close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Yudhie Haryono
icon caption
Yudhie Haryono
Kolom
Kamis, 22 Desember 2022 16:41

Kedaulatan agama

Negeri ini terlalu lugu dan serius jatuh dalam pelukan fundamentalisme: agama dan pasar. Ya. Agama kini bagai monster yang mengerikan.
swipe


Bangsa bertuhan. Bangsa spiritual. Bangsa yang menyadari ada kekuatan adikodrati. Tentu, ini diskursus terpelik sepanjang republik. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan tiba. Entah mengapa, kita tak sudah-sudah berkonsensus untuk bertempur kembali beratus kali.

Indonesia, secara tiba-tiba sering terjerembab di persimpangan jalan yang melahirkan kembali ketegangan dua kiblat moralitas publik: kebangsaan dan keagamaan. Situasi itu terungkap secara gamblang dalam istilah dan semboyan yang dipakai dalam debat publik.

Singkatnya, negeri ini terlalu lugu dan serius jatuh dalam pelukan fundamentalisme: agama dan pasar. Ya. Agama kini bagai monster yang mengerikan. Para pemuka yang garang mendapat tempat longgar di media. Bukan solusi bernegara yang tumpah dari mulut dan fatwanya, tetapi luapan kemarahan tak sudah-sudah.

Seringkali, karena tak kunjung mendapati keadilan hukum dan ekonomi, kita memilih kembali untuk memeluk fundamentalisme agama. Hukum dan ekonomi yang memihak kaum tertentu, golongan kaya dan para penguasa itulah akar-akar kekerasan berbaju agama.

Agama menjadi pelarian, tempat meminta kedaulatan, bungker identitas yang nyaman walau dangkal. Agama menjadi baju, romansa dan alat perlawanan walau sempit dan nirilmuwan.

Padahal, sejarah kebangsaan dan keagamaan kita tak sesempit itu. Sebab, sejak sebelum Indonesia merdeka, masyarakat telah mewarisi beragam tradisi yang erat kaitannya dengan keberagamaan, kebangsaan, kemanusiaan dan keindonesiaan. Baik teks maupun konteks.

Karenanya, nilai-nilai kebangsaan, kemanusian, keindonesiaan dan kemodernan tidak perlu dipertentangkan dengan nilai-nilai keagamaan. Karena nilai-nilai agama subtantif yang berupa persatuan, keadilan, kemakmuran dan perdamaian itu selaras dengan nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan.

Dalam sejarahnya, kita bisa contoh pada aksiologi Bung Hatta yang menyatakan 100% Islam sekaligus 100% Indonesia. Begitu juga dengan Soegijapranata yang mengatakan 100% Katolik sekaligus 100% Indonesia.

Kini kita perlu solusi. Kita perlu menjawab pertanyaan, "Bagaimana agar kontestasi keagamaan dan kebangsaan tidak sirkular?"

Pertama tentu saja menajamkan gagasan negara pancasila menjadi negara progresif. Negara yang memastikan hadirnya keadilan untuk semua, kemakmuran milik semua, kesentosaan ada di genggaman tangan dan kedaulatan diri dan negara hadir jelas di sepanjang kehidupan.

Kedua, memastikan Pancasila sebagai norma dasar tidak hanya bermakna substansial-material, tetapi juga prosedural-formal.

Secara substansial-material, berbagai hukum yang ada di Indonesia, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, harus mengacu ke Pancasila sebagai rujukan tertingginya.

Oleh sebab itu, setiap norma hukum harus memuat dan mempertimbangkan nilai-nilai kasih sayang, saling menghormati, dan toleran (wujud sila pertama), berperikemanusiaan (sila kedua), menjaga persatuan dan persatuan (sila ketiga), musyawarah mufakat (sila keempat), serta solidaritas sosial yang berkeadilan (sila kelima).

Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila harus terus menjadi landasan etis atau pedoman perilaku baik dalam masyarakat di ruang-ruang publik. Sebab, nilai-nilai tersebut terkait dengan rencana aksi untuk membentuk sistem etika di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam, iptek dan modernitas.

Inilah dua jawaban bagi hadirnya kedaulatan agama dalam arti sesungguhnya. Ia dipeluk dan diimani dalam kerangka memastikan kemanusiaan semesta dan kemakmuran alam raya. Ia berdaulat untuk bergotong-royong lintas sara dan lintas umur plus lintas negara serta lintas zaman.

img
Yudhie Haryono
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan