close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Muhammad Sufyan Abdurrahman
icon caption
Muhammad Sufyan Abdurrahman
Kolom
Jumat, 17 Juli 2020 07:48

Duodemi di sekitar kita

Kita terus mengalami duodemi yang kian berimbas, yaitu pandemi virus sekaligus information pandemic (infodemic)
swipe

Tanpa banyak disadari, secara internasional, media sosial (medsos) sejak 2010 memiliki hari peringatannya per 30 Juni. Kita, Indonesia, memodifikasinya menjadi 10 Juni. Memang belum jadi agenda publik seperti halnya Labour Day's. Tetapi keduanya adalah peringatan, yang masing-masing, lahir dari spirit kebaikan dan positivisme menggunakan medsos.

Faktanya, sebagaimana dilansir sejumlah media, belasan warga Kelurahan Karangmekar, Cimahi, menolak ikut tes swab Covid-19, antara lain imbas terprovokasi informasi medsos bahwa tes tersebut hanyalah ajang komersial petugas kesehatan, per 24 Juni lalu. 

Tak lama dari itu, 26 Juni 2020, perusahaan consumer good dunia terbesar, Unilever, dipuji banyak pihak karena menyatakan dengan resmi tidak lagi beriklan hingga akhir tahun ini di medsos utama: Facebook (FB), Instagram (IG), dan Twitter.

Unilever, pada hari sama juga terkena tagar boikot dari netizen Indonesia atas dukungannya ke LGBT, memutuskan setop iklan sebagai bentuk kekecewaan atas sikap FB, IG, dan Twitter yang dinilai terus mendiamkan ujaran kebencian, rasisme, dan kekerasan.  

Simultan, Coca Cola, Verizon, dan banyak perusahaan dunia lainnya melakukan hal sama. Mereka ikut himbauan Asosiasi Nasional untuk Kemajuan Orang Kulit Berwarna (NAACP) yang mengajak boikot sebagai protes ke perusahaan medsos yang kurang mengatur konten negatif.

Saat ini, suka tidak suka, dalam suasana kurva wabah Corona belum melandai di Indonesia khususnya dan dunia secara keseluruhan, kita terus mengalami duodemi yang kian berimbas, yaitu pandemi virus sekaligus information pandemic (infodemic).

Infodemic telah diwanti-wanti Organisasi Kesehatan Dunia sejak awal virus menyeruak akhir tahun lalu, sehingga ketika hal ini terjadi, tepatlah yang ditulis sejarawan dunia, Yuval Noah Hariri dalam 21 Lesson for the 21St Century bahwa, “Di dunia yang dibanjiri informasi yang tidak relevan, kejelasan adalah kekuatan.”

Pertanyaannya saat ini, bagaimana agar wajah medsos ini di Indonesia selalu terjaga positif sekaligus tak terus menunjukkan wajah muram tidak jelas berseringai keburukan yang menular? Sedikitnya tiga hal bisa dilakukan.

Pertama, detoksifikasi penggunaan medsos Anda. Rehatlah sejenak secara rutin setiap harinya, lebih bagus lagi jika bisa puasa sama sekali tidak menggunakan. Mulai dengan yang sederhana, yakni bangun tidur tidak lagi mengecek notifikasi yang masuk akun medsos kita.

Pun sebaliknya, penghantar tidur bukan lagi memantau lini masa hingga gawai tergeletak di samping bantal karena kita ketiduran. Sebagai bentuk detoks, kita melakukan berbagai kebiasaan hidup yang sebelumnya kita nyaman-nyaman saja melakukannya tanpa eksistensi medsos. Hal ini penting karena medsos sebagai bagian TIK memang seorang “pejuang” tangguh, sehingga rehat sejenak adalah salah satu solusi manjurnya.

Menurut Rakhmat dalam Psikologi Komunikasi Edisi Revisi (2018), “sifat” komputer itu persisten, gigih, tekun. Komputer sebagai mesin dapat bekerja 24/7, tanpa makan dan minum, tanpa istirahat.

Juga, dapat menyimpan, mengakses, dan memanipulasi maha data sehingga medsos memberikan informasi relevan dengan penerima guna mengubah sikap, prilaku, atau kedua-duanya. Dia juga memperbanyak pesan yang sama persis aslinya ke banyak penerima secara efisien. Bagian yang sangat perlu diwaspadai tentu saja memberi peluang ke pengguna untuk anonim.

Kedua, letakkan persepsi bahwa teknologi itu sejatinya melayani kebutuhan individu, bukan sosial. Medsos memberikan berbagai lompatan, hingga seseorang diam saja di rumah, sudah bisa bertemu orang sedunia. Tak perlu habis energi banyak, sudah bisa webinar berbagai hal. Namun saat bersamaan, sesungguhnya kualitas hubungan sosial cenderung menurun.

Koneksi manusia yang lengkap dan kaya dikikis sekedar tampilan teks/visual/video yang memukau, seolah impresi like/share sebagai titik puncaknya tanpa perlu lagi kehangatan pertemanan lingkungan. Secara individu memang semua terlayani, namun akhirnya menjadi kesepian tak punya teman di dunia riil.  Maka itu, persepsi ini harus diseimbangkan dengan tidak menihilkan sama sekali pikiran akan penting dan faedahnya perkawanan sosial secara luring.

Ketiga, manusia tetap harus berakar kelurga inti dan teman terdekat pada belantara dunia digital saat ini. Sesuai basisnya pada rekayasa peranti lunak, yang juga selaras premis Rakhmat di atas, medsos sungguh menghadirkan volatalitas tinggi pada kehidupan.

Sebuah narasi bisa sangat cepat melambung, juga mudah memudar tergantug algoritma mesin. Tak heran jika kita lihat pengguna medsos yang ditimpa micro boredom; Mudah bosan mengakses konten padahal baru lihat hitungan detik, hingga terus mencari tanpa jelas rimbanya. Jangan kaget juga dengan kian mudahnya kita lihat realisasi konsep instant digital gratification; Warga internet yang selalu saja ada aplikasi yang harus dibukanya namun ironis di akhir karena kita tidak pernah puas dengan pilihan akses kita itu. Maka, tanpa sokongan emosi dari akar intinya, keluarga dan sahabat, betapa mudah seorang netizen tersesat nirmakna saat dan sesudah berselancar.

Akhirnya, internet dan medsos bukanlah solusi, apalagi tunggal, bagi masalah kehidupan nyata kita!  Agar makna dan tujuan hidup selalu terjaga baik, serta duodemi tak terus menyerang kita, maka aturlah intensitasnya seraya menjaga persepsi dan tali emosi yang benar pada keselancaran kita di medsos.

img
Muhammad Sufyan Abdurrahman
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan