Kerja besar, pertarungan sengketa hasil Pemilu 2024
Banyak pihak menilai penyelenggaraan Pemilu 2024, sebagai pemilu yang tidak demokratis, sarat dengan pelanggaran dan kecurangan pemilu. Gemuruh diskursus publik tentang kecurangan diawali dari putusan MK No 90, dilanjutkan dengan penjatuhan sanksi MKMK kepada Ketua MK, pendaftaran capres cawapres bermasalah, hingga masuk keranah peradilan, cawe-cawe presiden, dugaan keterlibatan aparatur sipil, TNI dan polri, penggunaan fasilitas negara, intimidasi dan kekerasan dan penurunan atribut pasangan calon tertentu, mengarahkan persepsi pemilih dengan survei partisan, hingga dugaan politik uang berupa pembagian BLT dan bansos menjelang hari pemungutan suara.
Demikian halnya pada hari pemungutan suara pada 14 Februari 2024. Banyak temuan pelanggaran dan kecurangan. Bawaslu bahkan menemukan adanya pemilih tak dapat memilih, pembukaan TPS tidak tepat waktu, tidak dilakukan sumpah penyelenggara pemungutan suara, surat suara tertukar, dan lain sebagainya.
Yang paling spektakuler adalah manipulasi informasi berupa ketidakcocokan suara antara form C1 plano yang di upload dan kemudian digelembungkan dalam sistem IT KPU Sirekap.
Temuan pelanggaran dan kecurangan ini, tentunya menjadi catatan penting dalam pelaksanaan Pesta Demokrasi 2024.
Prinsip pemilu luber, jurdil dan demokratis.
1. Dalam pemilu, negara harus memastikan agar dapat terpenuhi dan terlaksananya hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih secara bebas, mandiri, nondiskriminasi dan tanpa intimidasi.
2. Pemilu diselenggarakan oleh sebuah badan penyelenggara pemilu yang bersifat nasional tetap dan mandiri. Nilai-nilai dan prinsip penyelenggara pemilu yakni, menjaga independensi, bersikap nonpartisan, imparsialitas, profesional, efektif dan efisien Hal ini menjadi prinsip dasar bagi penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
3. Pegawasan dan penindakan atas pelanggaran dan kecurangan pemilu oleh Bawaslu harus dilaksanakan sesuai dengan koridor hukum, profesional, transparan dan akuntatabel (pelanggaran bersifat administrasi dan pidana pemilu). Sedangkan pelanggaran etika penyelenggara pemilu dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Peyelenggara Pemilu (DKPP).
4. Setiap tahapan pemilu harus dipastikan dapat berjalan dengan baik dan tepat waktu yang ditetapkan KPU berdasarkan UU dan peraturan KPU. Kecuali dalam keadaan post major.
Pemungutan suara Pemilu 2024 telah selesai dilaksanakan
Saat ini, KPU sedang melaksanakan perhitungan suara secara manual dan rekapitulasi berjenjang. Sementara, di sisi lain dalam waktu yang cepat, publik tercengang dengan hasil quick count spektakuler yang memenangkan pasangan Prabowo Gibran.
Dalam UU Pemilu, basis perhitungan suara yang dipergunakan untuk menetapkan hasil pemilu dan penetapan calon terpilih, dilakukan KPU melalui rapat pleno rekapitulasi pemilu secara manual dan berjenjang sampai dengan batas waktu 20 Maret 2024.
Di tengan proses perhitungan secara manual dan berjenjang berjalan, pemenang pemilu hasil quick count telah melakukan selebrasi kemenangan. Selebrasi kemenangan dilakukan sebelum panetapan hasil pemilu dan penetapan calon terpilih. Bagaimana mungkin selebrasi kemenangan berdasarkan hasil quick count? Sementara proses penghitungan masih berjalan dan masih jauh.
Tidak heran jika munculnya pro dan kontra terhadap proses tahapan pemilu dan hasil pemilu yang dinilai sarat kecurangan, tak dapat dihindarkan. Pemilu yang semestinya menjadi sarana penguatan pelembagaan demokrasi, justru mengingkari nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Pihak pemenang pemilu hasil quick count pun telah mempersilakan kepada siapapun untuk menempuh jalur hukum, jika ada keberatan terhadap hasil pemilu. Demikian juga halnya dengan presiden, yang juga angkat bicara atas terjadinya berbagai kecurangan. Presiden mengatakan “jika ada pelanggaran dan kecurangan pemilu, silakan diselesaikan secara hukum”.
Tetapi tampaknya presiden mungkin lupa, bahwa presiden bukan pihak peserta pemilu. Bukan pula penyelenggara pemilu atau pengawas pemilu. Justru, dengan merespons proses pemilu yang tahapannya belum selesai, dapat dipandang bahwa presiden terus menerus melakukan cawe-cawe dalam pemilu dan hal ini melampaui kewenangan kekuasaanya.
Di sisi lain, masing- masing pihak tentunya telah mempersiapkam berbagai langkah dan strategi dalam mencari dan menuntut keadilan penyelesaian sengketa pemilu lewat MK RI.
Gugatan pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif
Mari kita periksa soal gugatan pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM). TSM merupakan terobosan hukum MK untuk menjawab banyaknya temuan pelanggaran dan kecurangan pemilu.
Pelanggaran administratif pemilu TSM adalah, perbuatan atau tindakan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu, dan/atau pasangan calon peserta pemilu.
Terstruktur artinya, terstruktur mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten sampai desa.
Sistematis artinya ada modul, metode, langkah strategi dan jadwal telah tersusun dan terencana rapi.
Masif artinya tingkat persebaran peristiwa pelanggaran dan kecurangannya secara luas.
Jika dilihat dari pengertian TSM di atas, maka tim advokasi pemilu memerlukan suatu kerja hukum yang cukup berat.
Gugatan TSM sendiri merupakan gugatan tahapan pemilu pemilu, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang dinilai sarat dengan kecurangan.
Bagaimana membuktikan TSM?
Pembuktian adalah hal terpenting bagi setiap pihak yang berperkara. Prinsip dalam hukum pembuktian adalah siapa yang mengendalilkan dan wajib untuk membuktikan. Pembuktian tersebut, agar dapat menjadi alat bukti sah dan meyakinkan, memerlukan bukti-bukti pendukung lainya seperti bukti surat, saksi, ahli dan petunjuk.
Antara satu alat bukti dengan bukti lainnya saling bersinggungan, berhubungan erat, dan saling melengkapi. Sehingga akan tergambar secara utuh bagamana perbuatanya dan bagaimana dampak, serta akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Makanya,pemohon Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), harus dapat menggambarkan hubungan kausalitas secara terang benderang antara perbuatan yang dituduhkan atau peristiwa yang didalilkan dalam satu kesatuan. Sehingga, terbangun gambaran peristiwa TSM secara nyata dan dapat memengaruhi secara langsung dan signifikan terhadap pemilih menggunakan hak pilihnya.
Permohanan/gugatan yang bersifat TSM ini, juga akan selalu dilihat dari aspek tingkat partisipasi pemilih dalam pemungutan suara dalam satu atau beberapa daerah pemilihan (sumber data Form 1 KWK TPS dan DA 1 KWK, DB1 KWK dst). Jika dalam satu daerah pemilihan, tergambar adanya kecendrungan kuat paslon tertentu memperoleh suara di atas besar dan merata, sedangkan paslon lainnya tidak, maka jika dikorelasikan dengan tuduhan, akan dipertimbangkan sebagai perbuatan yang bersifat TSM.
Mari saya coba ilustrasikan mengenai adanya pembagian BLT atau bansos menjelang hari pemungutan suara, yang diduga dinilai sebagai sarana untuk menggerakkan pemilih agar memilih pasangan calon tertentu. Tentunya akan banyak pertanyaan lanjutan yang muncul. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pola, sumber anggaran, berapa besar nilainya, sasaranya, dan bagaimana cara pembagian.
Yang perlu dibuktikan apakah perbuatan tersebut menyebabkan pemilih memilih calon tertentu? Di sinilah hukum sebab akibat berlaku. Apakah bantuan BLT atau bansos kepada masyarakat telah menggerakkan pemilih atau memengaruhi pemilih dalam memilih pasangan calon tertentu? Hubungan sebab akibat ini menjadi penting untuk digambarkan korelasinya dan harus dibuktikan.
Selanjutnya akan diperdalam mengenai siapa, kapan, di mana dan bagaimana cara perbuatan itu dilakukan dan seberapa besar pengaruhnya. Juga akan dilihat dari sisi tingkat persebaran peristiwanya, memerlukan persebaran merata di atas 20% sehingga dengan demikian akan tergambar unsur TSM tersebut.
Putusan TSM
Dalam amar putusan, Hakim MK akan selalu mempertimbangkan permohonan pemohon, dengan dalil pelanggaran TSM yakni, permohonan pembatalan keputusan KPU tentang penetapan hasil perolehan suara dalam pemilu pilpres dan pembatalan penetapan calon terpilih pilpres, dan atau permohonan diskualifikasi pasangan calon terpilih dan atau pemungutan suara ulang dalam satu wilayah yang dinilai terbukti telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM.
Melengkapi catatan ini, dalam putusannya, MK juga akan mempertimbangkan dengan melihat selisih perolehan suara masing masing pasangan calon. Apakah jika terbukti, permohonannya akan dapat mengubah atau tidak hasil perolehan suara masing masing pasangan calon.