Zaman Yunani kuno, angka mendefinisikan sistem politik. Tirani (the rule of one), oligarki (beberapa) dan demokrasi (banyak). Hegel kemudian menyimpulkan sejarah politik dunia secara kuantitatif. Pertama-tama tak ada yang berkuasa, kemudian satu, kemudian beberapa, dan terakhir semua.
Sebagai sistem simbol yang powerfull-dalam banyak kasus-terlihat kemampuan angka memediasi dan mengorganisasi hubungan sosial dan politik yang kompleks.
Pada pengertian ini, Lasswell menyarankan bahwa angka dapat mengatasi permasalahan kepercayaan dan komunikasi, karena menyediakan keuntungan mekanis dalam cakupan data. Tepatnya, karena sifat reduktif dan kapasitas totalnya dalam memilih bukti dan melakukan evaluasi.
Tradisi angka dalam demokrasi kita alami sejak Orde Baru tergelincir, melalui berbagai survei dan menjadi sangat penting, misalnya, dalam menentukan calon presiden atau kepala daerah, karena keunggulan memotret kemenangan melalui numerik popularitas dan elektabilitas.
Tetapi benarkah diskursus Pemilu 2024 dibiarkan pada kecenderungan kuantitas seperti itu?
Pemilu 2024
Setelah penerapan sistem pemilihan langsung pada Pemilu 2004, hingga menjelang Pemilu 2024, terlihat bagaimana angka direproduksi hingga menggiring kontestasi politik dalam narasi popularitas.
Sekalipun prosedur numerik ini mengijinkan publik mengevaluasi kesimpulan bagi diri mereka sendiri, tetap tak cukup. Perlu penggabungan antara yang kuantitatif dan yang kualitatif dalam melihat Pemilu 2024.
Agar kesimpulan yang dipilih, lebih komprehensif dan objektif. Karena narasi popularitas akan reliable untuk demokratisasi bila denyut nadinya adalah kredibilitas dan integritas. Dengan begitu, hasil Pemilu 2024 dapat kita harapkan berkualitas. Semoga!