Eulogi untuk BPPT
Pernah ada masa ketika sebagai seorang anak yang polos, mata kita terbelalak kagum dan bergumam..."wow itu keren sekali..."
Itu tentu saya alami juga dalam perjalanan hidup sekitar empat dasawarsa lalu. Seperti melihat robot Voltus V dan perjalanan teleportasi kuantum di film Star Trek. Tetapi kekaguman saya saat itu terarah pada sosok lembaga litbangjirap yang bernama BPPT.
Kok bisa? Saya ini anak yang sangat beruntung. Bersekolah di banyak desa di negara bernama Indonesia. Masa SD seingat saya, mengalami lima kali pindah sekolah. Madiun, Bandung, Manado, Kotamobagu, dan pernah terdampar di Den Haag. Semua karena kami sekeluarga senantiasa mengikuti tugas negara yang diemban orang tua.
Tetapi dahsyat benar dampaknya. Keindahan, kemolekan, keunikan, dan keberagaman Indonesia dan mancanegara yang sempat dirasakan rupanya berkembang menjadi prisma di otak saya yang menguraikan cahaya menjadi spektrum warna yang beraneka, dan juga sebaliknya. Keberagaman yang melahirkan cahaya tunggal yamg merepresentasikan kemurnian. Yah memang kelak saat telah dewasa dan sempat mengembara di Ivy league di Paman Sam sana, serta mencicipi manisnya atmosfera ristek di benua biru Eropa yang membuat candu persis seperti hash brown di dekat stasiun sentral Amsterdam, saya baru menyadari bahwa cahaya meski tampak sederhana telah melahirkan beberapa aksioma yang mengubah dunia.
Dualisme partikel dan gelombang salah satunya. Elektrodinamika kuantum salah duanya. Bagaimana cahaya dan materi dinikahkan oleh penghulu dari KUA semesta. Max Planck jadi saksinya, lalu Heisenberg dan Schrodinger berbaiat menjadi pengikutnya.
Mbah Einstein di mana? Ya di mana-mana toh. Nah saat kelas 2 SD itu saya kok melihat tokoh-tokoh dengan kaliber serupa hadir di Indonesia.
Masa itu sebagai seorang anak berusia 8 tahun (1978), saya merasa berada di pusar gairah pengetahuan yang sedemikian bergolak bagai kawah Gunung Krakatau di 1883, Tambora di 1815, atau bahkan Toba Purba di 77.000 tahun lalu.
Sahabat kakek dari Ayah yang mengabdikan dirinya sebagai Kepala PU Sumatera bagian selatan di masa perjuangan, mendapat tugas membawa pulang seorang putra bangsa multitalenta dari ranah rantau di benua Eropa. Pak Ibnu Sutowo yang saat itu mendapat tugas sebagai Dirut Pertamina harus membawa seorang Habibie muda. Di mana Rudi Habibie adalah anak dari Ibu Tuti Marini Puspowardojo, sahabat nenek saya dari pihak Ibu. Nenek saya itu wanita tangguh, keponakan Raden Dewi Sartika yang menjadi dokter wanita pertama Pasundan alumni Geneeskundige Hogeschool Salemba.
Lucunya pada 1977-1978 itu, saya homeschooling alias tidak bersekolah formal karena mengikuti ayah yang sedang menjalani pendidikan di Delft. Dan pada saat itu sempat tinggal di tempat adik kakek dari Ibu yang menjabat sebagai duta besar RI untuk kerajaan Spanyol. Ambasador yang sebelumnya adalah Konjen di Hamburg dan termasuk tim Pak Ibnu Sutowo yang diperintahkan RI 1 untuk membawa pulang Pak Habibie. Mengapa beliau kemudian ditugaskan di Spanyol? Casa dan Nurtanio jawabannya. NC-212 dan CN-235 kata kuncinya. Jadi di basement Wisma Duta saat itu, si anak kecil berusia 8 tahun yang tidak sekolah itu "nguping" banyak pembicaraan serius terkait masa depan bangsa, alih teknologi, dan akselerasi kemandirian berbasis inovasi.
Herannya tak berhenti sampai di situ, saat proses kerja sama Casa Nurtanio sudah sampai fase "melahirkan" produk hibrida yang pertama, adik Bapak yang paling bengal justru ditunjuk menjadi Direktur Sertifikasi dan Kelaikan Udara termuda di masanya. Dengan Om yang menjadi Direktur DSKU dan tentu saja bersinggungan erat dengan dunia aviasi nasional, maka otak saya makin teracuni. Indonesia harus bangkit dengan kemandirian teknologi. Demikian pikir gagah saya saat itu. Anak yang lalu kembali ke dunia nyata alias desa di tepi Sungai Dumoga. Dan meski lagi-lagi tidak bersekolah dengan benar, alias setiap hari hanya bermain di hutan, sungai, dan gunung, rasanya masa-masa itulah yang mungkin bisa mewakili konsep merdeka belajar Mas Menteri Nadiem yang kini menjadi esensi belajar di era disrupsi teknologi telah melanda negeri.
Kehadiran BPPT saat itu bagi saya seolah melihat dan merasa bahwa pesawat UFO telah mendarat di Indonesia. Dan para penumpangnya adalah orang-orang super jenius yang bukan bagian dari spesies manusia biasa.
Lalu tak lama di masa SMP mulai terdengar adanya program pendidikan di luar negeri yang dibeasiswai negara. Sebagian besarnya melalui BPPT tentu saja.
Ada program Overseas Fellowship Program (OFP) tahun 1984-1992. Kemudian dilanjutkan dengan Science & Technology for Manpower Development Program (STMDP) tahun 1992-1998. Terakhir adalah Science & Technology for Industrial Development (STAID). Kalau tidak salah sekitar 5000 cendekia lahir dari program itu dan beberapa program lain sejenisnya. Kaharuddin Djenot Dirut PT PAL saat ini salah satu alumninya.
Uniknya saat lulus SMA cita-cita saya bercabang tiga dan Alhamdulillah sebenarnya masuk semua. Aeronautical engineering, kedokteran hewan, dan kedokteran manusia. Beasiswa, PMDK, dan Sipenmaru. Juga tes mandiri di berbagai universitas swasta. Apapun pilihan saya saat itu tentunya hari ini saya syukuri sebagai pilihan terbaik yang telah digariskan Allah SWT. Tetapi di manapun saya saat itu belajar dan kemudian berkarya, rasa cinta terhadap BPPT tak kunjung surut.
Entah bagaimana ceritanya hidup saya itu kok di setiap fasenya berkelindan dengan BPPT ya? Oleh asisten Pak Zuhal saya yang baru pulang sekolah dibawa ke Bandung dan diminta mendirikan FK Unisba. Di zaman Pak Hatta Rajasa diminta membantu suatu program riset kemandirian pangan berbasis teknologi hayati. Kalau dengan Prof Kusmayanto Kadiman lebih ajaib lagi. Kami berdua pernah mogok bareng semalam suntuk di tengah gurun pasir antara Madinah dan Jeddah di 1996. Saat itu saya jadi montir dadakan dan berhasil membawa bus Saptco tua yang "masuk angin" itu sampai ke tepian Kota Jeddah. Mas Kus bilang saya salah jurusan, dan beliau minta saya ambil PhD strategi inovasi saja di kampusnya di Australia. Tetapi saya tidak mau, karena ingin seperti Pak Djenni yang alumni MIT.
Dan lebih aneh lagi karena sering diminta mengisi acara pengajian, saya malah jadi dekat dengan keluarga MT Zen. Pak Freddy dan Ibu juga menjadi mentor saya dalam kehidupan.
Dari situ saya menyadari bahwa jejaring kesadaran itu memang akan menautkan kita satu sama lain melalui berbagai algoritma dan proses dalam sebuah metaplatform yang menjadikan identitas kita metadata pengait dan akan melahirkan layar persepsi berdasar metakognisi yang membimbing interaksi dalam metarelasi.
Semesta adalah konstruksi metarelasi berdasar jejaring substitusi fungsi. Maka frekuensi tercipta dan karakteristik biofisika menjadi niscaya ada. CRISPR dari bakteri mengajari kinerja bakteriofaga dari virus dapat dimodulasi, bahkan dimodifikasi antara lain dengan bantuan enzim CAS. Seperti modifikasi cuaca yang dilakukan dengan Flare/CoSat yang terdiri dari CaCl2 dan NaCL dengan ukuran partikel 07-3,3 mikron. Penyemai benih hujan yang ditaburkan di awan dengan pesawat berawak atau juga PUNA, bisa juga dengan ground based generator (GBG).
Lalu kata orang, memetakan masa depan itu tak ubahnya seperti memetakan dasar palung terdalam di Samudera Hindia. Tak jelas dan metamorf mungkin padanan paling tepat untuknya. Tetapi dengan kapal riset Baruna Jaya batimetri dan pemetaan 3 dimensi menjadi niscaya, dan saya akhirnya bisa berjumpa dengan Pak Hammam Riza. Beliau saat itu menjabat Deputi TIEM BPPT dan bicara di depan undangan peresmian salah satu bangunan sumbangan mitra yang menghubungkan LPPM ITB dengan kampus MBA. Pak Hammam bicara tentang kebangkitan teknologi masa depan dan pengaruh transformasi digital dalam quantum leap Indonesia. Saya saat itu tersenyum, dan berbisik dalam hati: suatu hari saya yakin akan dapat bekerja sama dengan beliau untuk kepentingan bangsa.
Terdengar eklektik bukan? Mencocokkan semua telur idealisme di wadah yang paling pas, BPPT. Mengapa? Karena saya menyadari sepenuhnya bahwa mekanisme kaji terap, hilirisasi, dan kliring teknologi adalah salah satu katalis penting dalam mengakselerasi implementasi inovasi agar dapat terimplementasi bagi kebaikan negeri. Mohon izin, saya memiliki beberapa paten yang teknologinya ideal sekali jika diterapkan sebagai solusi permasalahan bersama yang banyak kita hadapi, tetapi kenyataan tak seindah impian, juga bangunan yang dikonstruksi dengan harapan.
Mengimplementasikannya sulit sekali. Saat itu terbersit perlunya ekosistem, dan ekosistem itu idealnya lahir dari lembaga penelitian, pengembangan, dan pengkajian, serta penerapan. BPPT adalah cakrawala jawaban saat itu. Sebagai "anak bengal" yang menjadi kutu loncat semata karena ketertarikan pada keilmuan, saya pernah membantu teman-teman di Batan zaman Pak Jarot, pernah sedikit membuat konsep yang diadopsi Kemenhub dan PT Kereta Api, pernah bertugas di Otban Wilayah I Soekarno Hatta merancang sistem safety dan air worthiness, bahkan pernah secara setengah berahasia membantu sebuah operasi khusus Sandhi Yudha pada zaman ada sedikit instabilitas pada negara. Juga pernah membuat prototipe robot penjinak bom yang sempat diminati oleh Densus 88 di era kepemimpinan Pak Bekto Suprapto. Muaranya adalah hilirisasi teknologi dan kemandirian anak negeri.
Pernah ada masa ketika sebagai seorang anak yang polos, mata kita terbelalak kagum dan bergumam..."wow itu keren sekali..."
Itu tentu saya alami juga dalam perjalanan hidup sekitar empat dasawarsa lalu. Seperti melihat robot Voltus V dan perjalanan teleportasi kuantum di film Star Trek. Tetapi kekaguman saya saat itu terarah pada sosok lembaga litbangjirap yang bernama BPPT.
Kok bisa? Saya ini anak yang sangat beruntung. Bersekolah di banyak desa di negara bernama Indonesia. Masa SD seingat saya, mengalami lima kali pindah sekolah. Madiun, Bandung, Manado, Kotamobagu, dan pernah terdampar di Den Haag. Semua karena kami sekeluarga senantiasa mengikuti tugas negara yang diemban orang tua.
Tetapi dahsyat benar dampaknya. Keindahan, kemolekan, keunikan, dan keberagaman Indonesia dan mancanegara yang sempat dirasakan rupanya berkembang menjadi prisma di otak saya yang menguraikan cahaya menjadi spektrum warna yang beraneka, dan juga sebaliknya. Keberagaman yang melahirkan cahaya tunggal yamg merepresentasikan kemurnian. Yah memang kelak saat telah dewasa dan sempat mengembara di Ivy league di Paman Sam sana, serta mencicipi manisnya atmosfera ristek di benua biru Eropa yang membuat candu persis seperti hash brown di dekat stasiun sentral Amsterdam, saya baru menyadari bahwa cahaya meski tampak sederhana telah melahirkan beberapa aksioma yang mengubah dunia.
Dualisme partikel dan gelombang salah satunya. Elektrodinamika kuantum salah duanya. Bagaimana cahaya dan materi dinikahkan oleh penghulu dari KUA semesta. Max Planck jadi saksinya, lalu Heisenberg dan Schrodinger berbaiat menjadi pengikutnya.
Mbah Einstein di mana? Ya di mana-mana toh. Nah saat kelas 2 SD itu saya kok melihat tokoh-tokoh dengan kaliber serupa hadir di Indonesia.
Masa itu sebagai seorang anak berusia 8 tahun (1978), saya merasa berada di pusar gairah pengetahuan yang sedemikian bergolak bagai kawah Gunung Krakatau di 1883, Tambora di 1815, atau bahkan Toba Purba di 77.000 tahun lalu.
Sahabat kakek dari Ayah yang mengabdikan dirinya sebagai Kepala PU Sumatera bagian selatan di masa perjuangan, mendapat tugas membawa pulang seorang putra bangsa multitalenta dari ranah rantau di benua Eropa. Pak Ibnu Sutowo yang saat itu mendapat tugas sebagai Dirut Pertamina harus membawa seorang Habibie muda. Di mana Rudi Habibie adalah anak dari Ibu Tuti Marini Puspowardojo, sahabat nenek saya dari pihak Ibu. Nenek saya itu wanita tangguh, keponakan Raden Dewi Sartika yang menjadi dokter wanita pertama Pasundan alumni Geneeskundige Hogeschool Salemba.
Lucunya pada 1977-1978 itu, saya homeschooling alias tidak bersekolah formal karena mengikuti ayah yang sedang menjalani pendidikan di Delft. Dan pada saat itu sempat tinggal di tempat adik kakek dari Ibu yang menjabat sebagai duta besar RI untuk kerajaan Spanyol. Ambasador yang sebelumnya adalah Konjen di Hamburg dan termasuk tim Pak Ibnu Sutowo yang diperintahkan RI 1 untuk membawa pulang Pak Habibie. Mengapa beliau kemudian ditugaskan di Spanyol? Casa dan Nurtanio jawabannya. NC-212 dan CN-235 kata kuncinya. Jadi di basement Wisma Duta saat itu, si anak kecil berusia 8 tahun yang tidak sekolah itu "nguping" banyak pembicaraan serius terkait masa depan bangsa, alih teknologi, dan akselerasi kemandirian berbasis inovasi.
Herannya tak berhenti sampai di situ, saat proses kerja sama Casa Nurtanio sudah sampai fase "melahirkan" produk hibrida yang pertama, adik Bapak yang paling bengal justru ditunjuk menjadi Direktur Sertifikasi dan Kelaikan Udara termuda di masanya. Dengan Om yang menjadi Direktur DSKU dan tentu saja bersinggungan erat dengan dunia aviasi nasional, maka otak saya makin teracuni. Indonesia harus bangkit dengan kemandirian teknologi. Demikian pikir gagah saya saat itu. Anak yang lalu kembali ke dunia nyata alias desa di tepi Sungai Dumoga. Dan meski lagi-lagi tidak bersekolah dengan benar, alias setiap hari hanya bermain di hutan, sungai, dan gunung, rasanya masa-masa itulah yang mungkin bisa mewakili konsep merdeka belajar Mas Menteri Nadiem yang kini menjadi esensi belajar di era disrupsi teknologi telah melanda negeri.
Kehadiran BPPT saat itu bagi saya seolah melihat dan merasa bahwa pesawat UFO telah mendarat di Indonesia. Dan para penumpangnya adalah orang-orang super jenius yang bukan bagian dari spesies manusia biasa.
Lalu tak lama di masa SMP mulai terdengar adanya program pendidikan di luar negeri yang dibeasiswai negara. Sebagian besarnya melalui BPPT tentu saja.
Ada program Overseas Fellowship Program (OFP) tahun 1984-1992. Kemudian dilanjutkan dengan Science & Technology for Manpower Development Program (STMDP) tahun 1992-1998. Terakhir adalah Science & Technology for Industrial Development (STAID). Kalau tidak salah sekitar 5000 cendekia lahir dari program itu dan beberapa program lain sejenisnya. Kaharuddin Djenot Dirut PT PAL saat ini salah satu alumninya.
Uniknya saat lulus SMA cita-cita saya bercabang tiga dan Alhamdulillah sebenarnya masuk semua. Aeronautical engineering, kedokteran hewan, dan kedokteran manusia. Beasiswa, PMDK, dan Sipenmaru. Juga tes mandiri di berbagai universitas swasta. Apapun pilihan saya saat itu tentunya hari ini saya syukuri sebagai pilihan terbaik yang telah digariskan Allah SWT. Tetapi di manapun saya saat itu belajar dan kemudian berkarya, rasa cinta terhadap BPPT tak kunjung surut.
Entah bagaimana ceritanya hidup saya itu kok di setiap fasenya berkelindan dengan BPPT ya? Oleh asisten Pak Zuhal saya yang baru pulang sekolah dibawa ke Bandung dan diminta mendirikan FK Unisba. Di zaman Pak Hatta Rajasa diminta membantu suatu program riset kemandirian pangan berbasis teknologi hayati. Kalau dengan Prof Kusmayanto Kadiman lebih ajaib lagi. Kami berdua pernah mogok bareng semalam suntuk di tengah gurun pasir antara Madinah dan Jeddah di 1996. Saat itu saya jadi montir dadakan dan berhasil membawa bus Saptco tua yang "masuk angin" itu sampai ke tepian Kota Jeddah. Mas Kus bilang saya salah jurusan, dan beliau minta saya ambil PhD strategi inovasi saja di kampusnya di Australia. Tetapi saya tidak mau, karena ingin seperti Pak Djenni yang alumni MIT.
Dan lebih aneh lagi karena sering diminta mengisi acara pengajian, saya malah jadi dekat dengan keluarga MT Zen. Pak Freddy dan Ibu juga menjadi mentor saya dalam kehidupan.
Dari situ saya menyadari bahwa jejaring kesadaran itu memang akan menautkan kita satu sama lain melalui berbagai algoritma dan proses dalam sebuah metaplatform yang menjadikan identitas kita metadata pengait dan akan melahirkan layar persepsi berdasar metakognisi yang membimbing interaksi dalam metarelasi.
Semesta adalah konstruksi metarelasi berdasar jejaring substitusi fungsi. Maka frekuensi tercipta dan karakteristik biofisika menjadi niscaya ada. CRISPR dari bakteri mengajari kinerja bakteriofaga dari virus dapat dimodulasi, bahkan dimodifikasi antara lain dengan bantuan enzim CAS. Seperti modifikasi cuaca yang dilakukan dengan Flare/CoSat yang terdiri dari CaCl2 dan NaCL dengan ukuran partikel 07-3,3 mikron. Penyemai benih hujan yang ditaburkan di awan dengan pesawat berawak atau juga PUNA, bisa juga dengan ground based generator (GBG).
Lalu kata orang, memetakan masa depan itu tak ubahnya seperti memetakan dasar palung terdalam di Samudera Hindia. Tak jelas dan metamorf mungkin padanan paling tepat untuknya. Tetapi dengan kapal riset Baruna Jaya batimetri dan pemetaan 3 dimensi menjadi niscaya, dan saya akhirnya bisa berjumpa dengan Pak Hammam Riza. Beliau saat itu menjabat Deputi TIEM BPPT dan bicara di depan undangan peresmian salah satu bangunan sumbangan mitra yang menghubungkan LPPM ITB dengan kampus MBA. Pak Hammam bicara tentang kebangkitan teknologi masa depan dan pengaruh transformasi digital dalam quantum leap Indonesia. Saya saat itu tersenyum, dan berbisik dalam hati: suatu hari saya yakin akan dapat bekerja sama dengan beliau untuk kepentingan bangsa.
Terdengar eklektik bukan? Mencocokkan semua telur idealisme di wadah yang paling pas, BPPT. Mengapa? Karena saya menyadari sepenuhnya bahwa mekanisme kaji terap, hilirisasi, dan kliring teknologi adalah salah satu katalis penting dalam mengakselerasi implementasi inovasi agar dapat terimplementasi bagi kebaikan negeri. Mohon izin, saya memiliki beberapa paten yang teknologinya ideal sekali jika diterapkan sebagai solusi permasalahan bersama yang banyak kita hadapi, tetapi kenyataan tak seindah impian, juga bangunan yang dikonstruksi dengan harapan.
Mengimplementasikannya sulit sekali. Saat itu terbersit perlunya ekosistem, dan ekosistem itu idealnya lahir dari lembaga penelitian, pengembangan, dan pengkajian, serta penerapan. BPPT adalah cakrawala jawaban saat itu. Sebagai "anak bengal" yang menjadi kutu loncat semata karena ketertarikan pada keilmuan, saya pernah membantu teman-teman di Batan zaman Pak Jarot, pernah sedikit membuat konsep yang diadopsi Kemenhub dan PT Kereta Api, pernah bertugas di Otban Wilayah I Soekarno Hatta merancang sistem safety dan air worthiness, bahkan pernah secara setengah berahasia membantu sebuah operasi khusus Sandhi Yudha pada zaman ada sedikit instabilitas pada negara. Juga pernah membuat prototipe robot penjinak bom yang sempat diminati oleh Densus 88 di era kepemimpinan Pak Bekto Suprapto. Muaranya adalah hilirisasi teknologi dan kemandirian anak negeri.
Sebelum sel punca dan sekretom menjadi trending topic dan kerap memuncaki pembicaraan di jejaring sosial, saya dan 1-2 teman pernah merancang alat transplantasi sel yang kami patenkan, tetapi sampai hari ini tidak terhilirisasi. Demikian juga saat membuat teknologi pembaca kinerja otak yang dapat mengantisipasi respons dari pengemudi, pilot, ataupun masinis, karya itu berakhir manis masuk ke dalam 101 karya inovasi terkemuka Indonesia 2017 dan penelitinya juga mendapat gelar Inovator Jabar 2017 dan Inovator Muda Nasional dari Wapres Budiono beberapa tahun sebelumnya.
Teknologi deteksi antigen dengan menggunakan material polimer semi konduktif yang menghasilkan 1 sarjana dan 1 Doktor juga perlu waktu sekitar 17 tahun untuk akhirnya kini mulai dilirik Gakeslab untuk dikembangkan ke skala produksi. Setelah kita terpajan, terpapar, dan terkapar oleh hantaman gelombang masuknya berbagai teknologi tinggi yang tak tersubstitusi dalam upaya memutus rantai pandemi (PCR salah satunya). Alat atau teknologi yang pernah kami (saya dan dua orang asisten Pak Wenten di PAU ITB masa itu) coba buat dengan konsep thermal cycling yang dikontrol dengan mikrokontrol dan heater seadanya.
Dengan nekat pula saat itu kami namakan thermal cycler itu dengan nama Mega Indonesia, kalau tidak salah singkatannya Mesin Gen Analitik Indonesia. Juga karena pada saat itu Presiden kita adalah Ibu Megawati Soekarnoputri. Anehnya mesin amburadul itu sempat diliput koran Tempo dan masuk ke halaman sains dan teknologi. Tetapi ya hanya sampai di situ saja.
Singkat kata singkat cerita, mari kita skip beberapa perioda. Tibalah kita di masa pandemi datang melanda. Dan masyarakat dunia terhenyak melihat perkembangan yang tak pernah terbayang sebelumnya.
Dan tiba-tiba pula sosok Pak Hammam Riza beserta jajarannya dari squad paling elite di Indonesia yang saya tahu, BPPT, datang menyapa kami para mitra dari berbagai padepokan olah kanuragan riset dan teknologi yang tersebar di berbagai penjuru tanah air dan mancanegara.
Dan tiba tiba pula mimpi yang semula sudah saya pendam di balik bulan, karena perintah Optimus Prime tak kunjung tiba, seolah terkatrol untuk terbit kembali. Perkenalan dengan para ksatria teknologi Nusantara yang menjadi ksatria meja bulatnya King Hammam "Arthur" Riza, membuat semangat bela bangsa saya pun membuncah kembali.
Sir Lancelot Soni Solistia Wirawan, Sir Gawain Agung Eru Wibowo, Sir Geraint Asep Riswoko, Sir Percival Wahjoe Pandoe, Sir Bors Irvan, Sir Lamorak Teddy Lubis, Sir Kay Anto, Sir Gareth Danang, Sir Bedivere Pratondo, Sir Gaheris Yudi Purwantoro, Sir Galahad Dadan Nurjaman, Lady Eniya, Sir Tristan Yudi Anantasena dan Sir Mordred Chaidir. Serta banyak lagi ksatria yang senantiasa loyal dan cinta hanya kepada kedaulatan negara.
Ajaibnya ekosistem magis yang dikreasikan Pak Hammam melalui TFRIC-19 malah punya lebih dari 1 Merlin yang memperkuatnya. Jelas Pak Hammam jauh lebih kuat dari Raja Arthur. Arthur hanya memiliki 1 penyihir cendekiawan Merlin, 12 ksatria meja bundar, dan pedang Excalibur, sedangkan Pak Hammam memiliki ratusan Merlin dari berbagai perguruan tinggi, komunitas, asosiasi, perusahan rintisan, sampai BUMN. Ada Prof Tati R Mengko, Pak T Inderakesuma, Pak Arwin, Prof Aryati, Prof Fedik, Prof Sofia Mubarika, Prof Mulyanto, Prof Dessy dan banyak sekali Merlin lain yang bergabung bersama dalam the New Excalibur yang bernama TFRIC-19.
Kondisi ini mirip dengan situasi kebangsaan di Majapahit di era pemerintahan Ratu Tribhuwana Tunggadewi yang bergelar Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Anak Rajapatni Gayatri dan Sang Nararya Wijaya dan bersuamikan Cakradhara yang kelak bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel. Di era Tribhuwana Tunggadewi inilah seorang Mahapatih bernama Gajah Mada mengucapkan sumpah Palapa yang kelak diwujudkannya bersama Hayam Wuruk, putra dari Tribhuwana Tunggadewi.
Kekuatan Majapahit di era itu adalah kekuatan kolaborasi, dimana sinergi potensi anak negeri difasilitasi. Kekuatan manca negara seperti armada marinir Adityawarman yang berasal dari Sumatera, Mpu Nala dari Ujung Galuh, dan mitra koalisi lainnya dari Gurun, Dompo, Tanjungpura dan banyak daerah lainnya mampu diorkestrasi oleh Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk dengan bijaksana. Padahal saat itu dinamika konstelasi regional sedang hangat-hangatnya.
Tekanan dari Mongol dan mulai terbukanya alur laut Nusantara memerlukan kekuatan dan kepemimpinan yang kuat serta berwawasan kebangsaan untuk mengantisipasi dan mengelola kondisi yang tengah terjadi. Mirip dengan dinamika di masa pandemi melanda.
Dalam perjalanannya TFRIC-19 dan BPPT telah melahirkan banyak karya serta langkah nyata yang berperan penting sebagai suatu model sinergi yang dapat menjadi pilot project bagi model ekosistem inovasi riset dan teknologi yang mengambil peran sebagai lembaga katalis tempat dimana segenap potensi anak negeri dapat bersinergi untuk menghasilkan sinergi.
Sebagaimana Wilwatikta yang kemudian berangsur berganti dengan masa jaya Demak-Pajang-Mataram, BPPT dan juga TFRIC-19 memang punya masanya.
Khusus bagi BPPT, 43 tahun masa pengabdian dengan hasil investasi berupa ribuan cendekia perekayasa, dan ribuan produk inovasi yang telah dimanfaatkan bangsa tentu bukanlah sebuah fase yang sia sia. Biarlah kelak sejarah yang mencatatnya, dan ikhlaskan lah perkembangan zaman menemukan bentuk-bentuk adaptifnya sendiri. Self Organizing Critically kata Per Bak. Semua akan menemukan bentuk dan jalannya. Semua sistem akan teroptimasi jika menemukan faktor kendala atau konstrain dalam ruang Euclidian nya. Selama fungsi f(x0) ≤ f(x) dan sebaliknya masih bisa dicari, maka fungsi objektif masih dapat dimaksimalisasi sehingga menghasilkan solusi optimal. Demikian sabda matematika, sebagaimana ilmu nya amat dikuasasi oleh Prof Bambang Riyanto dan Dr Anto Satryo Nugroho yang amat mahfum terkait pemrograman linier sebagai lambaran dasar ilmu Kanuragan telematikanya.
Maka 43 tahun kiprah BPPT sebagai kawah candradimuka cendekia perekayasa Indonesia, akan memberikan bukti dalam bentuk sumbangsihnya bagi bangsa dan negara, yang di masa depan akan terus terasa sehingga nama BPPT akan terus bergema.