close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Kamis, 08 November 2018 20:36

Lion Air dan tata kelola penerbangan nasional

Kita semua bersedih dan segera mempertanyakan mengapa kecelakaan itu bisa terjadi
swipe

Pesawat terbang Boeing–737 dari maskapai penerbangan Lion Air JT-610 yang berangkat dari Jakarta dengan tujuan Pangkal Pinang berakhir tragis di perairan laut Jawa di Kawasan utara Karawang. Peristiwa menyedihkan itu, terjadi di pagi hari senin yang cerah pada 29 Oktober 2018, memakan korban 189 orang yang terdiri dari para penumpang dan kru pesawat.  Kita semua bersedih dan segera mempertanyakan mengapa kecelakaan itu bisa terjadi, ditengah-tengah kemajuan teknologi penerbangan yang begitu pesat terutama dalam hal keselamatan penerbangan.

Indikasi awal menyebutkan bahwa pesawat tersebut sudah mengalami masalah serius pada penerbangan malam sebelumnya  dengan rute Bali ke Jakarta. Pihak maskapai sudah menjelaskan bahwa memang benar dan sudah dilakukan perbaikan yang sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pada perkembangannya kemudian, ternyata dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap black box yang berhasil ditemukan diperoleh informasi tentang kerusakan pada air speed indikator pada 4 penerbangan sebelum kejadian kecelakaan terjadi.

Hal ini menunjukkan tentang betapa cerobohnya maskapai penerbangan dalam mengelola operasi penerbangan yang diperuntukkan bagi angkutan udara masyarakat luas. Ditambah lagi, kemarin pada hari Rabu terbetik berita tentang pesawat terbang Lion Air yang hendak take off menabrak tiang bangunan di Bandara Fatmawati Bengkulu. Dengan banyak data lainnya tentang buruknya pelayanan Lion Air yang sering delay dan tidak tertangani dengan baik, maka lengkaplah sudah pertanyaan besar tentang profesionalitas Lion Air sebagai sebuah maskapai yang layak beroperasi di negeri ini.

Persoalan penerbangan di tanah air sudah terlihat mencuat sejak awal tahun 2000-an saat dimana pertumbuhan penumpang di Indonesia sangat fantastis yaitu hingga mencapai 10 hingga 15 % per tahunnya. Yang sangat disayangkan adalah pertumbuhan penumpang yang tinggi itu tidak diiringi dengan perencanaan yang matang pada penyiapan SDM dan infrastruktur penerbangan. Hal ini terlihat dari bagaimana beberapa tahun lalu kepadatan penerbangan di Cengkareng yang sempat membuat delay penerbangan sampai 8 hingga 10 jam.

Sayangnya adalah, penanganan dari kepadatan yang terjadi tidak dengan mengurangi slot penerbangan melainkan memindahkan saja kelebihan slot penerbangan itu ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Pola pemecahan masalah yang seperti ini sama saja dengan menangani kepadatan lalulintas di Kota Jakarta dengan cara membolehkan saja kendaraan menggunakan  semua jalur bus way serta koridor trotoar yang ada.

Pada sisi lainnya kita memperoleh berita beberapa tahun lalu tentang kurangnya tenaga pilot yang menyebabkan banyaknya pilot asing yang bekerja di Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian belakangan ini kita justru mendengar tentang banyaknya Pilot yang nganggur tidak memperoleh pekerjaan setelah lulus dari berbagai sekolah pilot di dalam negeri.

Itu semua menggambarkan betapa pengelolaan penerbangan di Indonesia memang tengah menghadapi masalah serius yang harus segera diatasi.  Kesenjangan dari tumbuhnya penumpang setiap tahun dengan tersedianya SDM dan Infrastruktur penerbangan adalah celah yang membuka pintu bagi terjadinya kecelakaan.

Kebutuhan akan transportasi udara di Indonesia sebagai sebuah negara yang sangat luas dan berbentuk kepulauan adalah sangat vital.  Dengan demikian maka penyelenggaraan pelayanan masyarakat dalam transportasi udara harus didominasi oleh perusahaan milik negara sebagai bagian dari perencanaan dan proses pembangunan nasional.

Kebutuhan yang sangat tinggi akan sarana transportasi udara di negeri ini pada sisi lainnya terlihat sebagai peluang bisnis yang sangat menggiurkan. Dengan biaya operasional yang sangat mahal dari sebuah penerbangan adalah sangat janggal bila jaring perhubungan udara kemudian dikuasai oleh sebuah maskapai milik swasta dengan pelayanan tiket yang sangat murah. Logikanya yang dapat memberikan pelayanan angkutan udara dengan biaya murah dan menjangkau seluruh pelosok negeri adalah maskapai penerbangan milik Pemerintah.

Ongkos tinggi dari operasi penerbangan dapat disubsidi pemerintah karena banyak kepentingan pemerintah didalamnya. Tata kelola pemerintahan yang menuntut jalur logistik kesegenap penjuru tanah air adalah menjadi tugas , kewajiban dan tanggung jawab pemerintah. Demikian pula tentang pelayanan masyarakat dalam aspek angkutan udara. Adalah menjadi aneh bin ajaib bila dalam sebuah negara penyelenggara utama transportasi udaranya diselenggarakan oleh perusahaan swasta yang memberikan pelayanan dengan harga tiket paling murah.

Lebih aneh lagi adalah dengan apa yang terjadi pada Maskapai MNA, Merpati Nusantara Airlines , perusahaan milik negara yang tugasnya melayani rute penerbangan perintis sekarang ini sudah tidak beroperasi lagi. Sementara itu Maskapai Garuda sang pembawa bendera yang menghubungkan kota-kota besar di Indonesia dan luar negeri kini konon tengah menghadapi kerugian yang besar. 

Adalah sebuah ironi dalam penyelenggaraan transportasi udara yang sangat vital, jaring perhubungannya dikuasai oleh maskapai milik swasta.  Apabila pelayanan dan tingkat keselamatan dan keamanan dari sang maskapai memang jauh lebih baik dari maskapai penerbangan milik negara, mungkin masih masuk akal, walau tetap saja aneh kelihatannya.

Wilayah udara kita adalah sumber daya alam yang tidak terbatas dan sesuai dengan konstitusi harus dikuasai negara dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Semoga kita semua segera sadar akan hal ini. Kecelakaan demi kecelakaan dan komplain serta keluhan penumpang yang terjadi hampir setiap hari adalah sebuah “wake up call” bagi kita semua untuk segera sadar dan kembali kepada amanah konstitusi negara tercinta.  

Korban nyawa sudah ratusan jumlahnya yang berjatuhan dari satu kecelakaan ke kecelakaan lainnya. Akar penyebab masalahnya juga sudah dapat di identifikasi yang dengan demikian maka rumusan solusi terbaik sudah seyogyanya dirumuskan segera untuk dilaksanakan. Penyakit kita memang sudah terlanjur menjadi sebuah siklus tentang kehebohan besar saat kecelakaan terjadi, namun beberapa hari kemudian orang sudah akan melupakannya dan kehebohan besar lainnya akan muncul kembali saat kecelakaan berikutnya terjadi lagi.  Akankah kita terus menikmati siklus itu bergulir dari waktu ke waktu, mungkin memang hanya rumput yang bergoyang yang mampu menjawabnya. 

img
Chappy Hakim
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan