close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Iwan Nurdin
icon caption
Iwan Nurdin
Kolom
Senin, 11 Mei 2020 19:19

Dunia baru ke depan

Tatanan baru yang seharusnya segera dipandu oleh para ideolog, aktivis, selebritas agar kekayaan menjadi milik semua
swipe

Wabah Covid ini, membuat kita memikirkan dan mulai memasang batu-batu untuk membangun sebuah dunia baru. Wabah ini, adalah buah dari bekerjanya sistem ekonomi yang mengedepankan eksploitasi berlebihan terhadap alam, hewan, tenaga kerja, dan seluruh modal lainnya. Tak heran jika energi, pangan sebagai barang publik atau bahkan sistem kesehatan, riset dan pendidikan dan sistem sosial politik lainnya yang milik publik lainnya, dikuasai dan diakumulasi oleh segelintir badan usaha privat serta dilegalkan oleh kebijakan negara.

Wabah ini juga telah memperlihatkan tentang solidaritas antar warga sebagai penyelamat bangsa ini. Modal sosial kita di sana masih ada dan barangkali masih cukup kuat. Padahal, di sisi lainnya, kita melihat sektor privat besar yang selama ini telah diberi begitu banyak priveledge justru tak banyak membantu, bahkan mereka tetap berperilaku sama, yakni mengambil keuntungan sebesar-besarnya dalam situasi kelam ini.

Sebagai contoh saja, ketika warga memperlihatkan ragam solidaritas untuk driver aplikasi transportasi online. Kita bahkan tidak mendengar perusahaan aplikasi ini turut serta dalam program konkrit menyelamatkan mitranya para driver.

Ketika seruan bekerja di rumah dari rumah, tetap tinggal di rumah dan seruan lainnya untuk mencegah penyenaran wabah yang meluas, telah mengakibatkan kelompok pekerja informal, buruh-buruh mengalami situasi yang pelik. Warga kembali turun tangan. Rakyat bantu rakyat demikian tagarnya.

Singkatnya, publik hari ini tidak menemukan solidaritas yang besar dari pengusaha-pengusaha kaya yang selama ini dimanjakan pemerintah dengan segenap regulasi dan dana. 

Pada level nasional lainnya, Covid-19 ini juga memperlihatkan bahwa negara-negara dengan ketimpangan pendapatan ekonomi yang tinggi, negara dengan indeks ketahanan pangan yang terbilang rapuh, seperti negara kita, ternyata sulit melakukan penerapan kebijakan untuk mencegah penyebaran tidak meluas. Sebab kebijakan keselamatan warga harus berdamai dengan keselamatan korporasi.

Barangkali anda berpikir sama dengan saya, akankah tatanan nasional semacam ini layak dilanjutkan?
Di tingkat antar negara, Covid-19 juga telah mengguncang tatanan organisasi internasional dan regional yang telah mapan dan dibangun beberapa dekade ini dengah uang pajak rakyat waraga negaranya. Solidaritas global antar negara bangsa tengah diuji dengan keras. Faktanya, semua kembali ke peran negara/bangsa masing-masing. Bahkan, selain organisasi negara, organisasi masyarakat tingkat global juga tidak dapat berbuat banyak.

Ragam pembatasan fisik telah mencegah aksi-aksi nyata lintas negara hanya efektif dilakukan oleh wakil-wakil resmi pemerintahan. Dunia kembali ke struktur lamanya, kapasitas dan kapabilitas negara bangsa, lebih menentukan ketimbang lingkungan global dan regional.

Barangkali anda berpikir sama dengan saya, akankah tatanan global dan regional semacam ini layak dilanjutkan?

Pada titik ini, kita dapat belajar pada situasi global yang terjadi namun bekerja dalan lingkup yang nasional dan lokal. Karena itu, kesadaran publik dan langkah gotong-royong warga yang sedang terjadi saat ini, mestilah dipandu oleh gotong-royong ide dan implementasi cara bermasyarakat dan berekonomi yang baru.

Saya membayangkan, petani yang telah bersolidaritas pangan selama sebulan ini, sedikit banyak menemukan rantai baru ke mana dan kepada siapa seharusnya pangan-pangan sehat mereka berakhir di meja makan. Selain itu, masyarakat yang tengah dan telah melakukan donasi pangan di berbagai wilayah, juga sudah tahu bahwa uang-uang yang dikumpulkan dari sesama warga tidak elok rasanya dibelanjakan kepada gudang-gudang beras raksasa, perusahaan obat raksasa. Gerakan membeli langsung ke petani, membeli langsung ke UMKM atau pedagang kecil adalah keharusan.

Saya membayangkan, ada sekelompok mahasiswa dan aktivis IT kita resah dengan pembatasan sosial yang telah membuat perusaan IT dan ragam aplikasi untung besar. Mereka mendiskusikan untuk segera merancang aplikasi yang mempertemukan kebutuhan warga ini dalam sistem koperasi, bukan tergila-gila dengan istilah unicorn

Saya membayangkan para driver dan konsumen aplikasi online telah sadar untuk beralih memikirkan berlangganan bentuk aplikasi baru yang dimiliki oleh perancang IT, driver, dan konsumen dan mereka berbondong mewujudkannya dalam wujud koperasi. 

Sekolah dan universitas juga mulai mengedepankan aplikasi pendidikan untuk semua. Rumah sakit dan perusahaan farmasi, kembali dimiliki warga dalam wujud koperasi. Media massa juga demikian.

Lalu, para pesohor dunia medsos menjadi corong pemasar bagi inisiatif warga semacam ini. Berhenti menjadi sekedar haters dan lovers elit politik.

Ya, demikianlah tatanan baru yang seharusnya segera dipandu oleh para ideolog, aktivis, selebritas agar kekayaan menjadi milik semua dan untuk semua itu bukanlah sesuatu yang utopia di zaman 4.0 ini. Hebatnya, semua ide ini bisa dikerjakan dalam proses jaga jarak yang sedang diberlakukan akibat wabah corona ini.

Karena itu misi kita ke depan, pelajaran dari wabah ini adalah gotong-royong dan tolong-menolong warga harus diwadahi dalam sistem badan usaha yang dimiliki oleh rakyat sendiri. 

Kita mesti mengatur ulang relasi produksi, mengatur ulang badan-badan usaha melalui kemajuan 4.0 ini. Sehingga akhirnya dapat mengatur ulang tatanan desa kota yang menghisap.

img
Iwan Nurdin
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan