya, sebab lukisan-lukisan itu abstraktif. Ditambah dengan secara fisik, kanvas lukisanya-baik yang berukuran besar dan kecilnya, yang biasanya menjadi latar lukisan tetiba juga diimbuhi ada kilauan dan bentuk cermin. Secara riil, cermin itu ada dan kita sadari di ruang pamer seperti seolah melihat bayangan kita sendiri sebagi manusia yang melihat alam.

Kemudian, pameran solo yang diberi judul “The object closer the they are appear” ini, mengantar kita pada sejumlah pemikiran-pemikiran termasuk ungkapan senimannya secara visual di lukisan pun pengantar kuratorial dari Agung Hujatnikajenong yang cukup mengesankan.

Seni rupa memang adalah produk pemikiran sekaligus rasa; yang estetis sekaligus yang spiritual, tentunya tak semestinya yang kita lihat saja, namun bangunan konsep sebagai latar wacana dan pada akhirnya: pengalaman rasa tertentu yang membimbing kita untuk mengapresiasi. 

Apa yang disampaikan dengan judul pameran “objek yang dekat tak seperti apa adanya” seperti sebuah spion kendaraan bermesin---mobil ataupun motor, dalam komentar di katalogus pameran adalah gambaran kita bersiap hati-hati bahwa Taufik melukis tak selayaknya dicerna secara langsung.

Tetapi, semacam panduan bahwa lukisan tersebut memerlukan aksi refleksi lebih lanjut.
Jika kurator pameran menerangkan tentang konsep Sublim, yakni gambaran/tafsiran alam pada manusia secara subjektif---dalam hal ini pengalaman si pelukis, Taufik dengan mengutip Immanuel Kant, misalnya dalam konteks topik ini ---manusia dan alam, dalam hal ini penulis lebih suka dengan konsep Rudolf Otto.

Teolog Rudolf menyampaikan bahwa pemahaman kita pada alam adalah pengalaman yang nonrasional dan tidak terinderakan, atau perasaan yang objek utamanya yang langsung berada di luar diri personal, yakni sebuah pengalaman intim sebagai mysterium tremendum at fascinans, yakni pada eksistensi Tuhan.

Rudolf  mengandaikan bahwa ini merujuk frasa bahasa Latin, alam sebagai numen (kehendak Tuhan). Yang cara pandang teologis ini, berbeda dengan gagasan Immanuel Kant tentang noumenon, yaitu sebuah istilah bahasa Yunani yang menggambarkan suatu realitas yang tidak dapat diketahui yang ada di balik segala sesuatu.

Bagi Rodolf, yang numinous, yang tak terkatakan/terdefinisikan/terinderawi itu adalah alam dan Tuhan itu secara sekaligus. Yakni sebuah misteri besar, yang mempesona (fascinans) dan sekaligus juga menakutkan.

Seperti ilmu-ilmu pengetahuan yang lain, seni rupa diperkaya dengan paradigma-paradigma spiritualitas, yang  memusatkan perhatian pada kebutuhan kesadaran sang pelukisnya-yang spiritual dan yang tak teridera dan kita sebagai apresian yang menelaahnya dengan cara yang mirip.
Pada saat sama, jika kita menelusuri teolog pun filsuf lain, katakananlah al-Ghazali, bahwa alam semesta ini (universe) merupakan ciptaan Tuhan dengan berkarakter jism, jauhar, dan ‘arad yang ketiga elemen ini selalu terjadi perubahan dari satu bentuk kepada bentuk lainnya atas izin Tuhan. 

Maka manusia, dalam hal ini pengalaman intimasi si pelukis akan memahami pengalaman-pengalaman menggentarkan dalam jiwa tatkala menyaksikan alam,  tentang sebuah kesadaran spiritual bahwa semesta ini diciptakan secara azali dari Tuhan yang Haq dari ‘tiada’ kepada ‘ada’.

Ghazali menyingkatnya sebagai alam semesta adalah paradigma teologis yang berseberangan dengan filsuf lain, Ibnu Rusyd dalam kondisi berkarakter Qodim atau tak Qodim? 

Pendekatan-pendekatan metafisis inilah yang mungkin layak disematkan ketika kita merasakan pengalaman sublim atau perasaan menggentarkan sekaligus takjub menyadari alam semesta yag kita rasakan, atau sebuah gambaran imajinasi tentang hutan dan gunung termasuk air, daun dan pepohonan yang bisa kita wakilkan itu di karya-karya abstraktif pelukis Taufik Restu Akbar. 

img
Bambang Asrini Widjanarko
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan