close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Kamis, 27 Desember 2018 17:38

Kuasa diksi

Politisasi kuasa diksi juga menguasai jagat komunikasi politik di lingkaran pejabat penyelenggara negara, anggota dewan dan elit parpol.
swipe

Kuasa diksi menjadi medan pertempuran baru di tahun politik ini. Keberadaannya dipilih sebagai kambing hitam baru terjadinya perang pesan verbal antar warganet di media sosial. Dampak sosialnya berimbas pada kegaduhan warga masyarakat di jagat patembayatan sosial. Politisasi kuasa diksi yang mawujud menjadi ujaran nyinyirisme kemudian mendominasi pemandangan linimasa di media sosial.

Politisasi kuasa diksi juga menguasai jagat komunikasi politik di lingkaran pejabat penyelenggara negara, anggota dewan dan elit parpol. Kuasa diksi yang membara menjadi perang pesan verbal bersumber dari gagasan dan kebijakan yang mereka kumandangkan. Mereka  sengaja  menggoreng kebijakan yang bermuara dari gagasan impulsif bernuansa subjektif. Mereka menisbikan rasa perasaan warganet dan melumpuhkan akal sehat warga masyarakat.

Pada titik itulah kuasa diksi kemudian melahirkan fenomena gagal paham komunikasi. Dampaknya berhasil memporakporandakan bangunan konsep komunikasi sosial yang sudah berlangsung nyaman.  Ujung dari semua itu, menyebabkan kehidupan patembayatan warganet dan warga masyarakat menjadi gaduh melenguh-lenguh.

Jebakan miskomunikasi

Fenomena gagal paham komunikasi di atas menegaskan kekuatan kuasa diksi yang berujung miskomunikasi di media sosial. Jebakan miskomunikasi di media sosial paling membahana saat ini adalah kesalahpahaman antara para pihak akibat perang wacana atas kuasa diksi yang dilontarkan Capres 02 Prabowo Subianto.

Hal itu dapat disimak dari pernyataan kontroversial Capres 02 Prabowo Subianto. Kuasa diksi itu dipaparkannya dalam pidato memperingati Hari Disabilitas Internasional seperti dikutip Tribunjateng.com (5/12/2018). Di antaranya: ‘’ada upaya besar memanipulasi demokrasi’’,  ‘’ada pihak-pihak yang memiliki uang dan berupaya menyuap seluruh lapisan masyarakat’’.

Sementara itu, tiga hari sebelumnya, masih dikutip dari Tribunjateng.com, Prabowo Subianto berang sebab para wartawan tidak menyebutkan secara detail  jumlah peserta reuni 212 yang menurutnya berjumlah 11 juta orang.

Karena itulah Prabowo menyebut para wartawan tidak berhak menyandang predikat sebagai jurnalis."Saya tidak mengakui Anda sebagai jurnalis. Saya sarankan kalian tidak usah hormat sama mereka lagi," kata Prabowo dengan nada tinggi.

Sebelumnya, Prabowo Subianto juga pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial perihal ‘’tampang Boyolali’’, ‘’tukang ojek’’, ‘’Indonesia bubar 2030’’.

Fenomena gagal paham komunikasi yang dipantik pidato, komentar, pendapat serta pernyataan Capres 02 Prabowo Subianto lalu membara di media sosial. Alirannya kemudian merembet ke seluruh media massa cetak dan elektronik. Efek turunannya berlanjut dengan polemik *nyinyirisme* yang semakin memanas di media sosial.

Atas fenomena gagal paham komunikasi ini, sejatinya ada perbedaan pemahaman makna pesan verbal dan pesan visual atas kuasa diksi yang dilontarkan kedua belah pihak ketika sedang beku hatinya. Akibatnya, gagal paham komunikasi menjadi sajian tidak membahagiakan yang harus dikonsumsi warganet dan warga masyarakat.

Sebaliknya, bagi kelompok tertentu fenomena gagal paham komunikasi justru sangat membahagiakan dalam konteks perolehan atensi *like *jempol biru. Ujungnya, pengelola akun media sosial yang mengendalikan gelombang magnetik gagal paham komunikasi mendapatkan penghasilan tetap. Berbagai iklan yang menempel di laman yang dikelolanya senantiasa mengucurkan sejumlah dana segar atas capaiannya tersebut.

Dalam perspektif budaya visual, harus diakui, sosok gagal paham komunikasi merupakan representasi setan. Ia selalu mengejawantah dalam sebuah proses komunikasi. Apalagi proses komunikasi yang tidak sejalan bagi peruntukan komunikasi itu sendiri.

Dengan demikian, sosok gagal paham komunikasi yang menggunakan kendaraan kuasa diksi senantiasa menjadi musuh bersama umat manusia. Dalam pergerakkannya, ia senantiasa menebar energi negatif. Tebaran energi negatif itu wajib dihirup warganet dan warga masyarakat yang gelap mata atas realitas sosial yang ada. Hebatnya, perwujudan sosok gagal paham komunikasi sangat rajin mengobrak-abrik kedamaian warganet. Di sisi lain, keberadaannya juga menciptakan suasana gaduh melenguh-lenguh warga masyarakat di tengah "patembayatan" sosial di media sosial.

Membangun kesepahaman

Ketika sikap egois semacam itu terus dikembangbiakkan, sejatinya mereka sedang menjalankan gerakan bunuh diri massal. Upaya bunuh diri massal itu dilakukan untuk membunuh benih-benih kebaikan yang seharusnya ditumbuhsuburkan. Untuk itu, seyogianya mereka berani menyematkan konotasi positif atas kuasa diksi. Hal itu penting dilakukan demi bertumbuhnya energi kebaikan bagi hidup dan kehidupan umat manusia.

Di abad budaya layar seperti sekarang ini, dibutuhkan kehadiran wasit dan hakim garis yang mampu menyemprit silang sengkarut kelompok gagal paham komunikasi. Kehadiran wasit dan hakim garis bertugas mengajak warganet senantiasa bergandengan tangan guna membangun kesepahaman bersama saat menjalankan proses komunikasi di media sosial.

Untuk itu, marilah kita bangkit berdiri agar senantiasa mampu membangun kesepahaman diri pribadi dengan pihak lain. Pejabat publik, elit politik dan tokoh masyarakat seyogianya menjadi orang pertama yang mau dan mampu memahami aspirasi warganet serta gerak langkah warga masyarakat yang dilayaninya.

Hal itu wajib dilakukan agar antar warganet yang terbelenggu belitan tangan gurita sosok gagal paham komunikasi dapat hidup damai di tengah keberagaman sifat kemanusiaannya. Selanjutnya dalam tataran pergaulan sosial, mereka sesegara mungkin menyiangi hati. Dengan hati yang "sareh", sabar plus "sumeleh" akan keluar energi positif. Hal itu diyakini mampu menyelaraskan nalar perasaan dan akal pikiran mereka yang sedang terjerembab dalam kubangan lubang gagal paham komunikasi.

Jangan malah sebaliknya seperti yang terjadi sekarang ini. Mereka menutup diri dan mengunci hatinya dengan gembok besar. Mereka merasa paling benar. Mereka senantiasa menghindarkan diri pribadi dari realitas sosial. Mereka enggan mencari jalan keluar atas permasalahan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Ironisnya, mereka justru lebih suka sekadar menjawab daripada menanggung atas segala tanggungannya.

img
Sumbo Tinarbuko
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan