close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
M Budi Djatmiko. Foto dokumen pribadi.
icon caption
M Budi Djatmiko. Foto dokumen pribadi.
Kolom
Selasa, 28 Januari 2020 17:53

Kampus Merdeka ala Nadiem

Masih banyak masalah perguruan tinggi khususnya PTS yang harus diselesaikan dengan bijak.
swipe

Salah satu permasalahan terbesar pendidikan di Indonesia adalah tarlalu banyak diatur, dan sangat birokratis, pejabat kementerian seneng mengatur perguruan tinggi dari “A to Z”,  tidak memberikan kebebasan pada pengelola perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta. Tidak ada ruang untuk melakukan kreativitas.

Padahal pemerintah sudah banyak dibantu oleh swasta, karena APK (angka partisipasi kasar) dibantu dinaikkan oleh PTS, sekitar 2/3 dari total jumlah mahasiswa Indonesia yang berjumlah 8,184 juta (sumber Dikti 2019). Jumlah perguruan tinggi swasta kita 95% dari total perguruan tinggi yang ada.

Tetapi perhatian pemerintah sampai saat ini hampir dikatakan tidak ada, hal ini terlihat dari keberpihakan dari APBN, hanya 10% anggaran yang mengalir pada perguruan tinggi swasta (PTS), untuk dibagi 4.520 PTS (total PT Indonesia: 4.670, sumber Dikti 2019). 

Jangankan membicarakan anggaran untuk PTS, untuk mendengarkan keluhan pun enggan, dan hampir sebagian besar pejabat kementerian (semua kementerian), enggan mendengar keluhan PTS. Padahal perguruan tinggi dan pendidikan dasar dan menengah sebagian besar adalah dari pihak swasta. Kepemimpinan semu melanda pejabat kita dan melanda semua strata kehidupan, mau mengatur, tetapi tidak mau membiayai, siapa yang mau diaturnya, mau mengatur komunitas PTS, tetapi tidak paham mimpi dan harapannya komunitas PTS tersebut, itulah realitas Kemendikbud kita. Jadi kampus merdeka itu untuk dan milik siapa?

Merdeka belajar ala Nadiem

Apa yang  dimaksud dengan kebijakan  “Merdeka Belajar”: Kampus Merdeka?  Menurut Kemendikbud, yaitu merdeka belajar di perguruan tinggi yang lebih otonom.  Prinsipnya, perubahan paradigma pendidikan agar menjadi  lebih otonom dengan kultur pembelajaran yang inovatif. Namun menurut hemat saya, ini adalah usulan dan cita-cita PTS dari dahulu kala, dan oleh setiap menteri, sudah kita usulkan agar PTS tidak ingin diatur secara detail oleh pemerintah, sehingga kami tidak bisa berinovasi.

Dengan statement Nadiem Makarim pada 24 Januari 2020, maka harapan PTS segera terpenuhi, namun yang sangat dikhawatirkan ini hanya lips service saja, nanti ditataran teknisnya turun peraturan menteri yang tetap juga membelenggu, bahkan Perguruan Tinggi Swasta tidak bisa melaksanakannya. Maka sebelum ini ditetapkan, perlu dibuat uji publik agar harapan dan kenyataan bisa sama.

Konon nanti seperti apa pelaksanaan kebijakan  “Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi”  ini? Nadiem mengharapkan Kampus Merdeka mendorong proses pembelajaran di perguruan tinggi yang semakin otonom dan fleksibel. Ini kebijakan yang baik, maka hemat kami, Dirjen Dikti khususnya Direktur  Akademik, BAN PT dan semua pihak memberikan kebebasan setiap perguruan tinggi meramu kurikulum sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi dan tidak terbelenggu dengan kurikulum baku dari program studi sejenis, mungkin disepakati kesamaanya hanya 30%-40% konten mata kuliahnya yang harus sama di semua program studi yang sama.

Jika memang bertujuan demi terciptanya kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan  masing-masing perguruan tinggi, maka kita harus tahu peta jalan (roadmap) perguruan tinggi di Indonesia, diperkirakan perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki mahasiswa di atas 10.000 mahasiswa tidak lebih dari 300 perguruan tinggi atau di bawah 5% dari total PTS yang jumlahnya lebih dari 4.520 PTS. Sisanya 70% lebih mahasiswanya di bawah 1.000 dan PTS yang memiliki mahasiswa di antara 1.000-5.000 sekitar 10% dan 5.000-10.000 juga sekitar 15%.

Maka semestinya Kemendikbud memberikan perhatian kepada kelompok PTS yang mahasiswanya di bawah 1.000, yang diarahkan untuk terciptanya kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan PTS terbanyak di negeri ini. Bukan memotret 10 PTN terbaik Indonesia saja misalnya, pasti tidak bisa menyelesaikan permasalahan sesungguhnya pendidikan tinggi kita.

Kemendikbud menyatakan ada empat bagian dari terobosan kebijakan Merdeka Belajar untuk perguruan tinggi, dan bagian dari rangkaian terobosan kebijakan Kemendikbud di bawah tema payung “Merdeka Belajar”.

Namun menurut kacamata APTISI, ini bukan terobosan utama, dikatakan  “terobosan utama” jika Kemendikbud berani menaikkan target angka partisipasi kasar hingga 60% dan memasukkan 5 PTN menjadi 100 perguruan tinggi terbaik dunia, selama periode Nadiem, sampai 2024. Karena kalau otak-atik di kemerdekaan belajar semacam ini hal yang biasa-biasa saja. Karena kehebatan dan kemajuan PT kembali pada PT masing-masing. Tetapi jika menaikkan APK ini butuh kerja tim antar kementerian, butuh pemikiran dan strategi yang jitu. Karena bicara kenaikan APK butuh kestabilan hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan Indonesia, yang sekarang sering dipertanyakan di ruang publik.

Untuk menjadikan PTN kita masuk 100 PT terbaik dunia, sebanyak 5 PTN ini adalah capaian yang luar biasa, maka konsen PTN ke depan, bukan mencari mahasiswa lokal, tetapi mampu merekrut mahasiswa asing, dan riset kelas dunia, lahir produk inovasi dari PTN, atau lahir hadiah nobel dari PTN, karena memang anggarannya sudah di backup oleh APBN, sebanyak 20%, walaupun diperkiran tidak mencapai angka 15%.
 

Salah satu permasalahan terbesar pendidikan di Indonesia adalah tarlalu banyak diatur, dan sangat birokratis, pejabat kementerian seneng mengatur perguruan tinggi dari “A to Z”,  tidak memberikan kebebasan pada pengelola perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta. Tidak ada ruang untuk melakukan kreativitas.

Padahal pemerintah sudah banyak dibantu oleh swasta, karena APK (angka partisipasi kasar) dibantu dinaikkan oleh PTS, sekitar 2/3 dari total jumlah mahasiswa Indonesia yang berjumlah 8,184 juta (sumber Dikti 2019). Jumlah perguruan tinggi swasta kita 95% dari total perguruan tinggi yang ada.

Tetapi perhatian pemerintah sampai saat ini hampir dikatakan tidak ada, hal ini terlihat dari keberpihakan dari APBN, hanya 10% anggaran yang mengalir pada perguruan tinggi swasta (PTS), untuk dibagi 4.520 PTS (total PT Indonesia: 4.670, sumber Dikti 2019). 

Jangankan membicarakan anggaran untuk PTS, untuk mendengarkan keluhan pun enggan, dan hampir sebagian besar pejabat kementerian (semua kementerian), enggan mendengar keluhan PTS. Padahal perguruan tinggi dan pendidikan dasar dan menengah sebagian besar adalah dari pihak swasta. Kepemimpinan semu melanda pejabat kita dan melanda semua strata kehidupan, mau mengatur, tetapi tidak mau membiayai, siapa yang mau diaturnya, mau mengatur komunitas PTS, tetapi tidak paham mimpi dan harapannya komunitas PTS tersebut, itulah realitas Kemendikbud kita. Jadi kampus merdeka itu untuk dan milik siapa?

Merdeka belajar ala Nadiem

Apa yang  dimaksud dengan kebijakan  “Merdeka Belajar”: Kampus Merdeka?  Menurut Kemendikbud, yaitu merdeka belajar di perguruan tinggi yang lebih otonom.  Prinsipnya, perubahan paradigma pendidikan agar menjadi  lebih otonom dengan kultur pembelajaran yang inovatif. Namun menurut hemat saya, ini adalah usulan dan cita-cita PTS dari dahulu kala, dan oleh setiap menteri, sudah kita usulkan agar PTS tidak ingin diatur secara detail oleh pemerintah, sehingga kami tidak bisa berinovasi.

Dengan statement Nadiem Makarim pada 24 Januari 2020, maka harapan PTS segera terpenuhi, namun yang sangat dikhawatirkan ini hanya lips service saja, nanti ditataran teknisnya turun peraturan menteri yang tetap juga membelenggu, bahkan Perguruan Tinggi Swasta tidak bisa melaksanakannya. Maka sebelum ini ditetapkan, perlu dibuat uji publik agar harapan dan kenyataan bisa sama.

Konon nanti seperti apa pelaksanaan kebijakan  “Merdeka Belajar di Perguruan Tinggi”  ini? Nadiem mengharapkan Kampus Merdeka mendorong proses pembelajaran di perguruan tinggi yang semakin otonom dan fleksibel. Ini kebijakan yang baik, maka hemat kami, Dirjen Dikti khususnya Direktur  Akademik, BAN PT dan semua pihak memberikan kebebasan setiap perguruan tinggi meramu kurikulum sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi dan tidak terbelenggu dengan kurikulum baku dari program studi sejenis, mungkin disepakati kesamaanya hanya 30%-40% konten mata kuliahnya yang harus sama di semua program studi yang sama.

Jika memang bertujuan demi terciptanya kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan  masing-masing perguruan tinggi, maka kita harus tahu peta jalan (roadmap) perguruan tinggi di Indonesia, diperkirakan perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki mahasiswa di atas 10.000 mahasiswa tidak lebih dari 300 perguruan tinggi atau di bawah 5% dari total PTS yang jumlahnya lebih dari 4.520 PTS. Sisanya 70% lebih mahasiswanya di bawah 1.000 dan PTS yang memiliki mahasiswa di antara 1.000-5.000 sekitar 10% dan 5.000-10.000 juga sekitar 15%.

Maka semestinya Kemendikbud memberikan perhatian kepada kelompok PTS yang mahasiswanya di bawah 1.000, yang diarahkan untuk terciptanya kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan PTS terbanyak di negeri ini. Bukan memotret 10 PTN terbaik Indonesia saja misalnya, pasti tidak bisa menyelesaikan permasalahan sesungguhnya pendidikan tinggi kita.

Kemendikbud menyatakan ada empat bagian dari terobosan kebijakan Merdeka Belajar untuk perguruan tinggi, dan bagian dari rangkaian terobosan kebijakan Kemendikbud di bawah tema payung “Merdeka Belajar”.

Namun menurut kacamata APTISI, ini bukan terobosan utama, dikatakan  “terobosan utama” jika Kemendikbud berani menaikkan target angka partisipasi kasar hingga 60% dan memasukkan 5 PTN menjadi 100 perguruan tinggi terbaik dunia, selama periode Nadiem, sampai 2024. Karena kalau otak-atik di kemerdekaan belajar semacam ini hal yang biasa-biasa saja. Karena kehebatan dan kemajuan PT kembali pada PT masing-masing. Tetapi jika menaikkan APK ini butuh kerja tim antar kementerian, butuh pemikiran dan strategi yang jitu. Karena bicara kenaikan APK butuh kestabilan hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan Indonesia, yang sekarang sering dipertanyakan di ruang publik.

Untuk menjadikan PTN kita masuk 100 PT terbaik dunia, sebanyak 5 PTN ini adalah capaian yang luar biasa, maka konsen PTN ke depan, bukan mencari mahasiswa lokal, tetapi mampu merekrut mahasiswa asing, dan riset kelas dunia, lahir produk inovasi dari PTN, atau lahir hadiah nobel dari PTN, karena memang anggarannya sudah di backup oleh APBN, sebanyak 20%, walaupun diperkiran tidak mencapai angka 15%.
 

Pembukaan program studi baru (1)

Merdeka Belajar 1: Alhamdulillah, Kemendikbud telah merespons dengan baik keinginan APTISI untuk mempermudah perizinan untuk pembukaan prodi pada PTS secara otonomi, dengan tidak menggunakan birokrasi yang berbelit-belit dan panjang. Dan menurut Kemendikbud, dasar kemudahan pendirian program studi (prodi) bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan akreditasi  A dan B.

Untuk mengikuti arus perubahan dan kebutuhan akan link and match dengan industri, perguruan tinggi harus adaptif. Membuka program studi sesuai dengan perkembangan kemajuan yang terjadi dan kebutuhan lapangan pekerjaan adalah salah satu caranya. Pemerintah mendorong kemudahan tersebut, dan sampai di sini sudah sangat baik. Dasar pijakannya adalah, Permendikbud No.7 Tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.

Patut disayangkan, niat baik sulit dicapai oleh perguran tinggi papan tengah, apalagi papan bawah, jika pemerintah dalam hal ini Kemendikbud tidak bersinergi dengan kementerian terkait, misal Menteri BUMN, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, karena sudah ada program Deductible Tax saja, bagi perusahaan yang menerima magang, belum banyak industri yang melaksanakan. Tentu dalam hal ini Presiden harus ikut turun tangan, sehingga ada keputusan bersama antar menteri.

Perlu juga ditanyakan sejauh mana kesiapan industri untuk bisa melakukan kolaborasi link and match dengan perguruan tinggi, tanpa adanya paksaan melalui kebijakan pemerintah, mereka tidak akan pernah melibatkan perguruan tinggi.

Satu hal yang perlu diperhatikan juga kondisi wilayah geografis serta kondisi riil PTS kita yang sangat lemah sarana dan prasarana, juga lemah sumber daya manusianya. Terutama PTS yang ada di daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), dan Indonesia Timur, mereka tidak sama dengan PTS besar dan PTN di Jawa.

Sebagian besar mahasiswa PTS adalah masyarakat yang tidak berlebih, kalau tidak mau disebut kurang mampu. Karena magang membutuhkan biaya juga, setidaknya tranportasi dan akomodasi. Dan alhamdulillah, kemendikbud telah membuat alternatif magang juga dapat dilakukan pada perusahaan kecil menengah, atau berwirausaha atau membantu pengembangan proyek sosial di desa atau kampung halamannya, proyek kemanusiaan, melakukan independen studi, artinya permutasinya hampir unlimited.

Yang penting jangan pernah menganggap magang itu harus pada perusahaan besar, tetapi magang pada perusahaan kecil malah bisa jadi mahasiswa cepat penjadi pengusaha, dan pengusahanya merasa terbantu, karena dia belajar lebih mudah praktis dan tidak kompleks seperti perusahaan besar. Kalau magang diperusahaan besar paling selesai magang akan direkrut jadi karyawan saja.

Bentuk kolaborasi

Bagaimana bentuk kolaborasi program studi dengan mitra prodi? Kemudahan diberikan kepada Institusi dengan akreditasi A dan B karena sudah membuktikan kualitas dan reputasinya dalam mengelola institusi. Namun, pembukaan prodi tersebut harus disertai syarat kerja sama dengan mitra prodi.

Di luar itu, pemerintah mempermudah persyaratan pembukaan prodi. Kebijakan ini sudah sangat baik, namun nanti bisa jadi dalam pelaksanaanya sulit diterapkan, karena persyaratan kerja sama ini ukuran dan standarnya harus jelas, dan juga buat kebijakan pada industri dan organisasi yang bekerja sama dengan PT memang juga mendapatkan keuntungan dari pemerintah, jangan buat mekanisme pasar yang liar, dan nanti pemerintah lepas tangan.

Bagaimana bentuk kolaborasi program studi dengan mitra prodi? Menurut kemendikbud, untuk membuka program studi baru, pihak kampus perlu mencari mitra yang dapat berkolaborasi dalam pembuatan  kurikulum, menyediakan praktik kerja (magang) dan penyerapan lapangan kerja dalam bentuk penempatan kerja  setelah lulus (untuk sebagian lulusan dari prodi tersebut).

Nah, kolaborasi semacam ini yang pasti tidak disukai oleh industri, karena ada kewajiban menyerap tenaga kerja dari lulusan PT tersebut. Ya kalau sekedar membantu pembuatan kurikulum dan memberikan masukan is ok, atau memberikan kesempatan magang mungkin industri tidak masalah.

Tidak semua industri mau dan mampu menyerap tenaga kerja lulusan dari prodi baru yang bekerja sama dengannya, jika pun bisa hanya sebagian kecil dari lulusan, terus berapa ukurannya yang bisa diserap, ini masalah yang bukan sederhana. Dan lulusan perguruan tinggi ini tidak semua harus diarahkan ke dalam satu industri yang kerjasama sajakan? Lulusannya bisa diserap industri lain dan bisa menjadi wirausaha, konsultan dan lain-lain.

Mitra prodi dapat berasal dari dunia usaha dan industri,  BUMN dan BUMD, sektor nirlaba (non-profit), organisasi  multilateral, dan mitra lain yang relevan dan bereputasi. Ada masalah kata “Bereputasi”, ini kelak yang akan juga mengganjal perizinan. Karena perusahaan yang bereputasi belum tentu menguntungkan mahasiswa atau perguruan tingginya, tetapi perusahaan kecil menengah mungkin lebih baik dan juga menguntungkan dalam hal ini. Karena program 3+1 (tiga tahun di kampus dan 1 tahun di industri) sudah dilakukan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia dan juga PTS yang kami bina. Dan kenyataanya, tidak semua industri mau menerima mahasiswa magang.

Dunia Industri dan dunia usaha; Organisasi nirlaba; BUMN/BUMD; Dapat dipastikan perusahaan mitra tidak mungkin menerima begitu saja, karena mahasiswa Indonesia 8,184 juta, kalau diperkirakan dua juta per tahun yang mau magang terus ditempatkan dimana? Mestinya semua menteri terkait misalnya menteri BUMN, menteri perindustrian, membuat MoU untuk melaksanakan program ini, dan semua perusahaan yang menerima magang mahasiswa mendapatkan insentif pajak misalnya, atau sebaiknya diwajibkan menerima mahasiswa magang (syarat saat membuka perizinan).

Apakah Kemendikbud pernah berfikir berapa banyak perusahaan tersebut di atas yang memiliki kapasitas terpasang untuk menerima mahasiswa magangnya, apakah mereka juga bersedia kedatangan mahasiswa magang, dapat dipastikan tidak semua perusahaan menerima mahasiswa magang, kecuali di negara yang tingkat pertumbuhan penduduknya rendah seperti Jepang, kekurangan tenaga kerja. 

Alih-alih ingin membantu menyelesaikan masalah bagi PTS yang mau membuka prodi baru, malah akhirnya dengan persyaratan MoU, tidak bisa dilaksanakan, karena perusahaan atau industrinya tidak ada yang mau membuat perjanjian kesepakatan kerja sama (MoU). Asli yang paling menjadi masalah adalah pertumbuhan ekonomi kita yang hanya 5%; dari 2014 penerimaan mahasiswa di PTS terus menurun selama 5 tahun lebih, karena daya beli masyarakat yang rendah. Kuliah menjadi kebutuhan sekunder bagi semua kalangan, karena kebutuhan akan sandang dan pangan yang tinggi dan tidak mampu terbeli, jadi banyak yang menunda untuk kuliah.

Pelajaran yang berarti dengan magang dan kerja praktek di rumah sakit milik pemda untuk mahasiswa bidang kesehatan dengan pembayaran yang sangat tinggi dan ada banyak pemda juga melegalkan dengan pungutan 5-10 juta/mahasiswa sampai selesai, harga ini sangat variatif.

Ketentuan lain tentang pembukaan prodi

Kemendikbud memberikan batasan kebebasan untuk membuka  program studi baru berlaku untuk semua bidang ilmu atau disiplin, kecuali bagi rumpun ilmu kesehatan dan pendidikan, karena dianggap sudah jenuh. Tetapi sebenarnya masih banyak prodi dibidang kesehatan yang sangat dibutuhkan dan banyak program studi belum ada di Indonesia, saya selaku Ketua Umum Himpunan Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia (HPTKes Indonesia) tentu keberatan dengan moratorium ini dan sejujurnya banyak program studi kependidikan teknik juga sangat langka.

Jika program studi kedokteran dibuka lebih banyak lagi maka biaya semakin murah, dan bisa jadi Indonesia menjadi negara yang paling baik kesehatannya, karena banyak tenaga dokternya. Patut diduga ada kelompok tertentu yang enggan program studi kesehatan khususnya kedokteran tidak dibuka diberbagai tempat, agar ini menjadi monopoli perguruan tinggi tertentu saja, sehingga berbiaya tinggi.

Tetapi dimasa lalu, kalau perguruan tinggi tersebut di backup oleh orang kuat langsung keluar program studi Kedokteran baru, walaupun moratorium. Ini negara dengan aturan mengelikan, moratorium berlaku bagi PTS yang tidak punya taring, dan semua PTS tahu Dikti bermasalah dengan komitmen, dalam hal ini.

Good News dari Kemendikbud, politeknik dapat membuka program studi baru dan pembukaan program studi tersebut mengikuti syarat yang sama berupa kerja sama dengan mitra prodi, juga pembukaan S2 dan S3. Dan perubahan peraturan ini berlaku untuk perguruan tinggi lain di luar wewenang Kemendikbud.

Inisiatif perubahan kebijakan ini berlaku untuk semua  institusi perguruan tinggi. Namun implementasi utamanya dimulai untuk perguruan tinggi di bawah naungan Kemendikbud dan mungkin akan ada penyesuaian bagi perguruan tinggi di luar naungan Kemendikbud sembari  berjalan.

Rencana pemerintah untuk mengawasi program studi baru, Kementerian akan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan mitra program studi untuk melakukan pengawasan program studi baru tersebut, tetapi ketentuannya tidak jelas dan tidak akan efektif kalau tujuannya pengawan.

Kalau tujuannya pendampingan maka akan efektif, karena dengan pendampingan akan ada usaha dari pemerintah untuk mengeluarkan anggaran, sesuai nomenklatur pemerintah. Pendampingannya dilakkan oleh L2Dikti (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) dengan dana yang sudah disiapkan oleh Kemendikbud, sehingga L2Dikti fokus pada penjaminan kualitas dalam pemberian layanan. 

Sistem akreditasi perguruan tinggi (2)

Merdeka Belajar 2: Selama ada sistem akreditasi di Indonesia, pertengahan tahun sembilan puluhan, belum ada penelitian yang serius meneliti dampak postif dan negatifnya. Namun dampak positifnya terasa yaitu, perguruan tinggi semakin serius meningkatkan kualitas diberbagai lini terutama pada peningkatan kualitas tridharma perguruan tinggi. Namun dampak negatifnya belum ada yang meneliti, tetapi dalam lima tahun terakhir semakin banyak pimpinan perguruan tinggi, dosen dan tenaga akademik mengeluh dan semakin pusing menghadapi borang akreditasi, mereka disibukan hal-hal yang sifatnya administratif, sehingga tidak mampu berinovasi dalam melaksanakan pembelajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Undang-undang No 12 tahun 2012 mengenai Pendidikan Tinggi mewajibkan perpanjangan akreditasi perguruan tinggi dan program studi demi penjaminan mutu. Namun, dalam praktiknya, reakreditasi menjadi beban administrasi dosen dan pengelola perguruan tinggi. Untuk mengurangi beban tersebut, Terobosan Kemendikbud adalah masa berlaku akreditasi akan otomatis diperpanjang tiap lima tahun selama tidak ada penurunan indikator mutu atau perubahan program secara signifikan.

Bagaimana cara mengukur indikator mutu perguruan tinggi dan program studi? Yaitu input dari pengaduan masyarakat dan hasil Tracer Study (yang dihubungkan dengan PDPT). Tetapi Dikti dan BAN PT harus selektif dengan aduan masyarakat tersebut, jangan asal terima sebelum diteliti dengan seksama.

Nadiem memberikan statement bahwa, program studi baru akan secara otomatis memperoleh akreditasi C dari BAN-PT tanpa harus menunggu persetujuan kementerian. Akreditasi tersebut berlaku dari awal sampai dengan  program studi tersebut mengajukan perbaikan atau re-akreditasi, dasar pijakannya adalah Permendikbud No.5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. 

Dari program kampus merdeka, program studi baru dapat langsung mengajukan perbaikan akreditasi setelah memperoleh akreditasi C (saat didirikan), namun bila gagal mendapat kenaikan akreditasi, prodi baru tersebut harus menunggu selama dua tahun sebelum dapat mengajukan perbaikan akreditasi kembali.

APTISI tidak setuju untuk kenaikan akreditasi tidak perlu dibatasi waktu, karena selama ini hampir sebagian besar program studi enggan mengajukan re-akreditasi dan karena faktor biaya, justru dengan waktu dua tahun sangat merugikan bagi PT yang mau menaikan mutunya.

Bonus bagi PT Prodi yang telah mendapatkan akreditasi internasional, Kemendikbud akan langsung diberikan kategori sebagai  akreditasi A. Daftar lembaga akreditasi internasional yang diakui Kemendikbud tertuang di dalam keputusan menteri. Beberapa contoh akreditasi internasional yang diakui adalah:  ABET, AACSB, FIBAA, ACPE, ECUK, TEQSA, dan lain-lain. Ketentuan perpanjangan akreditasi internasional teragantung dari masing-masing badan akreditasi internasional tersebut.
Proses akreditasi ini hanya untuk pendidikan tinggi di bawah Kemendikbud, kementerian lain segera mengikuti.

Kebebasan menjadi PTN-BH (3)

Merdeka Belajar 3: Bagaimana ketentuan bagi PTN BLU dan satker untuk menjadi PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum) akan dimudahkan. Pemerintah membantu dengan mempermudah syarat administrasi tanpa terikat status akreditasi perguruan tinggi tersebut.

APTISI berpendapat silahkan semua PTN mengejar World Class University dengan terus ditambah anggarannya, tetapi konsen pada kualitas, dengan cara mengurangi jumlah mahasiswa baru D3, D4 dan S1 dalam negeri tetapi menaikan mahasiswa S1 yang berasal dari luar negeri dan menambah banyak mahasiswa baru S2 dan S3 dalam dan luar negeri.  

Serahkan sepenuhnya kenaikan APK pada perguruan tinggi swasta dengan biaya murah dan PTS tidak perlu dibantu pemerintah.Maka dengan sendirinya PTS akan jauh lebih sehat dan PTN tidak menjadi pukat Harimau menerima mahasiswa baru segala musim dan tidak mengenal gelombang.

Dengan demikian Kemendikbud bisa membuat kebijakan syarat minimal dan maksimal PT menampung mahasiswa, jika perguruan tinggi jumlah total mahasiswanya di bawah syarat minimal maka diwajibkan merger ke PT lain, yang memiliki visi dan misi yang sama. 

Hak belajar tiga semester di luar program studi (4)

Merdeka Belajar 4: Kemendikbud memberikan kemerdekaan dan otonomi pada kampus, dengan memberikan kebebasan waktu untuk mengambil SKS. Perguruan Tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela (dapat diambil atau tidak). Dapat mengambil SKS di luar perguruan tinggi sebanyak dua semester (setara dengan 40 SKS) dan ditambah lagi, dapat mengambil SKS di prodi yang berbeda di PT yang sama sebanyak satu semester (setara dengan 20 SKS). Dengan kata lain SKS yang wajib diambil di prodi asal adalah sebanyak lima semester dari total semester yang harus dijalankan (tidak berlaku untuk prodi Kesehatan). 

Berdasarkan Permenristekdikti No. 44/2015, SKS merupakan takaran waktu kegiatan belajar berdasarkan proses pembelajaran maupun pengakuan atas keberhasilan usaha mahasiswa dalam mengikuti kegiatan kurikuler. Selama ini, SKS juga terbatas pada definisi pembelajaran tatap muka di dalam kelas. Padahal, proses pembelajaran mahasiswa tidak terbatas pada kegiatan di dalam kelas saja.  

Dalam skema yang baru, mahasiswa diberikan hak untuk secara sukarela (bisa diambil ataupun tidak) melakukan kegiatan di luar program studi, bahkan di luar perguruan tinggi yang dapat diperhitungkan dalam SKS. 

APTISI memandang ini terobosan yang baik, karena harapannya, mahasiswa dapat memiliki kebebasan menentukan rangkaian pembelajaran mereka, sehingga  tercipta budaya belajar yang mandiri, lintas disiplin, dan mendapatkan pengetahuan serta pengalaman yang berharga untuk diterapkan. Proses pelaksanaan penghitungan SKS akan dibebaskan kepada setiap perguruan tinggi.

Perguruan tinggi wajib memberikan hak kepada mahasiswanya untuk secara sukarela mengambil sks diluar program studi dan di luar perguruan tingginya.

Dasar hukum perubahan definisi SKS adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Dasar hukum perubahan definisi SKS adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3 Tahun 2020  tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Mahasiswa adalah penerima manfaat utama dari empat inisiatif perubahan ini. Mahasiswa akan memperoleh pilihan jurusan studi yang lebih mutakhir dan sesuai dengan  kebutuhan pengetahuan dan keterampilan, serta kebebasan untuk memilih mata kuliah yang sesuai dengan pengembangan kapasitasnya. Selain itu, mahasiswa akan memperoleh materi dan proses  pembelajaran yang lebih berkualitas dengan berkurangnya beban administrasi dosen.

Perguruan tinggi harus terbuka untuk kolaborasi dan  interaksi dengan sesama penyelenggara pendidikan maupun  pihak ketiga (dunia usaha, dunia industri, organisasi non-profit, dll) untuk memperluas konten pembelajaran. Ciptakan dan gunakan platform bersama untuk pendokumentasian proses tersebut.

SKS yang diambil mahasiswa di program studinya maksimal sebanyak lima semester dari total delapan semester. Sisanya mahasiswa berhak memiliki pilihan untuk mengambil dua semester (setara 40 SKS) di luar perguruan tingginya dan satu semester (20 SKS) di luar program studi di perguruan tinggi yang sama. Hak ini bersifat sukarela dan tidak diwajibkan kepada mahasiswa untuk menggunakan tiga semester pilihan tersebut. Perubahan SKS tidak berlaku untuk bidang ilmu S1  Kesehatan.  Untuk saat ini, kebijakan tersebut baru berlaku untuk S1 dan politeknik.

Kesimpulan 
Dari uraian di atas saya bisa menarik kesimpulan secara umum bahwa, Merdeka Belajar” : Kampus merdeka, Mas Menteri tentang (1) pembukaan program studi baru, (2) sistem akreditasi perguruan tinggi, (3) kebebasan menjadi PTN-BH dan (4) hak belajar tiga semester di luar program studi, sangat membawa angin segar dalam perubahan kampus yang jauh lebih otonom, dari paradigma lama.

Saya bisa memahami banyak masyarakat PT yang meragukan kepemimpinan Mas Menteri ini, tetapi dari tulisan saya sehari setelah Mas Menteri diangkat jadi Mendikbud saya meyakini akan datang sebuah berubahan yang sangat fundamental, dari pemikiran melenial ini.

Mas Menteri walaupun bukan dari kalangan akademik, dia mampu memberikan harapan bagi PTS Indonesia, walaupun kita bisa membaca ini baru tataran gagasan, yang belum diimplementasikan.

Jadi apakah Kampus Merdeka ala Nadiem, akan membawa kehancuran atau menguatkan kampus? Sejatinya kebijakan Kemendikbud ini sungguh menguatkan kampus kita, asal Kemendikbud dan tim, mau menyempurnakan dari berbagai masukan, kritik dan saran.

Dan jauh lebih penting Mas Menteri jangan malu mendengar dan belajar secara teknis kondisi pendidikan yang ada di Indonesia. Jangan mengikuti pendahulu Anda, yang enggan mendengar harapan masyarakat, rasanya hanya pendapat dia dan kelompoknya yang paling benar. Semoga Mas Menteri ini tidak demikian, tetap rendah hati untuk menerima pendapat semua orang dengan santun, karena sejujurnya empat jurus Kampus Merdeka ala Nadiem masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Dan masih banyak masalah perguruan tinggi khususnya PTS yang harus diselesaikan dengan bijak, agar Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan dimasa mendatang. Semoga.

img
M Budi Djatmiko
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan