close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Kolom
Senin, 01 Oktober 2018 23:17

Bunuh diri pemerintahan represif

Sayangnya, dalam menanggapi aksi mahasiswa, pemerintah seolah seperti berhadapan dengan lawan politiknya.
swipe

Tidak banyak pemerintahan otoriter yang bisa selamat di era tsunami informasi saat ini. Kalaupun ada, pemerintahan tersebut akan terus mendapat perlawanan, baik dari dalam maupun dari pihak luar seperti organisasi HAM dunia dan negara-negara demokratis yang kuat. 

Terlebih lagi bagi negara yang sudah menerapkan sistem demokrasi, pendekatan represif penguasa terhadap rakyat yang mengkritik dan memberontak memang cara yang bertentangan dengan asas-asas demokrasi sendiri.

Tidak ada asap jika tidak ada api. Begitulah kira-kira fenomena tuntutan masyarakat terhadap pemerintah. Gejolak yang terjadi di masyarakat yang menuntut sesuatu kepada pemerintah akan terjadi atas dasar ketidakadilan atau perasaan ketidakadilan. Sebagaimana mantan Sekretaris Negara Amerika Serikat, John F Dulles pernah mengatakan bahwa antara perdamaian dan keadilan tidak akan bisa dipisahkan. 

Walaupun, aksi-aksi massa diduga kerap ditunggangi oleh kepentingan politik golongan oposisi, namun tanpa latar belakang permasalahan yang jelas, hal tersebut akan sangat sulit terjadi. Jikapun bisa, maka kualitas dan kuantitasnya akan sangat kecil.

Ketika pemerintah menyadari masih ada kekurangan yang terjadi di negara yang dipimpin dan rakyat mulai menuntut perbaikan, maka pendekatan represif pada para demonstran adalah tindakan bunuh diri. Karena aksi-aksi otoritatif penguasa melalui pemanfaatan aparatur keamanan negara di era keterbukaan informasi saat ini akan menimbulkan efek bola salju pada emosi dan partisipasi masyarakat yang menuntut keadilan.

Terlebih ketika isu tersebut “digoreng” oleh buzzer dari tim oposisi yang memanfaatkan peluang untuk mendeskriditkan lawan politik mereka. Gelombang kemarahan masyarakat akan meluap dan berpotensi pada aksi-aksi yang lebih besar lagi dalam menyampaikan tuntutan mereka kepada pemerintah.

Aksi represif terhadap gerakan-gerakan kontra Pemerintah

Baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia tampaknya masih belum siap dengan penerapan dua kubu pilihan politik seperti yang ada di Amerika Serikat. Sejak Pemilihan Presiden 2014, masyarakat seolah terbelah dua dan saling bertentangan dalam berbagai urusan, tidak hanya urusan negara, bahkan juga pada urusan-urusan pribadi dan juga yang tidak signifikan.

Sejak itu, masyarakat dibingungkan untuk mengambil sikap dalam turut serta mengawal pemerintahan sebagaimana amanat pada sistem demokrasi. Ketika masyarakat mengapresiasi kinerja positif pemerintah, maka secara otomatif mereka akan mendapatkan label “Cebong” atau pro-Jokowi. Sebaliknya ketika masyarakat mengkritisi kegagalan pemerintah yang memang benar adanya, maka gelar “Kampret” atau pro-Prabowo disematkan pada mereka. 

Lebih buruk lagi, pemerintah pun terlihat seolah maksum sehingga kurang memberi ruang kepada masyarakat yang mengkritisi kekurangan-kekurangannya. Sudah beberapa masyarakat dan aktivis yang terjerat kasus hukum karena mengkritik pemerintah dan bahkan sampai berujung di penjara dengan dalih ujaran kebencian. Sehingga hal ini semakin memperlebar jarak antara pemerintah dan golongan masyarakat yang kontra.

Sikap keliru menghadapi demonstrasi mahasiswa

Setelah sempat “mati suri” selama beberapa tahun, baru-baru ini gerakan idealisme mahasiswa dalam mengawal pemerintahan hidup kembali. Seperti tumpukan jerami yang dibakar, aksi-aksi mahasiswa merembet dengan cepat dari daerah ke daerah di Tanah Air. Berbagai tuntutan disuarakan oleh masasiswa kepada pemerintah, khususnya permasalahan perekonomian bangsa.

Sayangnya, dalam menanggapi aksi mahasiswa, pemerintah seolah seperti berhadapan dengan lawan politiknya. Walaupun ada anggapan bahwa gerakan tersebut ditunggangi oleh kepentingan politis pihak oposisi, namun gerakan mahasiswa, dimanapun dan kapanpun, akan tetap dianggap sebagai gerakan paling idealis yang pernah ada. Sehingga aksi represif pemerintah melalui aparatur keamanan negara yang terjadi di Kota Medan baru-baru ini merupakan sikap kontraproduktif bagi pemerintah.

Seorang sosiolog, Lewis A Coser, dalam bukunya “The Function of Social Conflict” menyatakan bahwa ketika suatu kekuatan besar dari sebuah organisasi menyerang pihak lain maka hal itu akan memberikan kekuatan yang setara pada targetnya sehingga mereka juga dapat melakukan hal yang sama. 

Artinya, sikap represif pemerintah pada mahasiswa yang berdemontrsasi malah akan menambah semangat dan kekuatan bagi para demonstran untuk kembali dan terus memberontak hingga aspirasi mereka mau diterima dan dijalankan oleh pemerintah. 

Dari cara pemerintah menghadapi para mahasiswa yang melakukan aksi, terlihat bahwa penguasa saat ini kurang paham mengenai manajemen konflik. Pada buku “Conflict and Communication” Freed E Jandt, ia menjelaskan bahwa walaupun seorang pemimpin memiliki kekuasaan yang sah (legitimate power), namun jika menolak memberikan hak istimewa yang dipimpin (reward power), dan sebaliknya memperlakukan orang-orang yang tidak ia inginkan dengan cara negatif (coercive power), maka pihak-pihak yang merasa menjadi korban akan mengumpulkan kekuatan mereka untuk membuat sebuah konflik baru yang lebih besar. Menurut Jandt, sikap coercive power penguasa malah akan menimbulkan dampak negative yang lebih besar.

Terbukti, setelah aksi kekerasan aparat keamanan terhadap demonstan, organisasi-organisasi kemahasiswaan melalui sosial media mereka terus menyuarakan pemberontakan dan mengajak massa mahasiswa untuk melawan aksi represif tersebut. Jika terus seperti ini, maka konflik tidak akan bisa dihentikan, hanya sekadar diredam dan berpotensi untuk terjadi konflik yang lebih besar.

Akomodasi konflik untuk kepentingan elektabilitas

Suara milenial menjadi salah satu sumber suara yang sangat diperebutkan oleh kedua pasangan calon di Pilpres 2019 nanti. Mahasiswa, sebagai kelompok milenial yang lebih terorganisir mestinya difasilitasi untuk merebut suara milenial yang lebih besar. Jadi, tindakan aparatur keamanan yang beringas saat menghadapi aksi massa mahasiswa di Kota Medan malah akan merugikan Jokowi yang dianggap sebagai pimpinan tertinggi.

Kelompok mahasiswa akan menaruh rasa antipasti terhadap pemerintah yang dianggap represif terhadap gerakan mahasiswa dan akan lebih memilih calon lain di Pilpres nanti.

Mestinya, jika pemerintahan Jokowi ingin mengait suara milenial, yang juga termasuk mahasiswa, cara yang tepat untuk menghadapi konflik di kota Medan kemarin adalah dengan mengakomodasi massa demontrasi. Teori pendekatan konflik The Thomas-Kilmann Model menjelaskan bahwa jika seorang pemimpin membutuhkan stabilitas hubungan baik dengan suatu pihak, maka ketika terjadi sebuah konflik, pemimpin tersebut baiknya mengakomodasi (accommodating style) bukan malah menyerang (competing style).

img
Irwan Saputra
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan