close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dedi Kurnia Syah Putra
icon caption
Dedi Kurnia Syah Putra
Kolom
Senin, 18 Mei 2020 15:41

Bongkar pasang kebijakan Covid-19

Kepatuhan publik sangat mungkin mengemuka seiring dengan konsistensi pemerintah.
swipe

Terasa berat penanganan wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), semakin bertambah beban karena pemerintah dijangkiti pandemi komunikasi yang buruk, koordinasi pemerintah pusat dan daerah alami sengkarut, bahkan sesama elite di tingkat pusat tidak terkomando dalam satu instruksi. Padahal, wabah demikian signifikan menyebar dan memerlukan keseimbangan penanganan yang juga signifikan.

Bagaimanapun, wabah Covid-19 tidak saja soal virus yang menularkan penyakit hingga ancaman kematian, tetapi lebih dari itu, berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat, kelangsungan hidup karena terhentinya aktifitas. Dan tentu, kondisi itu memerlukan kehadiran pemerintah yang tidak saja fokus pada penanganan wabah, melainkan penanganan kelangsungan hidup warga negara.

Gagasan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dirumuskan presiden mendapat apresiasi, dengan asumsi penyebaran virus antar orang, solusinya menghentikan pergerakan orang, dengan PSBB. Tetapi implementasi tak semudah statemen presiden, satu kebijakan dengan multitafsir, riuh rendah terjadi, kebingungan publik merebak.

Sebenarnya, pertentangan kepentingan dalam politik merupakan hal lumrah, jika terjadi di dua kubu berseberang, antara pemerintah dan penentang (oposisi). Jika terjadi dalam kubu yang sama, maka itu murni konflik yang miliki risiko sangat besar, karamnya pemerintahan.

Terry M Moe dan Scott A Wilson dalam jurnalnya berjudul President and The Politic of Structure (1994), membahas detail terkait pertentangan kepentingan eksekutif dan legislatif. Pada saat presiden terbentur dengan kepentingan parlemen, maka presiden memungkinkan untuk mengambil langkah tidak rasional.

Secara struktural, presiden punya kuasa yang menentukan roda birokrasi berotasi dengan selayaknya. Tetapi, fakta ini jauh dari harapan, saat instruksi pembatasan aktifitas hingga larangan mudik, lalu disusul izin beroperasi moda transportasi umum, pun kala kebijakan menutup bandar udara, muncul kembali izin beroperasi maskapai penerbangan nasional, meskipun dengan syarat, bisnis.

Bongkar pasang kebijakan semacam itu dilematis, satu sisi meruntuhkan kepatuhan publik karena dirundung kebingungan, sisi lain meyakinkan publik jika pemerintah pada dasarnya tidak memiliki pijakan konkret, cenderung tidak memiliki strategi rencana yang berujung kesimpulan, goal.

Terasa berat penanganan wabah Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), semakin bertambah beban karena pemerintah dijangkiti pandemi komunikasi yang buruk, koordinasi pemerintah pusat dan daerah alami sengkarut, bahkan sesama elite di tingkat pusat tidak terkomando dalam satu instruksi. Padahal, wabah demikian signifikan menyebar dan memerlukan keseimbangan penanganan yang juga signifikan.

Bagaimanapun, wabah Covid-19 tidak saja soal virus yang menularkan penyakit hingga ancaman kematian, tetapi lebih dari itu, berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat, kelangsungan hidup karena terhentinya aktifitas. Dan tentu, kondisi itu memerlukan kehadiran pemerintah yang tidak saja fokus pada penanganan wabah, melainkan penanganan kelangsungan hidup warga negara.

Gagasan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dirumuskan presiden mendapat apresiasi, dengan asumsi penyebaran virus antar orang, solusinya menghentikan pergerakan orang, dengan PSBB. Tetapi implementasi tak semudah statemen presiden, satu kebijakan dengan multitafsir, riuh rendah terjadi, kebingungan publik merebak.

Sebenarnya, pertentangan kepentingan dalam politik merupakan hal lumrah, jika terjadi di dua kubu berseberang, antara pemerintah dan penentang (oposisi). Jika terjadi dalam kubu yang sama, maka itu murni konflik yang miliki risiko sangat besar, karamnya pemerintahan.

Terry M Moe dan Scott A Wilson dalam jurnalnya berjudul President and The Politic of Structure (1994), membahas detail terkait pertentangan kepentingan eksekutif dan legislatif. Pada saat presiden terbentur dengan kepentingan parlemen, maka presiden memungkinkan untuk mengambil langkah tidak rasional.

Secara struktural, presiden punya kuasa yang menentukan roda birokrasi berotasi dengan selayaknya. Tetapi, fakta ini jauh dari harapan, saat instruksi pembatasan aktifitas hingga larangan mudik, lalu disusul izin beroperasi moda transportasi umum, pun kala kebijakan menutup bandar udara, muncul kembali izin beroperasi maskapai penerbangan nasional, meskipun dengan syarat, bisnis.

Bongkar pasang kebijakan semacam itu dilematis, satu sisi meruntuhkan kepatuhan publik karena dirundung kebingungan, sisi lain meyakinkan publik jika pemerintah pada dasarnya tidak memiliki pijakan konkret, cenderung tidak memiliki strategi rencana yang berujung kesimpulan, goal.

Alternasi politik

Dalam kaidah sederhana, alternasi politik merujuk pada aktifitas pemerintah yang menerapkan kebijakan secara uji coba, menukar satu gagasan dengan gagasan lain, dengan maksud mengundi dampak terbaik dari tiap kebijakan. Alternasi politik ini mengemuka dari kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang tidak berumur panjang dan silang tafsir di tingkat bawah.

Ambil satu misal, sebelumnya, pemerintah dengan tegas memberikan maklumat agar publik tidak berkerumun, menjaga jarak antar orang (social and physical distancing), merujuk pada kebijakan PSBB. Tetapi implementasi program ini surut sebelum waktunya, muncul gagasan pelonggaran yang secara tiba-tiba hadir di tengah proses menunggu hasil PSBB.

Di antara bentuk pelonggaran itu, selain beroperasinya moda transportasi umum darat, laut dan udara, adalah wacana pembebasan aktifitas bagi warga negara dengan rentang usia di bawah 45 tahun. Gagasan ini jelas mengemukakan labilitas kebijakan sebelumnya PSBB, yang secara terang belum jelas keberhasilannya secara signifikan. Untuk itu, kembali diuji kebijakan baru dalam bentuk kelonggaran.

Seyogianya, tiga hal diperlukan dalam setiap kebijakan publik. Pertama, stakeholders. Pemerintah harus menentukan target publik dari kebijakan yang akan diterbitkan. Kedua, context. Bentuk kebijakan yang harus diterbitkan menyesuaikan dengan konsekuensi hukumnya. Ketiga, objective. Analisa hasil yang akan didapat setelah kebijakan diterbitkan.

Tiga hal di atas seharusnya diterapkan pemerintah mengambil kebijakan, artinya kebijakan harus selesai sampai menghasilkan baru diperkenankan untuk dievaluasi, atau dirombak, berlanjut atau dihentikan, sementara yang terjadi justru pemerintah menukar menindih kebijakan dengan kebijakan baru di tengah jalan. Inilah persoalannya.

Richard Mulgan dalam jurnalnya berjudul Aristotle and the Value of Political Participation (1990) menulis, aktifitas politik seharusnya menghadirkan kesenangan untuk semua pihak, di mana manifestasi politik seharusnya mengemuka dalam kebijakan publik, sebuah kebijakan diterbitkan harus membawa dampak baik bagi publik, bukan sebaliknya.

Di mana kekuasaan yang mengekang publik tanpa ada timbal balik, hanya akan melahirkan kontestasi politis, saling berebut panggung, dan publik sangat mungkin menjadi alas bagi pertarungan elite politik. Jangan sampai, wabah yang sudah merenggut ribuan nyawa, justru dijadikan panggung bagi elite (political performing), di mana yang seharusnya terjadi adalah aktifitas politik (political performance).

Harapannya, alternasi politik dalam kebijakan pemerintah segera diakhiri, publik memerlukan kebijakan yang dapat diterapkan tanpa harus berpikir dalam keraguan. Kepatuhan publik sangat mungkin mengemuka seiring dengan konsistensi pemerintah. Tentu, pemerintah secara keseluruhan, apa yang disampaikan presiden, demikian pula yang diteruskan para menteri, gubernur, hingga ketua rukun tetangga (RT).
 

img
Dedi Kurnia Syah P
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan