Berdaya di tengah persaingan
Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index) 2019 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-50 dari 141 negara. Indeks yang baru saja dirilis Forum Ekonomi Dunia ini, menunjukkan bahwa Indonesia mengalami penurunan sebesar lima peringkat. Sebelumnya dalam Indeks Daya Saing Global 2018 Indonesia berhasil menduduki peringkat ke-45 dari 140 negara.
Penurunan indeks daya saing ini mengindikasikan adanya permasalahan serius yang terjadi pada daya saing Indonesia. Apakah itu? Salah satu masalah utama yakni rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Permasalahan ini sebenarnya bukan Global Competitiveness Index hal yang baru dan mendesak diperbaiki. Tapi entah mengapa masih luput diperhatikan oleh pemerintah. Meski demikian berhembus kabar bahwa dalam lima tahun masa pemerintahan yang baru ini, Presiden Joko Widodo akan berupaya keras menggenjot pembangunan manusia.
Dampak yang paling parah dari rendahnya kualitas manusia ialah terhadap investasi. Tentu saja para investor tak mau atau mesti berpikir ulang berinvestasi pada negara yang punya kualitas manusia rendah. Produktivitas bakal melambat. Lucunya meski berkualitas rendah, dalam bekerja manusia Indonesia menginginkan gaji besar. Saya kira ini benar-benar sebuah ironi.
Beda dengan China dan Vietnam. Ketika dulu China kebanjiran usia produktif, investasi berbondong-bondong mengalir ke sana. Tenaga kerja yang terampil dan murah menjadi andalan. Ekonomi China bergairah, dan berhasil tumbuh 6% sampai 7% pertahun. Sekarang hal seperti ini terjadi pula di Vietnam. Bersama kita saksikan para investor kini memburu Vietnam. Pabrik-pabrik berdiri, akses tenaga kerja meluas, ekspor terdongkrak dan pada intinya menghidupkan perekonomian negara itu.
Bahkan beberapa waktu lalu, kita lihat sebanyak 23 perusahaan yang selama ini beroperasi di China merelokasi pabriknya ke Vietnam. Ini dilakukan guna mengurangi biaya produksi.
Wajar saja memang jika kita cemburu terhadap Vietnam. Di antara friksi perang dagang AS-China yang berlangsung, justru Vietnam––yang notabene bukan pemain––menjadi “pemenang”. Dalam artian Vietnam berhasil menggaet modal dan produksi mengalir deras ke negerinya.
Sementara Indonesia tak kebagian manfaat yang signifikan atau lebih tepat disebut sekadar menjadi penoton yang budiman.
Padahal Vietnam hanyalah negara kecil, dengan Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) seperempat dari Indonesia. Bahkan pada Indeks Daya Saing Global 2019 Vietnam “cuma” mendapat peringkat ke-67. Sangat jauh bila dibanding Indonesia. Tapi ketahuilah bahwa bila dibanding tahun sebelumnya, indeks daya saing Vietnam ini meloncat hingga 10 peringkat. Pertanyaannya ialah kenapa Vietnam jauh lebih unggul dibanding Indonesia?
Ada dua poin penting yang mesti diingat dalam perkara investasi, adalah kepercayaan dan keamanan (trust and safety). Ini dua hal yang mutlak. Inilah kiranya yang mampu ditawarkan Vietnam, disamping faktor-faktor tambahan lainnya. Seperti penetapan bea masuk yang rendah untuk impor bahan baku, sehingga membuat harga jual produk menjadi kompetitif. Ditambah lagi mayoritas industri Vietnam berada di dekat pelabuhan, yang memudahkan pengiriman maupun penerimaan.
Sementara di Indonesia, pada proses perizinan saja sudah berbelit-belit. Ini sudah terlalu sering dikeluhkan para investor. Sudah sama kita ketahui ada cukup banyak permasalahan investasi di Indonesia ini. Pembenahan memang terus-menerus dilakukan, tetapi tampaknya tak banyak yang berubah––dalam artian benar-benar berubah, bukan sekadar konsep belaka.
Padahal di saat-saat seperti ini, Indonesia sangat membutuhkan investasi, terlebih Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi langsung. Kondisi perekonomian global tahun ini yang mengkhawatirkan berpotensi akan berakhir dengan resesi. Oleh karenanya jalan termanjur untuk mempertahankan ekonomi Indonesia agar tidak terseret arus resesi ialah dengan menggenjot investasi.
Lewat suntikan investasi langsung, neraca dagang kita yang mengalami defisit dapat terperbaiki. Karena investasi langsung berdampak signifikan dengan pertumbuhan ekspor, dan kemudian tentu saja terhadap pertumbuhan ekonomi. Meskipun tidak semua investasi langsung yang berorientasi kepada ekspor, ada juga yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Akan tetapi begitupun maknanya tetap positif, yakni konsumsi berpotensi untuk terdongkrak, yang ujung-ujungnya juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Saat ini persaingan merebut investasi benar-benar ketat. Menggaet modal memang tak semudah membalik telapak tangan. Indonesia yang sudah punya peluang sekalipun mesti berusaha keras. Kualitas sumber daya manusia bergegas diperbaiki, proses perizinan investasi dipermudah, dan keamanan dalam negeri dijaga. Namun jangan buru-buru berharap investasi bisa mengalir deras ke Indonesia. Semuanya membutuhkan proses dan kerja keras guna mewujudkannya.
Indeks daya saing yang menurun semestinya menjadi pelajaran bagi kita, bahwa mempertahankan sesuatu itu lebih sulit daripada mendapatkannya. Maka mulai dari sekarang, tersedia waktu bagi kita untuk merebut peringkat itu kembali, atau bahkan melampauinya.