close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Yudhie Haryono
icon caption
Yudhie Haryono
Kolom
Rabu, 17 Februari 2021 19:22

Indonesia (tidak) Raya

Stabil dan berkecambahnya kemiskinan, serta kesenjangan di Indonesia sejak kolonialisme purba, bukan karena road map ekonomi yang salah.
swipe

Ini bukan doa. Bukan harapan. Tetapi kenyataan. Saat Covid melanda dunia, Indonesia tak bisa apa-apa. Obat tak punya. Apalagi vaksin. Adanya doa. Itupun tak khusuk. Hanya pencitraan saja. Bagian dari tipu sana, tipu sini agar dapat kursi.

Terkait hal di atas, Rene Descartes mempunyai tesis menarik, "memiliki pikiran cerdas dan cemerlang tidaklah cukup untuk hidup di alam raya ini, yang terpenting adalah bagaimana menggunakannya dengan baik dan menghasilkan ide-ide brilian yang bisa digunakan manusia setelahnya.”

Sayangnya kita tak punya keduanya. Otak yang jenius, absen. Penggunaan akal, defisit. Padahal, problem kita saat ini sangat banyak. Minimal ada sembilan hal: 1) invasi medis, 2) agresi digital, 3) eksploitasi ekonomi dan SDA, 4) infiltrasi budaya dan pendidikan, 5) konglomerasi kaum kaya yang sangat pelit, 6) pemerintahan yang lemah syahwat, tidak menolong, sarang KKN, menjadi bungker dan perkumpulan orang rakus plus gila dinasti, 7) rakyat miskin dan kurang literasi, 8) bencana alam dan, 9) perang nirmiliter.

Lebih parah dari sembilan problem di atas, kini kita punya elite yang tuna trobosan, defisit adab, tuna moral, tuna mental, buta sejarah, rabun konstitusi, budek kritik dan bisu realitas. Buktinya, kalau mereka ke luar negeri, mengutang. Kalau ada tamu, mengemis. Ke rakyat, menyekik. Itulah program hariannya.

Karenanya, saat problema tiba, yang dilakukan itu bukan menemukan solusi. Tetapi, menambah masalah. Bikin gaduh agar kursinya utuh dan bertambah. Sudah jelas Covid membunuh dan memakan kehidupan rakyat, yang dilakuan impor dan bisnis (rent seeking). Pemerintah tak membuat dan menemukan antivirusnya, vaksinnya apalagi perlindungan menyeluruh seperti perintah konstitusi.

Dalam praktek rent seeking ini yang terlibat, yaitu pengusaha, pemilik modal dan penguasa. Jumlahnya tak banyak. Membentuk oligarki yang kuat. Para pemilik modal dalam investasinya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan cara mendekati penguasa dengan memainkan serta mengarahkan kebijakan publik.

Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan bermasalah (termasuk BUMN) menjadi mafia ekonomi nasional, misalkan saja pada sektor migas, Jiwasraya, ASABRI, Hambalang, bansos, Century, dan BLBI, yang merugikan ratusan triliun uang rakyat. Akhirnya kita miskin bersama sebagai warga negara. Yang kaya hanya satu dua.

Karenanya, stabil dan berkecambahnya kemiskinan serta kesenjangan di Indonesia sejak kolonialisme purba bukan saja karena road map ekonomi yang salah, tetapi juga karena karakter buruk para elitenya yaitu "serakah" atau greedy. Karakter ini adalah warisan filsafat Barat yang tidak memiliki sikap sak "dremo" (selaras dengan alam raya).

Padahal Ki Ageng Suryo Mentaram, sudah ajarkan prinsip 6-sa: sa penake, sa butuhe, sa perlune, sa cukupe, sa mestine, sa benere. Tetapi prinsip ini terkubur dalam kejahiliyahan masif para pejabat negara.

Wahai elite Indònesia, sesungguhnya krisis adalah peluang untuk mencipta hal-hal yang lebih baik, jika kalian gunakan akal publik. Kesulitan adalah batu loncatan menuju pengalaman yang lebih hebat. Karena, ketika satu pintu tertutup, pintu lain akan terbuka. Hukum alam mengharuskannya begitu agar ada keseimbangan alam raya. Yang harus kita lakukan hanya refleksi dan proyeksi kebangsaan dan kenegaraan. Secepatnya berdasar Pancasila.

Wahai pejabat negara, kalian boleh saja kaya raya dan bergelar banyak. KKN kapan dan di mana saja. Tetapi jika teknologinya terbatas, kalian bukan siapa-siapa. Negara kalian tak akan bermartabat di mata dunia. Tentu saja Indonesia (takkan) Raya. Sebaliknya, paria dunia dan putus asa para pewarisanya.

img
Yudhie Haryono
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan