Indonesia akan kembali mengadakan Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak pada 2024 setelah 2019. Ini sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013. Dalam putusan tersebut, amarnya mengabulkan lima permohonan pemohon untuk sebagian dan membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1), Pasal 12 ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Pada intinya, pertimbangan hukum putusan MK ini untuk memperkuat sistem presidensial.
Berbeda dengan empat tahun silam, pada tahun depan, pemilu yang digelar lebih kafah, karena menyertakan pemilihan kepala daerah (pilkada), baik gubernur dan wakil gubernur maupun wali kota dan wakil wali kota/bupati dan wakil bupati. Namun, waktu pemilihannya tidak dilaksanakan bersamaan. Pilpres bersama pemilihan legislatif (pileg), yakni calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024, sedangkan pilkada pada 27 November 2024.
Sebagai hajatan besar bangsa ini, Pemilu Serentak 2024 harus disiapkan secara matang dan sesuai peraturan perundang-undangan. Bukan hanya karena menyeruaknya isu presiden tiga periode, penundaan pemilu, hingga sistem proporsional terbuka/tertutup, melainkan problem yang terjadi pada sebelumnya, salah satunya adalah banyaknya petugas yang kelelahan karena beban kerja menumpuk dan padatnya pekerjaan sehingga menguras tenaga dan pikiran. Tercatat setidaknya 527 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dan 11.239 sakit (Kompas.com, 29/7/2019).
Mahalnya kompleksitas Pemilu Serentak 2019 harus menjadi pelajaran bersama agar tida karena tidak ada pesta pemilu yang seharga nyawa manusia. Jangan biarkan para pahlawan ratusan demokrasi yang gugur menjadi sekadar angka statistik. Perlu evaluasi dan mitigasi komprehensif untuk menangkalnya.
Pada dasarnya, pemohon pemilu serentak di MK kala itu menginginkan pemilu digelar secara bersamaan untuk efektivitas dan efisiensi, seperti anggaran, waktu, dan pelaksanaan hak politik masyarakat. Berkaca dari pengalaman lalu, efektivitas ini belum mencapai tujuannya karena memakan ratusan korban jiwa dari petugas KPPS.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk memitigasi terulangnya sejarah kelam Pemilu Serentak 2019. Pertama, pemisahan jadwal. Pemerintah bersama DPR dan penyelenggara pemilu sudah menyepakati dengan menjadwalkan pilkada tidak bersamaan dengan pilpres dan pileg.
Kedua, optimalisasi rekrutmen petugas dan bimbingan teknis (bimtek). Saat pelaksanaan Pemilu Serentak 2019, singkatnya durasi penghitungan suara menjadi pangkal utama petugas kelelahan karena baru selesai pada larut malam bahkan dini hari. Padahal, pekerjaan KPPS berlipat, yakni bimtek, sosialisasi kepada publik, mengisi form C6 yang harus diantar ke rumah pemilih, dan membangun TPS, mengadakan pencoblosan, penghitungan hasil suara di TPS, dan pengadministrasian hasil pemilu ke dalam berbagai formulir yang banyak jumlahnya untuk empat-lima jenis pemilu. Apalagi, hasil rekapitulasi dilakukan berjenjang dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional.
Dengan beban kerja yang berlipat, maka perlu diberlakukan kriteria yang lebih ketat dalam perekrutan calon petugas KPPS, seperti batas maksimal usia, mengadakan bimtek secara efektif dan efisien, dan tes kesehatan.
Ketiga, pemanfaatan teknologi. Penerapan teknologi adalah keniscayaan pada era saat ini. Pemerintah bersama penyelenggara pemilu semestinya sudah mulai memikirkan untuk mengadopsi teknologi rekapitulasi suara secara elektronik agar pemilu benar-benar terlaksana dengan efektif dan efisien. Pemanfaatan teknologi ini diyakini akan mengurangi beban KPPS yang berada di garda terdepan selain memotong panjangnya rantai birokrasi pada sistem kepemiluan di Indonesia.
Menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pemanfaatan sistem elektronik dalam rekapitulasi dan penghitungan suara lebih efektif daripada menggunakan pemungutan suara secara elektronik (e-voting), yang masih berpolemik hingga kini. Kendati demikian, pilihan atas teknologi harus dilakukan secara matang, inklusif, dengan waktu yang cukup untuk melaksanakan uji coba berulang dan memadai, serta melakukan audit teknologi secara akuntabel.
Pelaksanaan Pemilu 2024 kurang dari setahun. Semoga kita semua tidak merugi pada pesta demokrasi tahun depan karena mengulangi kesalahan sebelumnya yang berakibat fatal.