Ironi Esemka dan SMK memasuki Revolusi Industri 4.0
Mobil Esemka dan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah ironi memasuki Revolusi Industri 4.0. Ketika Jokowi (Joko Widodo) menjabat sebagai Wali Kota Solo, dia menggunakan Esemka sebagai kendaraan dinas. Langkah sang Wali Kota mendapat sambutan dan kekaguman. Banyak pihak ikut memesan Esemka yang konon sudah berjumlah ribuan. Esemka digadang-gadang bakal menjadi mobil nasional. Nama Jokowi melambung tinggi memberi harapan. Harapan tersebut dikapitalisasi sang Wali Kota untuk melancarkan karir politiknya mencalokan diri sebagai Gubernur DKI Jakata (2012) dan Presiden Republik Indonesia (2014).
Sayangnya, kecemerlangan karir politik Jokowi tidak sejalan dengan nasib tragis Esemka. Esemka tidak kunjung diluncurkan walaupun Jokowi telah memerintah selama empat tahun lebih sebagai Presiden RI. Sedikit titik terang tentang nasib Esemka muncul tapi langsung meredup ketika Jokowi berucap, "setelah jadi, ya, diserahkan kepada industri. Mau diproduksi atau tidak produksi, ya bukan urusan kami lagi," (https://nasional.tempo.co/read/1139465/jokowi-produksi-mobil-esemka-tak-ada-urusannya-dengan pemerintah/full&view=ok). Sayup-sayup masih terdengar bahwa Esemka akan tetap diproduksi. Akan tetapi pernyataan Jokowi telah memupus sebuah ikhtiar inovasi menjadi sekedar retorika politik.
Industri otomotif di Indonesia tumbuh dalam lintasan panjang (Rasiah dan Amin, 2010). Di 1928, General Motors (GM) membuka pabrik perakitan di Tanjung Priok, Jakarta. Di 1950, Program Benteng yang diluncurkan di masa pemerintahan Soekarno sebagai suatu kebijakan ekonomi belum berdampak banyak. Ditemukan data di 1960, industri otomotif Indonesia ukurannya terlalu kecil dan teknologinya masih tertinggal. Pasar hanya menyerap 10.000-15.000 unit pertahun yang sulit mendukung manufaktur dapat bertahan secara efisien.
Sejak investasi asing langsung diizinkan berpartisipasi dalam industri otomotif di 1970, pemerintah memberlakukan kebijakan impor utuh (CBU) dan rakit di dalam negeri (CKD). CKD diberikan insentif untuk mendorong produsen merelokasi perakitan ke dalam negeri. Lintasan panjang tersebut mendatangkan kemampuan untuk menguasai suatu teknologi; tahapan dan proses akumulasi pengetahuan teknologi atau proses belajar organisasi (Rosenberg dan Firschak, 1995); dan merupakan lintasan pendalaman penguasaan teknologi yang bergerak dari kemampuan produksi memanfaatkan teknologi menuju kemampuan mendorong inovasi (Dalman dkk.,1987). Manufaktur mengembangkan serangkaian penguasaan dari kemampuan produksi karena investasi penguasaan teknologi, menuju kemampuan penguasaan inovasi. Ini konsisten dengan taksonomi kemampuan penguasaan teknologi ala Lall (1992) (dalam Rasiah dan Amin, 2010).
Cerita pendek mobil Esemka yang memunculkan Jokowi sebagai pemeran utama jauh berbeda dengan kisah panjang yang ditempuh industri otomotif Indonesia. Esemka adalah cerita yang berakhir tragis. Esemka sempat mendapatkan pujian publik sebelum berbalik menjadi ejekan karena tidak kunjung diluncurkan.
Bersama cerita Esemka di mana Jokowi menjadi pemeran utama, SMK dan siswa-siswa SMK sebagai latar. Padahal para siswa tersebut tengah belajar mendalami keahlian otomotif. Di era pemerintahan Jokowi pula di mana data BPS November 2018 menyebutkan, tamatan SMK penyumbang tertinggi pengangguran terampil. SMK hanya figuran yang dimanfaatkan sesuai kebutuhan.
Meminjam pemikiran Simon Anholt, seorang pakar branding dan diplomasi publik (dalam Yananda dan Salamah, 2014:71-72), Jokowi dalam Esemka hanya melakukan tindakan simbolik (retorika, pencitraan). Tindakan simbolik akan kompetitif jika didukung oleh strategi dan substansi. Ketidakhadiran strategi (peta jalan Esemka sebagai produk otomotif) dan subtansi (langkah-langkah pendukung dan implementasi) telah mengantarkannya kepada kegagalan. Esemka adalah praktik “gimmick” politik Jokowi. Praktik yang sering dilakukan di dunia pemasaran. Gimmick Jokowi tersebut tentu saja mengabaikan kenyataan tingginya angka pengangguran tamatan SMK.
Inovasi teknologi kembali berpotensi menjadi gimmick politik. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto meluncurkan peta jalan Revolusi Industri 4.0 nasional yang berjudul “ Making Indonesia 4.0”, pada rangkaian acara Indonesia Industrial Summit 2018, yang diresmikan Presiden RI. Menariknya, acara peluncuran Making Indonesia 4.0 tersebut dilakukan pada tanggal 4, bulan 4 oleh Airlangga Hartarto yang merupakan Ketua Umum Partai Golkar bernomor urut 4 (http://www.kemenperin.go.id/artikel/19040/Besok-(44),-Kemenperin-Luncurkan-Roadmap-ImplementasiIndustri-4.0).
Penyebutan angka “4” secara beruntun tersebut membuka prasangka bahwa gagasan Making Indonesia 4.0 menjadi gimmick politik baru seperti yang menimpa mobil Esemka. Capres 01 Jokowi perlu menyampaikan peta jalan tersebut di debat kelima pilpres menjelaskan strategi dan substansi agar Making Indonesia 4.0 tidak sebatas tindakan simbolik. Idealnya, kedua pasangan perlu menyampaikan gagasan mereka terkait Revolusi Industri 4.0. Sebagai pihak yang menginisiasi Making Indonesia 4.0, Jokowi lebih berkepentingan dan sepantasnya mempertegas dan memperjelas posisinya.
Revolusi industri 4.0 sebagai ideologi
Konsep industri 4.0 bersumber dari bahasa Jerman Industrie 4.0 dan terkenal sebagai Revolusi Industri 4.0. Mengapa Jerman mengkampanyekan Revolusi Industri 4.0? Mengapa Klaus Martin Schwab pendiri WEF (World Economic Forum) yang berkebangsaan Jerman menjadi duta brand Revolusi Industri 4.0? Jerman punya kepentingan ekonomi politik di balik kampanye Revolusi Industi 4.0 (Fuch, 2018).
Di Jerman nilai tambah sektor manufaktur masih besar dibandingkan AS dan Inggris. Di AS kontribusi manufaktur terus turun dari 23,3% (1970) ke 12,3% (2015) dan Inggris juga terus menurun dari 27% ke 9,8%. Sebaliknya, nilai tambah manufaktur di Jerman masih tinggi, yaitu sebesar 25%. Sektor keuangan, asuransi dan perumahan serta sektor industri teknologi komunikasi dan informasi Jerman tidak tumbuh sesignifikan AS dan Inggris. Ekonomi berbasis internet AS tidak mampu disaingi Jerman dan Eropa.
Kampanye Revolusi Industri 4.0 adalah wujud keinginan Jerman menjadi pemimpin dan inovator di sektor teknologi digital. Kepemimpinan tersebut akan memaksimalkan keunggulan kompetitif industri Jerman berorientasi ekspor, seperti kendaraan, permesinan, produk kimia dan farmasi, peralatan listrik, metal, produk plastik dan karet. Jerman membangun aksi simbolik (kampanye) Revolusi Industri 4.0 dan Schwab adalah duta brandnya. Kampanye tersebut selaras dengan kepentingan ekonomi politik (strategi) mengungkitnya melalui sektor-sektor industri yang memiliki keunggulan kompetitif (substansi).
Sementara itu Making Indonesia 4.0 mengutamakan lima sektor industri, yaitu makanan dan minuman, otomotif, elektronik, kimia, serta tekstil. Laporan ILO (International Labour Organization) yang bertajuk ASEAN In Transformation: How Technology Is Changing Jobs And Enterprises (Chang, Rynhart dan Huynh, 2016), menggambarkan kinerja Indonesia di beberapa sektor industri tersebut dibandingkan negara-negara ASEAN memasuki industri digital. Digitalisasi adalah tulang punggung Revolusi Industri 4.0.
ILO melakukan survei atas lima sektor utama, yaitu otomotif dan suku cadang, listrik dan elektronik, tekstil, pakaian dan alas kaki, proses bisnis alih daya, dan ritel. Lima negara yang disurvei adalah Vietnam, Kamboja, Indonesia, Filipina, dan Thailand. Membandingkan dua sektor industri yang sama dari survei tersebut dengan dua sektor utama di Making Indonesia 4.0, otomotif dan tekstil, pakaian dan alas kaki, membantu memahami posisi dan kebutuhan Indonesia di Revolusi Industri 4.0 atau Revolusi Digital.
Di sektor otomotif dan suku cadang, ASEAN adalah produsen ketujuh terbesar global di 2015. Sektor tersebut memperkerjakan sekitar 800 ribu tenaga kerja. Thailand adalah produsen terbesar. Indonesia produsen kedua terbesar dengan jumlah seperlima Thailand. Teknologi yang akan dominan adalah otomatisasi robot yang dapat mengatasi lonjakan tidak terduga upah minimum. Robot juga lebih kecil (fisik), baik, murah, mudah dipasang, lebih mudah beradaptasi dan dapat berkolaborasi dengan manusia. Robot akan menggantikan pekerjaan dengan keterampilan rendah. Di sisi lain, industri juga sulit mendapatkan tipe pekerja baru dengan skill tinggi.
Industri tekstil, pakaian dan alas kaki menyediakan sembilan juta lapangan kerja di ASEAN. Mayoritas pekerja adalah perempuan muda. Indonesia, Thailand dan Vietnam adalah pemain utama. Ekspor Indonesia separuh dari Vietnam sebagai pemain utama di ASEAN yang mewakili 25% dari total ekspor manufaktur Indonesia. Teknologi otomatisasi robot, yaitu “sewbots”, menjadi ancaman terbesar untuk perusahaan dan pekerja di sektor tersebut. Insinyur dan ahli dengan latar belakang STEM (Science, Engineering, Technology, Maths) lebih dibutuhkan. Teknologi kunci yang akan menggerakan sektor tekstil, pakaian dan alas kaki global, adalah teknologi kustomisasi produk seperti pencetakan 3D, body scanner dan program komputer untuk perancangan. Adidas telah memanfaatkan pemotongan otomatis untuk mengurangi pemotongan secara manual sebesar 30%.
Di dekade mendatang, 56% pekerjaan di Indonesia beresiko tinggi terotomatisasi. Kemajuan teknologi secara tidak proporsional akan berdampak untuk segmen pekerja dengan keterampilan rendah, perempuan, pemuda dan pekerja dengan pendidikan terbatas. Pekerja di sektor konstruksi dan ritel yang paling tinggi beresiko terotomatisasi, dan dalam porsi yang besar pekerja di sektor tekstil, pakaian dan alas kaki dan sektor manufaktur juga akan terotomatisasi. Tranformasi di sektor-sektor tersebut tengah terjadi. Robot mengambil pekerjaan yang beresiko dan pekerjaan manual termasuk pekerjan yang dilakukan tenaga kerja dengan keterampilan rendah. Sedangkan di sektor otomotif, manufaktur memasang robot untuk berkolaborasi dengan tenaga kerja terampil.
Debat kelima: Platform inovasi
Dua sektor di atas menggambarkan kekuatan dan kelemahan Indonesia memasuki Revolusi Industri 4.0. Melalui dua sektor tersebut, capres juga mampu menggambarkan kepentingan ideologi ekonomi politik Indonesia memasuki Revolusi Industri 4.0. Debat sebagai suatu aksi simbolik juga harus selaras dengan substansi (implementasi) dan ideologi (strategi).
Sebagai penjelasan strategi dan substansi, pasangan 01 sebagai petahana dapat menyempurnakan peta jalan Making Indonesia 4.0. Sementara pasangan 02, misalnya, menggambarkan kemampuan Revolusi Industri 4.0 menjadi pengungkit ekonomi bertumbuh melampaui rata-rata 5% selama empat tahun terakhir sebagaimana yang mereka tawarkan. Dan tidak kalah pentingnya memosisikan Rumah Siap Kerja yang digadang-gadang Sandiaga Uno membantu millennials menyongsong Revolusi Industri 4.0. Kedua pasangan dapat belajar dari lintasan panjang manufaktur otomotif Indonesia dan kampanye Revolusi Industri 4.0 Jerman.
Semua Revolusi Industri mensyaratkan inovasi teknologi. Dan perubahan inovasi teknologi menjadi produk melibatkan banyak pihak dalam suatu kurun waktu panjang. Sektor otomotif Indonesia dapat bertahan karena pemerintah-pemerintah sebelumnya menyediakan platform teknologi, ekonomi, dan politik. Semua presiden sejak Indonesia merdeka perlu diapresiasi secara proporsional. Mencari klaim politik bersumber dari uji coba prototipe produk teknologi beresiko tinggi. Inovasi teknologi baru mendapatkan pengakuan setelah produknya diterima secara luas.
Dalam sejarah teknologi Indonesia, Presiden BJ Habibie adalah sosok pemimpin yang menonjol mendorong inovasi teknologi. Tentu saja tidak harus menjadi inventor atau pakar teknologi untuk mengikuti jejak beliau. Seorang presiden memiliki sumber daya lebih dari cukup untuk memimpin inovasi teknologi. Di debat kelima bertemakan “Ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan, investasi, dan industri” kedua paslon harus menawarkan platform sistem inovasi Indonesia menyongsong Revolusi Industri 4.0.