Beban politik Jokowi
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengantarkan Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024, kemenangan ini menyisakan dua legitimasi berseberang. Dua seberang itu berkaitan soal kepercayaan publik yang terpecah, sehingga mengharuskan penyelesaian Pilpres di meja sengketa.
Pertama, dalam konteks sosial Jokowi dibayangi kemenangan dengan cara yang tidak baik, isu kecurangan begitu kuat berembus dan dihembuskan oleh rival kandidasinya. Kedua, dalam konteks politik Jokowi berhasil meyakinkan persidangan, bahwa ia dengan segala upaya memenangi Pilpres dengan cara lazim pun sesuai koridor demokrasi Indonesia.
Momentum kemenangan ini jauh lebih baik dibanding periode pertama, di mana tahun 2014 Jokowi dihadapkan pada persoalan yang sama, bertambah dengan perolehan mitra koalisi di Parlemen yang masih di bawah angka minimal. Meskipun, dengan kepiawaian komunikasi Jokowi, ia berhasil menarik sebagian oposisi untuk memperkuat pemerintah.
Meskipun, dukungan politik Jokowi periode ke dua ini cukup signifikan, bukan berarti ia bebas hambatan dalam mengambil kebijakan progresif sepanjang lima tahun ke depan. Jokowi justru memiliki beban sosial yang lebih berat, yakni meyakinkan sebagian publik –yang cukup besar porsinya— untuk turut serta mendukung pemerintah.
Legitimasi
Taktik politik yang pernah digunakan Jokowi melunakkan oposisi di tahun 2014, kembali ia gunakan untuk melunakkan Prabowo Subianto, sebagai rival utama, Jokowi berhasil membangun pesan kepada publik, bahwa ia memiliki legitimasi sosial yang diberikan Prabowo melalui serangkaian interaksi di Moda Raya Terpadu (MRT) Lebak Bulus, pada 13 Juli 2019 lalu.
Momentum ini penting, setidaknya memiliki daya pengaruh pada dua sisi. Pertama, memengaruhi publik yang sebelumnya sangat setia pada Prabowo Subianto, sekaligus publik yang meyakini narasi Pilpres curang. Pertemuan ini menjadi pereda, respons Prabowo adalah pesan itu sendiri, publik membaca jika Pilpres telah usai, dan Jokowi memperoleh legitimasinya.
Kedua, dari sisi elite politik, pertemuan itu sebagai pesan tersirat jika Jokowi adalah pemimpin koalisi, dominasi keputusan tidak lagi berada di lingkaran koalisi petahana. Sehingga, terkait dengan distribusi kuasa hasil Pilpres, Jokowi leluasa memainkan perannya, termasuk membayangi koalisi petahana dengan ancaman menarik oposisi menjadi bagian pemerintah.
Tentu ancaman tidak langsung ini, berpotensi meredam hasrat berebut porsi kekuasaan mitra koalisi, terlebih sudah mulai terdengar salah satu ketua umum parpol koalisi petahana menunjuk jumlah untuk diberikan padanya. Hal semacam ini perlu dikelola oleh Jokowi agar tetap kondusif, setidaknya bagi iklim internal koalisi.
Tentu, komunikasi yang sedang dimainkan Jokowi tidak usai sampai di sana. Momentum itu kembali ia perkuat dengan pidato kemenangan bertajuk Visi Indonesia. Momentumnya tepat, di mana dilaksanakan setelah Jokowi menggenggam dua legitimasi kemenangan, politik dan sosial.
Dari sinilah beban politik itu mengemuka, terlebih politik elektoral yang melibatkan beragam kepentingan. Paling tidak, beban politik Jokowi tampak dari obesitas struktur pemerintahan yang nanti ia bentuk. Obesitas ini mengemuka setidaknya dari pernyataan Jokowi jika pemerintahan seharusnya didukung oleh semua kepentingan. Sementara oposisi, harapnya menjadi pendukung pemerintah yang berada di luar arena.
Padahal, dalam konsep separation of power seharusnya tidak saja berada di luar arena, melainkan harus kontra terhadap kebijakan, karena fungsinya melakukan kontrol, jika kebijakan itu baik untuk publik, ia tidak wajib memuji, tetapi jika salah, wajib mengoreksi.
Mengutip pernyataan sosiolog Jerman Ulrich Beck (1994) dalam buku 'Key Concepts in Political Communication' bahwa dalam praktik politik elektoral selalu dibayangi dua beban. Pertama, beban untuk membalas jasa elektoral kepada semua kontributor, ia bisa saja Parpol, atau perorangan dengan kontribusi pembiayaan semasa kampanye politik.
Beban ini tentu sulit dihindari, karena sukar menemukan nilai pengabdian dalam politik, yang mudah adalah menemukan nilai ketersalingan antar kepentingan terhadap distribusi kekuasaan. Terlebih, dengan angka dukungan sekira 61% di parlemen cukup membuat Jokowi sulit berpaling. Imbasnya, tentu kabinet akan terisi oleh elit politik mitra koalisi.
Kedua, beban sosial yang didapat dari kepercayaan publik. Politik elektoral memungkinkan publik untuk terus melakukan kontrol, terlebih jika ada tokoh berpengaruh yang memiliki potensi menggerakkan publik. Indonesia sejak munculnya fenomena 411, lalu 212, cukup menjadi penanda jika publik mulai tumbuh kepeduliannya pada politik.
Beban kedua inilah yang membuat Jokowi harus menemui Prabowo Subianto, sebagai rival Prabowo memiliki pengaruh yang tidak kecil, jika tidak segera diredam, akan menjadi penghalang kebijakan-kebijakan Jokowi sepanjang lima tahun mendatang. Pun demikian dengan dominasi mitra koalisi Jokowi, ini juga menjadi beban karena Jokowi dituntut akomodatif.
Dalam situasi berupaya menyenangkan semua pihak, beban politik Jokowi semakin berat. Dan itu ancaman bagi laju pembangunan, terlebih dalam pidato kemenangan Jokowi jelas menginginkan pembangunan yang efisien, penghalang apapun dalam bentuk birokrasi maupun calo politik akan ia hadapai secara personal. Narasi ini bagus, tetapi tidak strategis untuk dijalankan jika ia tidak berhasil mengakomodasi kepentingan mitra koalisinya.
Pandangan ini, baru dari sisi beban politik, belum beban moral dengan janji Jokowi jika benar akan menggaet kalangan muda untuk membantunya memerintah. Harapan terbaiknya, Jokowi tidak latah dan berupaya terlihat akomodatif untuk kalangan muda, menteri bukan soal usia, tetapi soal kapasitas sebagai negarawan. Dengan dalih itu, kapasitas dan reputasi menjadi faktor penting. Muda dari sisi usia bukanlah perkara krusial, kondisi kebangsaan ini memerlukan sosok pemersatu di tengah polarisasi politik yang terus memanas dan lamban mendingin.
Sebagai refleksi, apapun keputusan Jokowi semoga merupakan jawaban yang selama ini menjadi pertanyaan publik, kapan kami sejahtera?