close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Jumat, 09 Agustus 2019 22:21

Dimensi psikososial kurban 

Ibadah kurban tahun ini idealnya bisa menjadi momentum bersama untuk membunuh egoisme dan pragmatisme.
swipe

Arah perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya kita belakangan ini kian menuju pada pengejawantahan paham individualisme dan pragmatisme. Nyaris semua orang berlomba menjadi yang paling kaya, paling berkuasa, paling berpengaruh dan sejenisnya. Kecenderungan itulah yang tanpa disadari kian menggerus nilai-nilai kemanusiaan. 

Hilangnya tiga nilai tersebut lantas kian mengukuhkan ujaran Thomas Hobbes tentang leviathanisme, yakni ketika manusia saling memangsa satu sama lain karena ambisi dan keserakahan. Metafora leviathanisme dapat dengan mudah kita jumpai dalam kehidupan masyarakat Indonesia belakangan ini. 

Di bidang politik, leviathanisme mewujud ke dalam perilaku para politisi berkarakter Machiavellian yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Mereka mengeksploitasi sentimen identitas, mengobarkan kebencian sampai menebar fitnah demi menjatuhkan lawan politik. Akibatnya, masyarakat di evel akar rumput pun terpecah belah tak keruan. 

Di bidang ekonomi, leviathanisme terrepresentasikan ke dalam persaingan ekonomi yang nyaris bebas tanpa aturan. Para pemain besar, terutama korporasi raksasa menguasai sebagian besar kekayaan alam; mengeksploitasinya dan menikmati keuntungannya untuk kepentingan pribadi. 

Dalam konteks sosial-budaya, leviathanisme termanifestasikan jelas ke dalam hilangnya tradisi saling peduli serta terkikisnya sikap welas asih. Lima tahun terakhir ini boleh jadi adalah titik nadir perjalanan kita sebagai sebuah bangsa. Kontestasi politik berbalut sentimen keagamaan telah memecah belah bangsa dan menjadikan kita sebagai bangsa yang kehilangan nilai keadaban (civility). 

Dalam kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya yang serba tidak menguntungkan inilah ibadah kurban yang dilaksanakan tiap tahun pada Zulhijah menjadi relevan untuk direnungkan ulang. Ditilik dari sejarahnya, ibadah kurban terinsipirasi dari cerita Nabi Ibrahim yang diperintah Allah menyembelih sang putera, Ismail. Atas kehendak Allah, Ismail pun ditukar dengan seekor domba. Sejak saat itu, perintah kurban diganti dengan menyembelih hewan ternak yang memenuhi syarat. 

Dipilihnya hewan ternak sebagai kurban tentu bukan tanpa alasan. Di masa lalu, hewan ternak memiliki kedudukan tinggi dalam sistem sosial-ekonomi masyarakat. Hewan ternak adalah aset, properti, komoditas, investasi sekaligus simbol prestise si empunya. Pendek kata, hewan ternak adalah harta-benda berharga. Oleh karena itu, menyembelih hewan ternak sebagai kurban merupakan satu tindakan yang mulia. 

Tentu bukan hal yang mudah untuk merelakan hewan ternak yang sehat, tegap alias memiliki kualitas super untuk disembelih dan dibagi-bagikan ke orang lain. Namun, justru di sinilah letak pelajaran yang dapat dipetik dari aktivitas kurban. Kurban mengajarkan pada manusia untuk menundukkan sikap individualisme dan pragmatisme. Kurban mengajarkan pada manusia agar tidak bergantung pada ikatan kepemilikan atas suatu benda. 

Kepedulian sosial 

Islam di satu sisi merupakan ajaran agama yang mengakui hak milik pribadi. Inilah yang membedakan ajaran Islam dengan sosialisme-komunisme yang menolak konsepsi hak milik pribadi.

Namun demikian, Islam juga tidak menoleransi praktik penumpukan harta benda dan aktivitas memperkaya diri sendiri sebagaimana dianjurkan oleh sistem liberalisme-kapitalisme. Dalam Islam, kepemilikan seseorang atas suatu benda memiliki tanggung jawab sosial di baliknya. 

Melalui ibadah kurban, manusia diajak untuk menundukkan egoisme materialnya. Menjadi kaya bukanlah hal yang diharamkan dalam Islam. Bahkan, dalam banyak hal Islam menganjurkan umatnya menjadi orang kaya. Sahabat-sahabat Nabi Muhammad pun beberapa di antaranya dikenal sebagai saudagar kaya. Namun, dalam Islam menjadi kaya berarti juga harus memiliki kepedulian sosial yang tinggi. 

Islam sangat mengecam aktivitas penimbunan harta, memperkaya diri sendiri dan praktik ekonomi kotor lainnya. Dalam Alquran surat Al Ma’un, Allah menyebutkan bahwa orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak berjuang memberikan makan pada orang miskin. Allah juga menyebut orang yang salat namun enggan memberikan pertolongan pada sesama, maka ia termasuk golongan yang lalai. 

Dari firman Allah tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa pencapaian tertinggi seorang muslim bukanlah seberapa rajin ia salat, berapa kali menunaikan haji ke Mekkah, seberapa tekun ia salat malam. Di atas itu, pencapaian keberislaman seseorang dinilai dari seberapa kuat komitmen sosialnya. 

Oleh karena itu, ibadah kurban idealnya harus mampu berdampak positif bagi terciptanya kesadaran sosial di antara sesama muslim dan sesama manusia. Bagi sebagian muslim, menyembelih hewan ternak dengan kualitas terbaik guna dibagi-bagikan ke orang lain yang kurang mampu barangkali bukan perkara sulit. Namun, bagian paling sulit dari esensi berkurban ialah menyembelih sifat-sifat individualisme dan pragmatisme yang kadung menguasai alam bawah sadar kita. 

Dalam perspektif psikoanalisis, segala tindakan, perilaku bahkan pola pikir manusia pada dasarnya dipengaruhi alam bawah sadar. Ini artinya, jika alam bawah sadar dikuasai sifat individualistik dan pragmatistik, bisa dipastikan perilaku dan pola pikir pun tidak akan jauh dari dua kecenderungan tersebut.

Sebaliknya, jika alam bawah sadar dikuasai oleh komitmen atas kesadaran sosial, maka perilaku dan pola pikir pun secara otomatis akan diarahkan untuk memiliki kepedulian terhadap sesama. 

Membunuh individualisme dan pragmatisme menjadi hal yang penting, tidak hanya bagi kehidupan sosial, namun juga kehidupan individu seseorang. Seseorang yang dikuasai sifat individualisme dan pragmatisme niscaya tidak akan menemui kebahagiaan sejati dalam hidupnya. Ia akan dikejar-kejar perasaan harus merasa lebih superior ketimbang orang lain. Hari-harinya akan diisi kecemasan, kegelisahan bahkan keterasingan. Ia akan terasing dari keluarganya, lingkungannya, bahkan dari dirinya sendiri. Kondisi demikian ini tentu tidak sehat secara psikologis. 

Teladan Nabi Ibrahim yang rela menyembelih putera kesayangan -meski pada akhirnya ditukar Allah dengan seekor domba- layak dijadikan sebagai semacam inspirasi dalam meneguhkan kepedulian sosial. Secara sosiologis, kepedulian meneguhkan adanya hubungan simbiosis mutualistik yang bersifat intersubjektif. Kepedulian akan menumbuhkan sikap empati dan simpati kita terhadap penderitaan orang lain. Di saat yang sama, kepedulian juga akan menumbuhkan kontrol sosial di tengah masyarakat. 

Pakar psikoanalisis Sigmund Freud berteori bahwa masyarakat yang sehat secara sosio-psikologis ialah masyarakat yang anggotanya memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Dari kepedulian sosial masing-masing individu itulah tercipta kontrol sosial yang memungkinkan seseorang bertanggung jawab atas segala tindakannya.

Maka, bila ada indikasi seseorang terlibat dalam perilaku menyimpang, hal itu bisa dicegah secara bersama-sama. Kultur kolektivitas itu menjadi penting untuk membentengi masyarakat dari berbagai penyakit sosial yang menjangkiti masyarakat. 

Arkian, semoga ibadah kurban tahun ini tidak berhenti sebagai penyembelihan hewan ternak semata. Lebih dari itu, ibadah kurban tahun ini idealnya bisa menjadi momentum bagi kita bersama untuk membunuh egoisme dan pragmatisme yang kadung menjadi berhala di alam bawah sadar sebagian dari kita.
 

img
Nurrochman
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan