Belajar merdeka, belajar melampaui kompetensi fiktif
Peneliti SMERU untuk Research on Improving Systems of Education (RISE) Dr Shintia Refina menyebutkan, pada 2015 hanya 300.000 guru dari 1,6 juta guru yang lulus Uji Kompetensi Guru. Fakta ini seyogianya membuat kita bergeleng kepala.
Lebih menyedihkan apabila mengikuti pernyataan Peneliti Kebijakan Pendidikan dari Universitas Sampoerna Iwan Syahril PhD: belum pernah menemukan literatur acuan yang digunakan oleh pemerintah untuk merumuskan dan menetapkan kompetensi guru sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Mungkin itu sebabnya masih terlalu banyak lubang dan retakan di Program Pendidikan Guru atau PPG. Selain aspek kuantitatif tersebut, pertanyaan yang secara radikal mengguncang tentu saja terkait aspek kualitatif PPG. Misalkan saja bagaimana pemerintah merumuskan kompetensi tersebut? Dasar ilmiah apa yang digunakan? Bila aspek ini saja tidak dapat dijawab, maka sesungguhnya seluruh praktik pendidikan guru di era PPG bukan saja rendah kualitasnya, tapi dapat dikatakan sebagai fiktif.
Silang-sengkarut centang-perenang pendidikan guru
Zaman keemasan sistem pendidikan guru di Indonesia justru hanya bisa disematkan kepada Indonesia pada zaman kolonial atau Hindia Belanda. Walau terdapat praktik segregasi suku, namun ini justru menjadikan perencanaan pendidikan kolonial lebih terstruktur dan jelas (Muchtar Buchori, Evolusi Pendidikan di Indonesia, 2007, Yogyakarta: Insist Press).
Pada saat itu, jenjang sekolah dasar terdapat dua jenis yaitu, Holland Inlandsche School (HIS) yang menggunakan Bahasa Belanda dan Standaard School yang berbahasa pengantar Jawa, Sunda, Melayu, Bugis.
Untuk menjadi pengajar HIS, peminat harus lulus kelas VII HIS dan melanjutkan enam tahun pendidikan di Holland Inlandsche Kweekschool (HIK). Sementara itu terdapat dua pilihan bagi peminat pengajar Standaard School, yaitu kursus Opleiding voor Volksschool Onderwijzers (OVVO) selama dua tahun untuk disertifikasi sebagai pengajar SD selama tiga tahun atau Volksschool atau Sekolah Desa, atau Normalschool selama empat tahun untuk memperoleh sertifikasi Standaard School atau SD selama lima tahun.
Pasca Hindia Belanda justru sistem pendidikan guru semakin menurun, akibat terlalu banyak unsur politis yang mewarnai pengambilan kebijakan pendidikan. Warna politis ini dapat kita temukan lewat telaah pedagog Sanggar Anak Alam Toto Rahardjo dalam buku Sekolah Biasa Saja.
Antara lain pendidikan sebagai transformasi social “study, work, rifle” (era Bung Karno), NKK/BKK (era Daoed Joesoef), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa–Universitas Terbuka–SMK (era Nugroho Notosusanto), link and match (era Wardiman Djojonegoro), pemisahan Kebudayaan dari Pendidikan (era Gus Dur), UN dan Kurtilas (era Muhammad Nuh), peningkatan standar pelayanan (era Anies Baswedan), dan yang terkini di era Muhadjir Effendy, berorientasi keuntungan (Toto Rahardjo, Sekolah Biasa Saja, 2018, Yogyakarta: Insist Press).
Lantas bagaimana kualitas Program Pendidikan Guru dan guru lulusannya setelah melalui berbagai kebijakan di atas? Program pendidikan guru yang idealnya melalui fase tiga I (Initial, Induction, In-Career Development) justru terhambat oleh berbagai praktik tidak jelas, yaitu ketidakadilan antara kebijakan yang diterapkan kepada guru lulusan kependidikan dan guru lulusan ilmu murni. Guru ilmu murni boleh hanya mengambil PPG Awal Jabatan untuk kemudian bisa mengajar, padahal mereka tidak mempunyai dasar ilmu pedagogi dibandingkan dengan yang lulusan kependidikan.
Materi PPG Awal Jabatan yang semestinya adalah praktikum teori hanya berisikan perulangan teori yang didapatkan selama kuliah. Praktik ini hanya menguntungkan guru lulusan ilmu murni, sementara bagi yang lulusan ilmu kependidikan praktik ini terasa mubazir karena mereka kehilangan waktu berharga selama enam bulan untuk berlatih teori.
Jikalau pun ada praktikum magang di dalam PPG Awal Jabatan, hal ini minim supervisi klinis. Supervisi klinis adalah pemberian komentar perancah dari guru among. Minimnya supervisi klinis membuat calon guru baru merasa ditinggalkan dan bingung terkait pengembangan kemampuan pedagoginya.
Lebih lanjut dari survei terhadap peserta yang lulus UKG di tujuh LPTK di Pulau Jawa menyebutkan, hanya 12,4% yang merasa mampu menguasai materi pengajaran baca tulis. 13% merasa mampu membuat instrument penilaian murid. 21,3% merasa mampu menguasai materi pengajaran berhitung. 39% merasa mampu membuat media pembelajaran, dan 44,2 % merasa mampu membuat strategi pengajaran. Singkat kata PPG tidak dirasa membantu para guru untuk merasa mampu memberikan yang terbaik bagi murid-muridnya.
Belajar merdeka belajar
Fakta rendahnya efek PPG kepada persepsi guru atas kemampuannya, semakin bisa dipahami jika kita kembali kepada ungkapan belum pernah menemukan literatur acuan yang memaparkan acuan tersebut.
Ketidakjelasan konsep ini diperparah dengan berbagai silap kelola yang dilakukan pemerintah. Misal alur birokratis yang harus dilalui para guru untuk belajar. Selama pendidikan Indonesia didistorsi oleh politik kepentingan.
Di tengah segala silang-sengkarut centang-perenang silap kelola pendidikan guru, seyogianya hanya satu hal yang perlu diupayakan segera untuk dimiliki setiap guru, yaitu berorientasi pada murid atau dalam bahasa Ki Hajar Dewantara “berhamba kepada murid”. Hal ini dipraktikan dengan “saya ingin murid saya belajar merdeka, belajar bermakna”.
Itulah sebabnya yang dibutuhkan adalah kemauan semua instansi pendidikan terkait, untuk mau belajar merdeka belajar, bukan belajar demi memenuhi kompetensi yang bahkan tidak dapat ditelusuri kesahihan acuannya, atau singkat kata, fiktif.